Liputan6.com, Jakarta - Panggilan ustadz, ulama dan habib sering kali kita dengar. Panggilan ini merupakan sebuah gelar kehormatan di masyarakat kepada yang bersangkutan.
Baca Juga
Advertisement
Hanya saja dalam menggunakan panggilan ini banyak orang yang tidak mengetahui arti sesungguhnya dari panggilan-panggilan itu.
Tak jarang pula mereka hanya ikut-ikutan dalam menggunakan panggilan-panggilan kehormatan tersebut. Terlebih di era serba instan ini mendadak banyak orang dipanggil ustadz, ulama dan habib tanpa terlebih dahulu mengetahui sebenarnya orang itu.
Fenomena seperti ini, menukil NU Online pernah dibahas dalam bahtsul masail I Pengurus Nahdlatul Ulama (PWNU) Banten di Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Cidahu, Tanagara, Cadasari, Pandeglang, Banten, Sabtu, 27 Jumadil Awal 1440 H / 9 Februari 2019 M.
Dalam forum ini dibahas tentang definisi ustadz, ulama, dan habib, serta hukum memanggil seseorang dengan gelar-gelar tersebut padahal tidak memenuhi kriteria.
Simak Video Pilihan Ini:
Pengertian Ustaz, Ulama dan Habib
Sebenarnya kata ustadz bukan asli bahasa Arab. Ia adalah kata ajami (non-Arab) persisnya bahasa Persia (Iran) yang kemudian dijadikan bahasa Arab (muarrob).
Keterangan Kitab Al-Lami’ Al-‘Azizy Syarah Diwan Al-Mutanabby Li Abil ‘Ala-i Al-Ma’arry, (Markaz Malik Faisal, Riyadl Saudi Arabia, cetakan pertama 2008 M ), 1/27:
والاستاذ كلمة ليست بالعربية اصل كلمة استاذ كلمة فارسية
Dalam kamus Arab Al-Mu'jamul Wasith, (Maktabah Asy-Syuruq Ad-Dauliyyah, Kairo Mesir, cetakan keempat 2004 M), hlm. 17, kata ustadz memiliki beberapa makna sebagai berikut:
الاستاذ المعلم والماهر فى الصناعة يعلمها غيره ولقب علمي عال فى الجامعة
Artinya: ’’Pengajar, orang yang ahli dalam suatu bidang industri dan mengajarkan pada yang lain, jlukan akademis level tinggi di universitas.’’
Sedang di Indonesia kata ustadz merujuk pada banyak istilah yang terkait dengan orang yang memiliki kemampuan ilmu agama dan bersikap serta berpakaian layaknya orang alim. Baik kemampuan riil yang dimilikinya sedikit atau banyak.
Orang yang disebut ustadz antara lain dai, mubalig, penceramah, guru ngaji Al-Qur’an, guru madrasah diniyah, guru ngaji kitab di pesantren, pengasuh atau pimpinan pesantren (biasanya pesantren modern).
Ulama adalah orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, dan ilmu fiqih. Keterangan Kitab Minhajuth Tholibin Lin-Nawawy, (Darul Minhaj, Libanon, cetakan pertama 2005 M), hlm. 356:
والعلماء أصحاب علوم الشرع من تفسري وحديث وفقه
Dan ulama di Indonesia, terutama Pulau Jawa itu biasa dipanggil dengan sebutan kehormatan kiai.
Advertisement
Lanjutan Pengertian Ustadz, Ulama dan Habib dan Gelar Kehormatan Lainnya
Menurut Sayyid Muhammad Bin Ahmad Asy-Syathiry (1331 H/1913 M-1422 H/2001 M) dalam Kitabnya Sirah As-Salaf Min Bani Alawi Al-Husainiyyin, (Darul Hawi, Beirut Libanon, Cetakan ketiga 2001 M), hlm. 17-56, para salaf kaum ‘Alawiyyin (Dzurriyyah Imam Alwi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Al-Muhajir Bin Isa Ar-Rumy Bin Muhammad An-Naqib Bin Ali Al-Uraidly Bin Ja’far Ash-Shodiq Bin Muhammad Al-Baqir Bin Ali Zainal Abidin Bin Husain Bin Fathimah Az-Zahra Binti Rosululloh SAW) di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyyin ialah :
Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khariji. Menjelang akhir abad ke-12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, dan Imam Salim bin Bashri.
Syekh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al- Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Syekh Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri.
Habib (dari pertengahan abad XI H sampai abad XIV H). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum ‘Alawiyyin keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini. Di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), Kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina.
Tokoh utama ‘Alawiyyin masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal Al-Qur’an. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf, dan bahasa Arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa kitab.
Sayyid (mulai dari awal abad XIV H sampai sekarang). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum ‘Alawiyyin. Di antara para tokoh tahap ini ialah Sayyid Ali bin Muhammad al-Habsyi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Attas, Sayyid Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Sayyid Muhammad bin Thahir al-Haddad, dan Sayyid Husain bin Hamid al-Muhdhar.
Hukumnya
Asy-Syaikh Sulaiman Al-Jamal dalam Kitab Futuhatul Wahhab Hasyiyah Fathul Wahhab (Ahmad Albabil Halby, Kairo Mesir, cetakan pertama 1888 M), 2/372 menjelaskan:
وقع السؤال عما يقع كثيرا فى مخاطبات الناس بعضهم مع بعض من قولهم لمن لم يحج يا حاج فلان تعظيما له هل هو حرام اولا والجواب عنه ان الظاهر الحرمة لانه كذب لان معنى يا حاج فلان يا من اتى بالنسك على الوجه المخصوص ، نعم ان اراد بيا حاج فلان المعنى اللغوى وقصد به معنى صحيحا كان اراد بيا حاج يا قاصد التوجه الى كذا كالجماعة اوغيرها فلا حرمة.
Artinya: ’’Ada pertanyaan terhadap sesuatu yang telah banyak terjadi dalam perbincangan orang-orang satu sama lain dari perkataan mereka kepada orang yang belum pernah menunaikan ibadah haji, “wahai haji fulan”, untuk mengagungkan orang tersebut, apakah perkataan itu haram atau tidak? Jawabannya adalah sesungguhnya yang jelas perkataan itu haram, karena itu suatu kebohongan, karena makna “wahai haji fulan” itu “wahai orang yang telah menunaikan ibadah haji dengan memenuhi tata cara tertentu”. Benar begitu, akan tetapi jika orang yang berkata “wahai haji fulan” itu menghendaki makna secara bahasa dan dia bertujuan memaknai dengan makna yang benar, seperti “wahai orang yang bertujuan menghadap ke suatu tempat misal tempat jamaah atau lainnya, maka tidak haram.’’
Dari penjelasan tersebut di atas dapat kita qiyaskan bahwa memanggil seseorang dengan sebutan ustadz, ulama, habib dan yang dikehendaki itu makna istilah seperti yang telah kita uraikan, secara sengaja dan tahu, padahal orang tersebut itu tidak memenuhi kriteria maka hukumnya haram. Berbeda ketika orang yg memanggil itu menghendaki makna secara bahasa yang benar, atau tidak sengaja dan tidak tahu maka hukumnya tidak haram.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement