Sukses

Gus Iqdam Sindir Takmir yang sok Galak, Ternyata Ini Hukum Tidur di Masjid dalam Islam

Terlepas dari pro dan kontranya, pertanyaannya kemudian, apa hukum tidur di masjid?

Liputan6.com, Jakarta - Kita dengan mudah menemukan tulisan berukuran mencolok, dengan pesan 'Dilarang Tidur di Masjid'. Rupanya, hal itu juga menjadi perhatian Gus Iqdam, pendakwah muda asal Blitar. 

Dalam sebuah momen pengajian, Gus Iqdam menyindir kelakuan takmir masjid yang sok galak dan melarang orang tidur di masjid.

"Takmir-takmir masjid ora usah kereng-kereng nemen, koyo sing duwe mesjid dewe wae," kata Gus Iqdam seperti yang ada dalam video pendek unggahan TikTok akun @Mama Gerah.

Jika diartikan, takmir-takmir masjid tidak usah terlalu galak-galak, seperti yang punya masjid saja. Dia juga tak setuju dengan takmir yang terlalu galak kepada anak-anak.

"Angger ono bocah ndlosor neng serambi digepuki, koyo apik-apiko dhewe, wong Israel yo koyo kowe kui, bekikuk," ujar Gus Iqdam.

Pengusiran orang tidur di masjid yang kadang dilakukan takmir masjid ini membuat hati Gus Iqdam ini miris dan sakit hati.

Terlepas dari pro dan kontranya, pertanyaannya kemudian, apa hukum tidur di masjid?

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 5 halaman

Toleransi untuk Orang yang Tidur di Masjid

Melansir laman NU, pengurus masjid memang bermaksud baik dengan kebijakan itu seperti menjaga kebersihan dan keheningan masjid dari liur atau dengkuran yang ditimbulkan orang yang tidur, atau menghindari pencuri (microfon atau ampli, mesin elektronik pengeras suara) yang berpura-pura tidur.

Tetapi sumber hukum larangan tersebut patut ditelaah lebih lanjut. Kalau ditinjau dari segi fiqh sebenarnya, “Tak masalah tidur di masjid bagi orang yang tidak junub meskipun dia telah berkeluarga. Sejarah mencatat bahwa Ash-habus Shuffah –mereka adalah para sahabat yang zuhud, fakir dan perantau– tidur (bahkan tinggal) di masjid pada zaman Rasulullah SAW. Tentu saja haram hukumnya jika tidur mereka mempersempit ruang gerak orang yang sembahyang. Ketika itu, kita wajib menegurnya. Disunahkan pula menegur orang yang tidur di saf pertama atau di depan orang yang tengah sembahyang,” [M. Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi, Syarh Kasyifatus Saja ala Matni Safinatin Naja (Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan wa Auladih, tanpa tahun) Hal. 29].

Pandangan fiqh di atas merupakan bagian dari sejarah kemanusiaan Rasulullah SAW. Jangankan untuk sekadar tidur lepas penat dalam hitungan jam (di siang hari bagi pekerja atau di malam hari bagi pelancong), bahkan untuk jangka yang tak terbatas sekalipun, agama memberikan toleransi untuk mereka seperti perlakuan Rasulullah terhadap Ash-habus Shuffah.

Berikut ini adalah hukum tidur di masjid dalam berbagai kondisi dan latar belakang keadaan berbeda, melansir konsultasisyariah.com

3 dari 5 halaman

Hukum Tidur di Masjid dengan Beragam Kondisi

pertama, Orang yang sedang beri’tikaf boleh tidur di masjid dengan sepakat ulama.

Dalam fikih i’tikaf dinyatakan,

يباح للمعتكف أن ينام في المسجد باتفاق الفقهاء

Dibolehkan bagi orang yang i’tikaf untuk tidur di masjid dengan sepakat ulama (Fiqh al-I’tikaf, Dr. Khalid al-Musyaiqih, hlm. 88).

Orang yang melakukan i’tikaf, disyariatkan untuk menetap di masjid dan tidak boleh keluar masjid, kecuali jika ada hajat yang tidak memungkinkan dilakukan di masjid.

’Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika i’tikaf sama sekali tidak masuk rumah, kecuali karena menunaikan hajat manusia. (HR. Muslim 297).

Kedua, Hukum tidur bagi selain orang i’tikaf.

Mayoritas ulama berpendapat, boleh tidur di masjid bagi orang yang butuh untuk istirahat atau orang miskin yang tidak memiliki tempat tinggal.

Di antara dalilnya

1. Hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّهُ كَانَ يَنَامُ وَهُوَ شَابٌّ أَعْزَبُ لاَ أَهْلَ لَهُ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Bahwa Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika masih muda, bujangan, dan belum berkeluarga, beliau tidur di masjid Nabawi. (HR. Bukhari 440)

2. Kisah Ahlus Sufah,

Ahlus sufah adalah para sahabat yang datang dari luar madinah, dan mereka tidak memiliki tempat tinggal di Madinah. Oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuatkan atap di salah satu sudut masjid untuk tempat tinggal mereka. Jumlah mereka bisa mencapai 70 orang. Kadang kurang karena balik ke daerahnya, atau tambah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, menceritakan,

لَقَدْ رَأَيْتُ سَبْعِينَ مِنْ أَصْحَابِ الصُّفَّةِ مَا مِنْهُمْ رَجُلٌ عَلَيْهِ رِدَاءٌ

Aku bertemu dengan 70 ashabus sufah. Tidak ada seorangpun yang memakai kain penutup badan bagian atas. (HR. Bukhari 442)

 

4 dari 5 halaman

Bagi yang Tak Punya Tempat Tinggal

3. Wanita hitam yang tinggal di masjid,

’Aisyah menceritakan bahwa ada seorang budak wanita hitam milik salah satu suku arab lalu mereka merdekakan. Ketika wanita ini mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia masuk islam. ’Aisyah menceritakan,

فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي المَسْجِدِ – أَوْ حِفْشٌ

Wanita ini memiliki kemah kecil dari dedaunan dan bulu yang berada di dalam masjid. (HR. Bukhari 439).

4. Kisah Ali bin Abi Thalib yang tidur siang di masjid,

Di siang hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi rumah putrinya Fatimah. Sesampainya di rumah Fatimah, beliau tidak menjumpai suaminya, Ali bin Abi Thalib.

“Tadi ada masalah denganku, lalu dia marah dan keluar. Sehingga tidak tidur siang di rumah.” Jelas Fatimah.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seseorang untuk mencari keberadaan Ali.

”Ya Rasulullah, dia di masjid, sedang tidur.” Jawab sahabat.

Rasulullah pun mendatangi Ali yang sedang tidur di masjid. Kain penutup pundaknya terjatuh dan mengenai tanah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membersihkannya, dan memanggilnya,

قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ

”Bangun! hai Abu Thurab…, bangun! hai Abu Thurab…”. (HR. Bukhari 441 dan Muslim 2409)

Kita sangat yakin, para sahabat yang tinggal di masjid memahami kemuliaan masjid. Mereka juga memahami bahwa masjid harus dijaga kesucian dan kebersiahannya. Disamping itu, perbuatan mereka juga diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak mengingkarinya. Semua pertimbangan ini menunjukkan bahwa pada asalnya, tidur di masjid hukumnya dibolehkan.

 

5 dari 5 halaman

Batasan Kebolehan Tidur di Masjid

Kemudian, sebagian ulama memberikan batasan, bahwa hukum bolehnya tidur di masjid, berlaku bagi mereka yang membutuhkan untuk tempat istirahat sementara. Bukan tempat untuk menetap.

Syaikhul Islam menjelaskan,

ويجوز النوم في المسجد للمحتاج الذي لا مسكن له أحيانا وأما اتخاذه مبيتا ومقيلا فينهى عنه

Boleh tidur di masjid bagi orang yang membutuhkan, yang tidak memiliki tempat tinggal, namun bersifat kadang-kadang (sementara). Adapun menjadikan masjid sebagai tempat tinggal, tidur malam dan siang di sana, maka hukumnya dilarang. (Mukhtashar al-Fatawa al-Mishriyah, 1/56).

Para ahlus sufah yang tidur di sudut masjid, mereka tinggal di madinah hanya sementara. Setelah pertemua mereka dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dirasa cukup, mereka pulang ke daerahnya.

Ketiga, harus dijaga ketertiban, kebersihan dan kesuciannya

Masjid dibangun sebagai tempat untuk mengagungkan Allah. Karena itu, bagi siapapun yang melakukan hal mubah di masjid, seperti makan, atau tidur, selayaknya menjaga masjid dari kotoran, maupun najis, dan tidak boleh mengganggu orang yang menjalankan ibadah.

Keempat, izin Takmir

Jika pihak takmir menetapkan aturan larangan untuk tidur di masjid maka jamaah berkewajiban menghormati aturan ini, sehingga mereka tidak boleh tidur di masjid. Karena takmir membuat aturan ini, tidak lain adalah untuk kemaslahatan dan ketertiban masjid.