Liputan6.com, Jakarta - Nama pendakwah muda, Gus Iqdam semakin moncer saja beberapa waktu terakhir ini. Setelah segenap penjuru tanah air, Gus Iqdam mulai merambah luar negeri.
Di Taiwan, misalnya, Gus Iqdam tak kekurangan penggemar fanatik. Bahkan, tingkah lakunya begitu mirip dengan jemaah Gus Iqdam di tanah air. Padahal, mereka mengikuti pengajian Gus Iqdam hanya melalui jalur online.
Lahir dengan nama Muhammad Iqdam dan ditambah Kholid di KTP dan akta lahirnya, Gus Iqdam ternyata bukan keturunan orang biasa. Ayah, ibu, serta leluhurnya merupakan kalangan pesantren yang sudah lama berada di jalan dakwah dan ilmu.
Advertisement
Baca Juga
Gus Iqdam kini merupakan pengasuh Ponpes Mambaul Hikam 2, Srengat, Blitar, sekaligus pendiri dan pengasuh Majelis Ta'lim Sabilu Taubah. Ada pondok 2, tentu ada pondok induk.
Pondok Pesantren Mambaul Hikam Induk berada di Mantenan, Blitar. Ponpes ini didirikan oleh kakek buyut Gus Iqdam, KH Abdul Ghofur, ayah dari KH Zubaidi Abdul Ghofur, kakek dari jalur ibu, yang akrab dengan panggilan.
Kiai Abdul Ghofur bukan sosok ulama biasa. Semenjak kecil, ternyata kakek Gus Iqdam ini sudah menunjukkan keistimewaannya, yang dalam khazanah santri disebut dengan karomah.
Karomah adalah keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada kekasih-Nya, waliyullah atau wali Allah.
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Mengikuti Sayembara
Mengutip blog Ponpes Mambaul Hikam Induk, Abdul Ghofur berasal dari Brongkah Kecamatan pogalan Kabupaten Trenggalek. Beliau merupakan putra dari pasangan Kyai Muhyidin dan Nyai Sholihah.
Banyak sekali karomah-karomah yang muncul ketika beliau masih kecil yang merupakan bahwa kelak ia akan menjadi tokoh besar.
Pernah pada suatu hari kakek beliau (Kiai Asnawi) menggelar suatu sayembara yang hanya boleh diikuti oleh kalangan keluarga saja, yaitu barang siapa yang mampu meminum dan menghabiskan air dalam bumbung (gelas dari bambu) maka kelak ia akan mewarisi ilmu sang kakek.
Namun tak satupun peserta yang mampu menghabiskan air tersebut kecuali beliau, padahal waktu itu beliau masih dalam ayunan Ibunda. Melihat kejadian itu, spontan sang kakek menangis dan membelai Abdul Ghofur kecil.
Advertisement
Karomah Saat Menuai Padi
Pernah ada lagi kejadian yang menakjubkan ketika masih kanak-kanak, suatu saat beliau diajak sang Bunda derep (menuai padi) dan ketika berada ditengah-tengah sawah beliau dengan riangnya bermain seorang diri sambil melempar-lempar damen (tangkai padi) ke udara.
Ajaibnya karena setiap damen yang beliau lempar bisa menjadi seekor burung.
Demikianlah sebagian keistimewaan KH Abdul Ghofur yang tampak saat masih belia.
Menuntut Ilmu hingga Ponpes Mbalong Kediri
Menginjak usia muda, beliau mulai mencoba berkelana memperdalam ilmu sekaligus memperluas pengalaman ke berbagai pesantren. Awal kali beliau hijrah dan belajar di Pesantren Mangunsari, Nganjuk.
Setelah beberapa tahun di sana, beliau melanjutkan mondok yang juda masih di kawasan Nganjuk. Dan yang terakhir beliau menyepuh ilmunya di Pesantren Mbalong Kediri.
Di sana Beliau terkenal sebagai pemuda yang ulet dan cerdas karena mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan yang sempurna.
Setelah dirasa cukup mengaji di Pesantren Mbalong, KH Abdul Ghofur kemudian pulang dan ikut kedua orang tuanya hijrah sekaligus berjuang (da’wah) didaerah ngampel Kediri. Di sinilah orang tua beliau menetap yang kemudian mendirikan sasjid untuk berdakwah.
Menginjak usia dewasa, beliaupun mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi Nyai Musri’ah, Putri sulung Haji Munajat pemilik tanah Mantenan. Tidak lama kemudian beliau menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah dan setelah itu beliau menetap di Mantenan.
Advertisement
Mendirikan Pesantren
Melihat kondisi sosial Dusun Mantenan yang sangat memprihatinkan, sebagai tokoh yang mempunyai intlektualitas islami yang tinggi, beliau termotifasi untuk mebenahi kondisi tersebut.
Langkah awal yang diambil adalah dengan mendirikan sebuah mushola pada tahun 1907 M, sebagai tempat untuk berdakwah. Selain itu, beliau juga mengembangkan misi dakwahnya dengan cara 'door to door' dari rumah ke rumah penduduk.
Di tengah-tengah perjuangannya, beliau harus menerima keyataan duka, karena istri tercinta Nyai Musri’ah lebih dahulu dipanggil yang kuasa dan mewariskan lima orang putra. Dua di antaranya meninggal dunia dan ketiga putranya yang masih hidup yaitu, Nyai Mursyidah, KH Bahar dan Nyai Marwiyah.
Kemudian beliau ngrengkulu (menikahi adik ipar ) nyai Musri’ah, bernama Nyai Siti. Ada kejdian lucu di masa pernikahannya dengan Nyai Siti. Pada suatu hari di malam pengantinnya, istrinya tidak mau mendekat (tidak atut),.
Karena ketidakmauan sang istri tadi, maka KH Abdul Ghofur memukul bantal yang ada disampingnya, seketika itu pula bantal tersebut berubah menjadi seekor harimau yang meraung-raung. Spontan sang Istri ketakutan dan langsung memeluk beliau.
Itulah sebagian karomah yang dimilikinya sebagai tanda bahwa beliau bukan orang biasa.
Tonggak Islam di Blitar
Buah pernikahannya dengan Nyai Siti, beliau dikaruniai lima Orang anak. Yaitu: KH Mirza Sulaiman Zuhdi, KH Zubaidi Abd Ghofur Nyai Sringatin, Agus Zainuri Agus Kased.
Kemudian seperti halnya Nyai Musri’ah, Nyai Siti pun Pulang ke Rahmatullah terlebih dahulu meninggalkan beliau. Selang beberapa bulan kemudian, KH Abdul Ghofur menikah lagi dengan Nyai Fathonah (Pelas Kediri) dan dikaruniai dua orang anak bernama Kyai Abdullah dan Nyai Sa’diyah.
Memang harus kita akui, bahwa beliau merupakan penancap tongkat sejarah berdirinya Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam dan Pesantren ini merupakan bukti jerih payah beliau dalam berjuang menyebarkan agama Islam di kawasan Blitar dan sekitarnya pada waktu itu.
KH Abdul Ghofur wafat pada tahun 1952 M, dan disemayamkan tepat dibelakang Masjid Mamba’ul Hikam. Sampai sekarang jasanya masih dikenang. Harumnya nama tokoh seperti beliau menyebabkan makamnya tidak pernah sepi dari peziarah yang bukan hanyadari kawasan Blitar, melainkan dari Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan Sumatera dan Kalimantan.
Demikian sekelumit kisah beliau KH.Abdul Ghofur beserta sebagian kecil kelebihan yang dimilikinya. Dan kegigihannya dalam berdakwah patut kita jadikan suri tauladan sebagai modal untuk meneruskan perjuangan beliau dalam mengemban misi dakwah Islam.
Dan sebagai bukti rasa cinta dan terima kasih yang tak terhingga, kita haturkan do’a untuk beliau. Al-Faatihah. (Sumber: mambaulhikaminduk.blogspot.com)
Advertisement