Sukses

Hukum Amplop Kondangan dalam Islam, Termasuk Hadiah atau Utang?

Bagaimana hukum amplop kondangan, apakah termasuk hibah atau hutang?

Liputan6.com, Cilacap - Lazim terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia jika teman, saudara atau tetangga yang sedang memiliki hajat seperti tengah melaksanakan walimah atau tasyakuran dalam rangka pernikahan, khitanan dan lain sebagainya, kita hadir sembari memberikan uang yang dimasukan ke dalam amplop atau yang populer dengan sebutan amplop kondangan.

Hal ini sudah menjadi semacam tradisi dalam rangka geguyuban atau membina persaudaraan dan persatuan di tengah-tengah masyarakat.

Hanya saja, tekait amplop kondangan ini kita harus mengetahui status hukumnya dalam perspektif fiqih atau hukum Islam.

Hal ini penting, sebab jika secara fiqih hukumnya sebagai hadiah, maka si penerima tidak wajib mengembalikannya jika suatu ketika si pemberi melaksanakan walimah atau tasyakuran.

Namun, jika statusnya sebagai utang, maka si penerima tersebut wajib mengembalikan, tentunya dengan kadar yang sama. Oleh sebab itu, bagaimana hukum amplop kondangan, apakah termasuk hibah atau hutang?

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Ragam Pendapat Ulama tentang Hukumnya

Menukil bincangsyariah.com, para ulama berbeda pendapat mengenai uang amplop kondangan saat menghadiri walimah, baik walimah nikah, walimah khitan atau walimah lainnya.

Menurut sebagian ulama, uang amplop kondangan berstatus sebagai hutang. Sementara sebagian ulama lain mengatakan bahwa statusnya bukan hutang, namun sebagai hadiah biasa.

Sebagian ulama berpendapat bahwa status uang amplop kondangan bergantung pada kebiasaan masyarakat setempat. Jika kebiasaan masyarakat setempat tidak ada tuntutan untuk mengembalikan dalam kesempatan walimah lain waktu, maka sumbangan tersebut berstatus sebagai hadiah biasa atau pemberian murni.

Namun sebaliknya, jika kebiasaan masyarakat setempat ada tuntutan untuk dikembalikan dalam kesempatan walimah lain waktu, maka sumbangan tersebut berstatus sebagai utang. Pihak tuan rumah wajib mengembalikan pada pihak pemberi jika pihak pemberi nantinya mengadakan walimah.

3 dari 3 halaman

Pendapat Lain

Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;

وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِيْ زَمَانِنَا مِنْ دَفْعِ النُّقُوْطِ فِي الْأَفْرَاحِ لِصَاحِبِ الْفَرْحِ فِيْ يَدِهِ أَوْ يَدِ مَأْذُوْنِهِ هَلْ يَكُوْنُ هِبَّةً أَوْ قَرْضًا؟ أَطْلَقَ الثَّانِيَ جمْعٌ وَجَرَى عَلَى الْأَوَّلِ بَعْضُهُمْ..وَجَمَّعَ بَعْضُهُمْ بَيْنَهُمَا بِحَمْلِ الْأَوَّلِ عَلَى مَا إِذَا لَمْ يُعْتَدِ الرُّجُوُعُ وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ وَالْمِقْدَارِ وَالْبِلَادِ وَالثَّانِيْ عَلَى مَا إِذَا اِعْتِيْدَ وَحَيْثُ عُلِمَ اخْتِلَافٌ تَعَيَّنَ مَا ذُكِرَ

 Artinya:

Kebiasaan yang berlaku di zaman kita, yaitu memberikan semacam uang dalam sebuah perayaan, baik secara langsung kepada tuan rumahnya atau kepada wakilnya, apakah semacam itu termasuk ketegori pemberian cuma-cuma atau dikategorikan sebagai utang? Mayoritas ulama memilih mengategorikannya sebagai utang.

Namun ulama lain lebih memilih untuk mengkategorikannya sebagai hibah atau pemberian cuma-cuma. Dari perbedaan pendapat ini para ulama mencari titik temu dan menggabungkan dua pendapat tersebut dengan kesimpulan bahwa status pemberian itu dihukumi pemberian cuma-cuma apabila kebiasaan di daerah itu tidak menuntut untuk dikembalikan.

Ini akan bermacam-macam sesuai dengan keadaan pemberi, jumlah pemberian, dan daerah. Adapun pemberian yang distatuskan sebagai utang apabila memang di daerah tersebut ada kebiasaan untuk mengembalikan. Apabila terjadi praktek pemberian yang berbeda dengan kebiasaan, maka dikembalikan pada motif pihak yang memberikan.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul