Liputan6.com, Jakarta - Kesombongan Firaun, yang terkenal dalam sejarah Mesir kuno, mencerminkan karakteristik penguasa yang arogan dan meyakini keistimewaan dirinya. Pertama-tama, Firaun sering dianggap sebagai manifestasi dewa di bumi, dan keyakinan ini menciptakan dasar kesombongannya.
Firaun meyakini bahwa kekuasaan dan kemuliaan yang dimilikinya berasal dari keturunan ilahi, yang membuatnya merasa tidak terkalahkan dan di atas hukum. Kepercayaan ini tercermin dalam pembangunan proyek-proyek monumental, seperti piramida dan kuil, yang dianggap sebagai bukti kehebatannya sebagai pemimpin yang dilindungi oleh para dewa.
Baca Juga
Selanjutnya, kesombongan Firaun tercermin dalam perlakuan terhadap rakyat Mesir. Penguasa ini sering kali memaksa rakyatnya untuk menghormatinya secara berlebihan, dan keberanian untuk menantang otoritasnya dapat dihukum dengan keras.
Advertisement
Firaun mengklaim bahwa perintahnya berasal dari dewa, kenyataannya adalah bahwa kesombongannya sering kali melampaui batas moral dan etika, menciptakan ketidaksetaraan sosial yang signifikan di dalam masyarakat Mesir kuno.
Terakhir, kesombongan Firaun juga tercermin dalam reaksi terhadap peringatan atau ancaman, terutama yang berasal dari figur rohaniah atau nabi. Dalam beberapa cerita sejarah, Firaun menolak mendengarkan peringatan tentang akibat dari perilakunya yang sombong, bahkan ketika dihadapkan dengan mukjizat atau tanda-tanda keilahian.
Kesombongan Firaun akhirnya menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya tentang bahaya keserakahan dan keangkuhan dalam kepemimpinan.
Simak Video Pilihan Ini:
Firaun Ingin Bunuh Nabi Musa AS, Tanpa Peduli Tuhan
Mengutip Islampos.com, telah diketahui, Firaun ingin membunuh Nabi Musa dengan tidak memperhitungkan Tuhan sama sekali serta tidak takut dan tidak menghormatinya.
Ini dapat dibuktikan melalui salah satu perkataannya, yaitu “Suruh dia memohon kepada Tuhannya”. Perkataan Fir’aun ini menunjukkan arogansi dan kebejatannya. Dia kufur terhadap Rabb (Tuhan) Nabi Musa dan meremehkan-Nya. Permohonan Nabi Musa kepada Tuhan tidaklah membuat Firaun takut dan menghentikan niat untuk membunuhnya.
Sesungguhnya, tiadanya rasa takut Firaun kepada Allah merupakan penyebab kenekatan dan keberanian thaghut mana pun untuk memerangi, menyiksa, dan membunuh para penyeru kebenaran.
Seandainya thaghut ini beriman kepada Allah dan menghormati-Nya, niscaya dia tidak akan menyakiti wali-wali (penolong dan pengikut) Allah.
Ungkapan Fir’aun tersebut diikuti oleh para thaghut ketika memerangi tentara-tentara Allah yang diucapkan oleh sebagian mereka dengan lisan mereka dan dilakukan melalui sikap sebagian mereka.
Ketika para thaghut menyakiti para dai, menjebloskan mereka ke dalam penjara, dan menyiksa mereka, salah seorang dai bermunajat dan memohon pertolongan kepada Allah, “Duhai, Allah”, thaghut yang bengis itu hanya mengatakan, “Seandainya Tuhanmu datang, niscaya aku akan memasukkannya juga bersamamu ke dalam sel penjara.” Ketika mengatakan itu, thaghut tersebut lebih bejat, lebih arogan, dan lebih bengis daripada Firaun.
Advertisement
Jargon Politik Firaun
Selanjutnya, sebagai upaya pembenaran terhadap usahanya dalam membunuh Nabi Musa, Firaun mengajukan alasan kepada kaumnya dengan berkata, “Sesungguhnya aku khawatir (bahwa) dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di bumi”. Setidaknya, ada dua alasan mengapa Firaun menyampaikan hal tersebut, yakni:
Pertama, untuk memelihara agama. Nabi Musa adalah musuh agama, sedangkan Firaun adalah pemelihara agama.
Kedua, untuk memelihara stabilitas keamanan. Nabi Musa adalah musuh dan pengacau keamanan, sedangkan Firaun adalah penjaga stabilitas keamanan.
Firaun yang kufur, yang mengatakan kepada kaumnya, “Aku adalah Tuhanmu yang Mahatinggi,” dan juga mengatakan, “Aku tidak mengetahui adanya Tuhan bagimu sekalian, selain aku,” tersebut, mendadak menjadi orang yang “sangat mencintai” dan “penuh ghirah” terhadap agama.
Dia terlihat bersikeras menjaganya dari perubahan dan penyelewengan yang dilakukan Nabi Musa. Si perusak dengan segala pelanggaran dan kekufurannya serta si penghancur dengan segala kecongkakan dan kesombongannya itu, tiba-tiba menjelma menjadi seorang “penyeru” kebaikan, keamanan, dan kesejahteraan.
Dalih jargon politik Firaun inilah yang digunakan oleh setiap rezim dalam memerangi kebenaran dan para pengikutnya.
Seorang diktator menampilkan dirinya di hadapan rakyat seolah-olah dia beriman dan beragama, peduli terhadap keimanan, sangat menginginkan nilai-nilai luhur, bersemangat menegakkan akhlak, serta mencintai pembangunan, kemajuan, keamanan, dan kemakmuran.
Rezim Taghut
Di sisi lain, rezim thaghut tersebut membuat citra para dai sebagai oknum pembuat kerusakan dan kebenaran, orang yang sesat dan menyesatkan, seteru Allah, pengkhianat bangsa dan negara, antek setan, dan biang kekacauan serta penghasut dan penyebar kesesatan sehingga harus ditumpas sebelum mencapai tujuan.
Sayyid Quthb, dalam Fi Zhilal Al-Quran, memberi pendapat atas dalil Firaun untuk membunuh Nabi Musa dan para thaghut lainnya yang menggunakan dalil tersebut untuk memusuhi para nabi.
“Apakah ada yang lebih ironis lagi dari perkataan Firaun yang sesat dan paganis (penyekutu Allah) tentang rasul-Nya, Nabi Musa, yaitu ‘sesungguhnya, aku khawatir (bahwa) dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di bumi’? Bukankah perkataan ini merupakan pernyataan klise dari setiap penguasa atau thaghut durjana untuk menghujat semua dai dan tokoh pembaharuan (perbaikan)?
“Bukankah perkataan ini merupakan kalimat batil yang menyesatkan dalam menghadapi kebenaran (haq) yang indah? Bukankah perkataan ini merupakan pernyataan yang menipu dan jahat untuk membuat provokasi dalam rangka menghadapi gerakan iman yang tenang? Ia merupakan satu logika yang akan berulang setiap kali berhadapan antara haq dan batil, keimanan dan kekufuran, kesalehan dan kejujuran, sepanjang masa dan di semua tempat. Kisah tersebut adalah kisah klasik klise yang ditampilkan dari masa ke masa.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement