Liputan6.com, Cilacap - Ulama kharismatik asal Rembang yang merupakan santri kesayangan Mbah Moen, KH Ahmad Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha menerangkan bahwa penghuni surga terbanyak ialah orang-orang bodoh.
Baca Juga
Advertisement
Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA, Rembang mengawali pembahasannya bahwa manusia memiliki sifat permanen yakni bodoh dan zalim.
“Pada sisi manusia itu punya sifat permanen yang oleh Allah disebut wakanal insanu dzaluman jahuula, manusia itu sangat bodoh sudah sangat bodohnya, banget dzalimnya,” terangnya dikutip dari tayangan YouTube Short @khairazzaadittaqwa, Selasa (05/03/2024).
Oleh sebab itu, ketika manusia dibilang bodoh bukan maksudnya menghina. Memang secara faktual semacam itu. Manusia hanya diberikan pengetahuan yang sangat sedikit dari sekian banyaknya pengetahuan;pengetahuan yang lainnya.
Menurut Gus Baha definisi bodoh ialah pengetahuannya akan sesuatu sangat sedikit. Nah, demikian halnya dengan manusia yang memiliki pengetahuan yang sangat sedikit, maka tentu saja label bodoh boleh saja disematkan kepada manusia.
“Sehingga kita bilang bodoh itu sebenarnya bukan ngenyek (menghina—pen). Ya memang manusia mau nggak mau harus bodoh. Teorinya gampang, yang perlu diketahui itu kan banyak, toh kita dititipi ilmu hanya sedikit dari yang banyak. Tahu sedikit itu namanya apa coba? bodoh kan?” tandasnya.
Simak Video Pilihan Ini:
Hadis tentang Penduduk Surga Terbanyak Orang-Orang Bodoh
Dengan nada berkelakar, namun maknanya sangat dalam bahwa sebab sifat bodoh itu permanen untuk manusia. Makanya tidak perlu menghindari sifat bodoh itu.
“Jadi sifat bodoh itu ndak perlu kita hindari banget, meskipun kita sudah alim sudah alaamah sudah apalah tetap ada saja yang kita ndak tahu kan?” terangnya.
Gus Baha juga menyitir hadis Nabi bahwa penghuni surga terbanyak berasal dari kalangan orang-orang yang bodoh.
“Bodoh apa? kalau bodoh tentang uang ya bagus, karena aktsaru ahlul Jannah al-bulhu, artinya nanti penduduk surga terbanyak itu orang-orang bodoh,” sambungnya.
“Lalu pertanyaannya bagaimana kalau orang bodoh itu pemimpin? “Misalnya ada Rektor, Menteri, pejabat nggak pernah korupsi itu teman-temannya bilang pintar apa bodoh? Teman-teman yang kroni bilang apa? Bodoh kan? Punya kesempatan kok tidak diambil itu namanya bodoh,” tandasnya.
Advertisement
Kritik Elitisme Intelektual
Lantas apa yang dimaksud hadis bahwa penghuni surga terbanyak berasal dari kalangan orang-orang bodoh? Menukil Alif.id, hadis ini dikutip berkali-kali oleh al-Ghazali, yang bunyinya adalah: “Aktsar ahli al-jannati al-bulhu“, sebagian besar orang-orang yang akan masuk surga nanti adalah “al-bulhu“.
Kata al-bulhu adalah bentuk jamak dari ablah yang maknanya, menurut kamus Munjid: orang yang lemah akalnya (dla’ufa ‘aqluhu wa ‘ajaza ra’yuhu).
Makna hadis yang dikutip al-Ghazali di atas itu kira-kira adalah begini: Mayoritas orang-orang yang ada di surga nanti adalah orang-orang yang bodoh, yang lemah akalnya.
Bagaimana memaknai hadis di atas? Apakah hadis ini bermakna bahwa menjadi orang yang pintar bukanlah sesuatu yang dianjurkan, karena toh orang-orang bodohlah nanti yang akan masuk surga? Apakah hadis ini semacam pengendoran terhadap kehendak untuk belajar?
Dalam beberapa kali ngaji Ihya’, saya menyampaikan bahwa makna hadis ini bukanlah demikian, bukan dorongan untuk menjadi orang bodoh agar kelak masuk surga.
Makna hadis ini adalah semacam kritik terhadap “elitisme” intelektual: bahwa kebenaran dan kebijaksanaan yang akhirnya akan membawa orang kepada kebahagiaan abadi di akhirat kelak, bukanlah monopoli kaum “intelek” yang berpendidikan tinggi.
Sokrates Mengemukakan Hal yang Sama
Hadis ini adalah semacam pembelaan bagi the commoners, orang-orang biasa. Yang menarik, ada statemen yang maknanya serupa yang datang dari filsuf besar Yunani, Sokrates, orang bijak yang menjadi pusat kekaguman para filsuf muslim di era klasik dulu.
Dalam pembelaannya di hadapan para juri yang kemudian menjatuhinya hukuman mati, dan kemudian pembelaannya itu direkam oleh muridnya bernama Plato dalam risalahnya berjudul Apologi, Sokrates antara lain melontarkan ucapan berikut ini:
“Karena aku wajib mengatakan kebenaran di hadapan pengadilan, maka, aku bersumpah, demi anjing, wahai orang Atena, aku sungguh-sungguh mengalami sesuatu seperti ini:
"Ketika aku menyelidiki perkara-perkara ilahi, aku dapati bahwa orang yang dipandang paling terhormat ternyata adalah orang yang paling bodoh, sementara orang yang dipandang lebih rendah dari mereka ternyata lebih baik dalam hal penguasaan pengetahuan.” (Apologia, 22a).
Kalimat Sokrates ini saya kutip dari terjemahan yang dilakukan oleh Ioanes Rakhmat dalam bukunya yang diterbitkan Gramedia, “Sokrates dalam Tetralogi Plato” (2009).
Meskipun tidak mirip benar, tetapi ada kesejajaran antara hadis Nabi yang dikutip al-Ghazali di atas dengan kalimat Sokrates ini: keduanya memuat semacam “apologia” atau pembelaan bagi orang-orang yang diremehkan oleh kaum elit sebagai orang-orang yang paling bodoh.
Konon, menjelang akhir hayatnya, Imam Ghazali (menurut kisah yang lain, Imam Razi (w. 1209), penulis tafsir besar Mafatih al-Ghaib itu), melontarkan sebuah kalimat yang mengandung semacam doa dan sekaligus keluhan: Allahumma imanan ka-iman al-dlu’afa’; O, Tuhan, berilah aku keyakinan seperti keyakinan orang-orang yang lemah akalnya.
Sekali lagi, ini semua bukan semacam dorongan untuk menjadi orang bodoh dan lemah akal, melainkan kritik kepada orang-orang cerdik-pandai yang kerapkali terlalu canggih berteori, sehingga kehilangan sentuhan atas hal yang mendasar dalam hidup: yaitu iman dan harapan.
Kaum elit terpelajar kerapkali terjatuh pada sikap skeptis dan sinisme pada “iman” dan harapan; sementara orang-orang yang tak terdirik secara canggih dalam spekulasi teoritik dan filsafat justru paling cepat untuk beriman dan percaya.
Skolastisisme atau latihan akademis di sekolah kerapkali membunuh naluri alamiah dalam diri manusia untuk percaya dan berharap. Dalam hal ini, kita menyaksikan semacam “vindication” atau bukti kebenaran dari ajaran Ibn Rusyd tentang ittishal atau pertemuan antara wahyu dan filsafat.
Nabi Muhammad dan Sokrates bertemu dalam semangat yang sama: pujian pada orang-orang kecil yang tak terdidik, tetapi justru memiliki naluri alamiah yang masih “asli” untuk cepat menangkap kebenaran dan “hikmah” ; sekaligus kritik kepada kaum elit terdidik yang saking canggihnya cara berpikir, kadang kehilangan naluri alamiah untuk “beriman”
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement