Sukses

Gus Iqdam hingga Bung Karno Selalu Kenakan Peci Hitam, Bagaimana Sejarahnya?

Sejarah peci hitam dikenalkan Bung Karno, dikenal dunia, kini dipakai Gus Iqdam

Liputan6.com, Jakarta - Dai muda NU asal Blitar yang juga dikenal sebagai pengasuh Majelis Ta'lim Sabilu Taubah (ST), Muhammad Iqdam Kholid atau Gus Iqdam nyaris selalu menggunakan peci berwarna hitam.

Peci, kopiah, atau songkok, setidaknya di Indonesia ada tiga nama yang digunakan untuk menyebut benda tersebut. Peci hitam itu seolah tak pernah lepas dari sosok yang satu ini.

Kopiah merupakan identitas nasional Indonesia. Sejarahnya membentang panjang hingga semenjak masa sebelum kemerdekaan.

Bahkan, Soekarno atau Bung Karno, yang dikenal sebagai seorang nasionalis pun mengenakan peci hitam sebagai busana identitas bangsa.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Dipakai Pemilihan Kades hingga Presiden

Bukan hanya dipakai Gus Iqdam, saat pemilihan kepala desa sampai presiden, para kandidat hampir dipastikan memakai peci. Saat sudah resmi jadi pejabat pun, para pria memakai peci dalam foto resminya.

Dari seluruh presiden dan wakil presiden Indonesia, hanya Megawati Soekarnoputri saja yang tidak pakai peci saat foto.

Dalam acara formal yang tidak dihadiri orang penting sekalipun, para pria kerap memadukan jas dan peci. Biasanya mereka memakai peci agar kelihatan necis, berwibawa, gagah, juga ganteng, meski semua ini sebenarnya juga relatif.

Jadi, apapun acaranya tidak sah dan afdol apabila tidak mengenakan penutup kepala itu. Kebiasaan ini menunjukkan kalau peci sudah menjadi budaya dan identitas.

Mengutip pecihitam.org, di zaman penjajahan, masyarakat Jawa khususnya yang laki-laki identik memakai blangkon. Seperti dr Wahidin Sudirohusodo dan dr Cipto Mangunkusumo yang terlihat selalu mengenakan blangkon sebagai lambang identitas ke-Jawa-annya.

Di daerah lain, ciri khasnya pun berbeda-beda. Di antaranya yaitu masyarakat Bali-Lombok dengan udeng-udengnya. Ada pula yang mengenakan topi seperti meniru pemerintah kolonial.

3 dari 4 halaman

Bung Karno Berani Tampil Beda dalam Acara Ini

Penggunaan topi ini dinilai mengesankan jauh dari rakyat. Di sekolah dokter pribumi pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda justru dilarang menggunakan baju ala Eropa.

Ciri khas tersebut dinilai merupakan khazanah kearifan lokal yang sudah begitu mengakar. Para aktivis terdahulu mengkritik hal tersebut, sebab dianggap menjadi sekat-sekat yang memisahkan adanya persatuan.

Kemudian ada bulan Juni 1921, Bung Karno tampil berbeda dengan mengenakan peci yang menjadi tonggak sejarah munculnya peci hitam sebagai simbol negara.

Bung Karno bertekad untuk mengenalkan penggunaan peci sebagai simbol pergerakan. Hal ini tertulis dalam buku otobiografi Bung Karno karya Cindy Adams.

Peci hitam yang biasa dikenakan pada umumnya terbuat dari bahan beludru. Bung Karno inilah yang menjadi pelopor utama penggunaan peci hitam, baik dalam acara keagamaan maupun kenegaraan.

Salah satu peristiwa yang memiliki sejarah dimana Bung Karno mengenakan peci hitam ialah pada pertemuan Jong Java di Surabaya. Sebenarnya, pertama kali ia mengenakan peci tersebut, Bung Karno agaknya takut ditertawakan.

Namun ia bertekad pada dirinya sendiri, bahwa jika mau jadi pemimpin, bukan pengikut, ya harus berani memulai sesuatu yang baru.

Ketika menjelang rapat, ia sempat mengalami keraguan. Ia berkata kepada dirinya, “Ayo maju dan pakailah pecimu!” sembari menarik napas dalam-dalam. Para peserta rapat yang melihat sesuatu yang baru tersebut pun memandang keheranan tanpa sepatah kata pun.

 

4 dari 4 halaman

Ir Soekarno: Butuh Identitas Negara

Dalam pidatonya, ia mengatakan bahwa “Kita ini perlu suatu lambang daripada kepribadian Indonesia, yaitu Peci. Peci ini telah dipakai oleh pekerja-pekerja dari bangsa Melayu dan itu merupakan lambang asli kepunyaan rakyat kita.”

Bung Karno menjelaskan bahwa istilah peci ini berasal dari singkatan pet yang berarti topi dan je (Bahasa Belanda) yang mengesankan sifat kecil. Hal ini mencerminkan Indonesia secara umum yaitu satu bangunan interkultur.

Peci ini dapat dikenakan oleh siapapun, tak peduli dari mana pun asalnya dan apapun agamanya. Peci bukan semata-mata sebagai simbol agama, melainkan lebih luas lagi yakni merupakan simbol budaya bangsa Indonesia khususnya dan Melayu pada umumnya.

Penggunaan peci bagi orang Islam ketika beribadah seperti shalat bertujuan untuk menutup kepalanya agar ketika sedang bersujud, rambutnya tidak menghalangi. Seperti halnya pemakaian kain sorban layaknya orang Arab, Pakistan, India, dan Bangladesh.

Ada satu buku khusus yang membahas mengenai peci yang berjudul The Origin of the Songkok or Kopiah karya Rozan Yunos. Dalam bukunya ia menjelaskan bahwa songkok (peci) dikenalkan oleh pedagang Arab bersamaan dengan dikenalkannya sorban atau turban.

Namun dalam perkembangannya sorban tersebut hanya digunakan oleh para ulama ataupun cendekiawan. Sehingga tidak sembarang orang memakainya.

Menurut para ahli, penggunaan peci atau songkok ini lazimnya ditemukan pada kalangan masyarakat di Kepulauan Malaya, yaitu pada abad ke-13 bersamaan dengan masuknya Islam di nusantara.

Hal yang serupa juga dapat kita temui di beberapa negara, seperti di Turki dengan fez atau fezzi yang pada mulanya berasal dari Yunani kemudian diadopsi oleh Turki Ottoman.

Kemudian Mesir dengan tarboosh-nya. Di negara India, Pakistan dan Bangladesh dengan Roman Cap (Topi Romawi) atau Rumi Cap (Topi Rumi). Masing-masing negara memiliki ciri khas yang berbeda meskipun banyak sekali kemiripannya.

Sebetulnya, penutup kepala berwarna hitam itu memiliki nama berbeda di tiap negara. Di Arab Saudi, mereka mengenalnya dengan sebutan keffieh, kaffiye, atau kufiya. Namun, keffieh tidak seperti peci. Dia hanya kain bermotif jaring yang melilit kepala.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul