Liputan6.com, Jakarta - Islam di Nusantara telah datang semenjak seribuan tahun silam. Diyakini, dakwah Islam pertama terjadi pada masa sahabat Nabi SAW masih hidup.
Salah satu buktinya ada di Barus, yang diyakini menjadi gerbang masuknya Islam di Indonesia. Islam diyakini sudah masuk sejak abad 6 atau 7 Masehi.
Islam berkembang di wilayah-wilayah lain di Indonesia dengan ragam corak. Seringkali, kisah-kisah ajaib (karomah) terjadi sebagai bagian dari bumbu dakwah tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Para penyebar dan pengajar Islam masa lalu bukanlah sosok biasa. Mereka adalah para kekasih Allah atau waliyullah.
Salah satu wilayah yang sarat dengan kisah karomah waliyullah adalah Ambunten, Sumenep. Salah satunya yakni kisah karomah Kiai Macan alias Raden Demang Singoleksono yang dikisahkan memiliki banyak karomah.
Kala itu, Ambunten masih kampung. Beda dengan zaman sekarang yang sudah menjadi kota kecamatan.
Salah satunya ialah ketika ada warga kemalingan, cukup dengan menabuh kentongan kecil, maka saat itu juga si maling menyerahkan diri sekaligus membawa kembali barang curiannya.
Tak hanya itu, dalam kisah yang beredar, Kiai Macan juga bisa terbang dengan menaiki sapi-sapian yang terbuat dari pelepah pisang.
"Kiai Macan juga dikenal dengan karomahnya yang menaiki pe-sapean pappa (pelepah pisang yang biasa dibuat sapi-sapian oleh anak kecil; red) sembari terbang saat mengambil panji-panji Keraton Sumenep yang dibawa ke Blambangan. Pulangnya beliau naik Mondung (Hiu; red) seorang diri,"kata Nyai Hajjah Munifah, salah satu keturunan Kiai Macan di Desa Ambunten Timur, dikutip dari laman sumenepkab.go.id, Jumat (16/2/2024).
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Kisah Wali Menangkap Ikan
Tak hanya kisah kekeramatan Kiai Macan, ada lagi kisah karomah 2 wali di Ambunten yang konon masih bisa terlihat hingga saat ini pada orang-orang tertentu. Yaitu kisah karomah 2 wali di Sungai Pandi Ambunten Tengah.Â
Syahdan, di suatu masa sekitar pertengahan tahun 1800-an hiduplah seorang ulama besar di Ambunten bernama Kiai Rausyi. Kiai Rausyi masih memiliki hubungan darah dengan Kiai Macan Ambunten. Beliau juga disebut masih berkerabat dengan Kiai Mahmud Aengpanas, ayah Kiai Imam, pendiri pesantren Karay, Ganding.Â
"Suatu ketika Kiai Mahmud diriwayatkan bertamu ke kediaman Kiai Rausyi yang berada di pinggir Sungai Pandi, yang sekarang masuk wilayah Desa Ambunten Tengah,"kata Kiai Raheli, yang leluhurnya memiliki hubungan kekerabatan dengan Kiai Rausyi, pada Media Center.Â
Sesampainya di kediaman Kiai Rausyi, Kiai Mahmud berkata pada Kiai Rausyi bahwa dirinya ingin makan ikan laut. Lalu Kiai Rausyi bergegas mengambil jaring yang biasa digunakan para nelayan dan menghamparkannya ke halaman rumah beliau. Seketika atas ijin Allah, jaring dipenuhi oleh ikan-ikan laut yang masih hidup dan menggelepar di jaring tersebut.Â
"Akhirnya dimasaklah ikan-ikan tersebut oleh Kiai Rausyi dan dihidangkan kepada Kiai Mahmud,"cerita Kiai Raheli. Setelah selesai makan, Kiai Rausyi seperti yang ditirukan Kiai Raheli berkata pada Kiai Mahmud, "sekarang giliranmu, saudaraku".Â
Â
Advertisement
Tulang Ikan Hidup Lagi Setelah Dilempar ke Sungai
Mendengar itu, Kiai Mahmud mengambil sisa-sisa ikan bakar yang kepalanya masih menyatu dengan tulang sampai ekor, namun sudah tiada berdaging, karena telah dimakan.
Ikan bakar tersebut lalu dilempar oleh Kiai Mahmud ke sungai Pandi yang tak jauh dari situ. Ajaib, ikan yang tak berdaging itu atas ijin Allah hidup dan berenang-renang di sungai.Â
"Ikan tersebut hingga saat ini dari cerita warga kadang menampakkan diri. Namun tidak semua orang bisa menjumpainya di Sungai Pandi,"kata Raden Imamiyah, keturunan Kiai Macan sekaligus Kiai Mahmud, yang ada di Ambunten.
Namun, konon, seperti yang dikatakan Imamiyah, biasanya warga atau orang yang melihatnya tidak lama hidup alias pendek umurnya. "Dari dulu memang dikenal seperti itu. Tapi yang namanya mati itu ya tetap dikembalikan pada ketentuan Allah. Sudah ajalnya,"tutup Imamiyah. (Sumber: Sumenepkab.go.id)