Liputan6.com, Jakarta - Hampir setiap penetapan kalender Islam, selalu ada perbedaan di kalangan Umat Islam dunia. Di Indonesia saja, Muhammadiyah punya perhitungan sendiri soal penetapan awal Bulan Hijriah.
Tahun ini, awal puasa berbeda karena perbedaan standar penghitungan ketinggian hilal. Maka Muhammadiyah melaksanakan puasa lebih cepat sehari daripada pemerintah.
Alih-alih mengusulkan upaya persamaan perhitungan awal bulan bersama, Muhammadiyah punya ide agar ada kalender Islam global. Salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia ini ingin Kalender lunar Hijriah ini berlandaskan prinsip sederhana: satu hari, satu tanggal, di seluruh dunia.
Advertisement
Baca Juga
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebutkan, meski perbedaan merupakan hikmah, namun menjadi tantangan bagi umat Islam untuk menyatukannya. Umat Islam harus berijtihad untuk menemukan solusi agar terwujud kalender hijriah global.
“Malu rasanya di era abad ilmu pengetahuan dan hadirnya kalender Masehi yang telah lama jadi rujukan pasti, kaum muslim sejagad masih berkutat pada ketidakpastian dalam penentuan kehadiran bulan baru,” kata Haedar Nashir dikutip dari laman Muhammadiyah.or.id yang diterbitkan Selasa (12/3/2024).
Penetapan kalender Islam global ini, sambugnya, akan membuat umat lebih maju ke Tingkat peradaban tinggi berbasis ilmu pengetahuan. Sebab ini akan memberi kepastian maksimal.
“Seraya meninggalkan ketidakpastian dalam menentukan awal Ramadan, Idul Futri, dan Idul Adha,” katanya.
Kalender Hijriah Global Tunggal
Lebih lanjut soal ini, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih dan Tajdid Syamsul Anwar menjelaskan konsep bertujuan untuk menciptakan kesatuan di antara umat Islam, menghapus perbedaan waktu dan tanggal yang sering kali membingungkan.
Cita-cita tersebut bukan tanpa hambatan. Kendati kalender Islam global menetapkan kriteria yang jelas untuk menentukan awal bulan baru, masih banyak kalangan yang kuat berpegang kepada tradisi rukyat fisik.
Hal ini menjadi hambatan karena Kalender Hijriah Globa Tunggal (KHGT), seperti kalender Islam pada umumnya, membutuhkan penggunaan hisab dan tidak dapat mengandalkan metode rukyat dalam penentuan awal bulan baru.
“Perlu diakui bahwa perubahan budaya dan kebiasaan memerlukan waktu untuk diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, masih diperlukan upaya lebih lanjut untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang keunggulan dan kepraktisan KHGT,” kata Syamsul di laman muhammadiyah.or.id
Untuk itu, sambungnya, pendidikan dan sosialisasi terkait konsep ini dapat membantu mengatasi hambatan ini dan merangsang adopsi yang lebih luas. Para ahli astronomi dan falak, termasuk ahli syariah dan fikih, juga masih belum banyak memahami pembuatan Kalender Islam global.
“Mereka masih belum tergerak untuk mengapresiasi arti penting dan keperluan hadirnya kalender Islam global tersebut, khususnya dalam rangka penepatan jatuhnya hari ibadah tertentu,” ujar Syamsul.
Jika dilihat dari hambatannya, tentu bukan hal yang mudah untuk mewujudkan kalender bersama umat Islam tersebut. Meski demikian, Syamsul meyakini jika dilaksanakan dengan baik, pada waktunya hal itu akan terealisasi.
“Perlu diakui bahwa perubahan selalu memerlukan waktu dan upaya yang serius untuk diterima. Langkah-langkah pendidikan intensif dan dialog yang konstruktif antara ahli astronomi, falak, dan ahli syariah, fikih dapat membuka jalan menuju pemahaman tentang manfaat dan kebutuhan KHGT,” papar Syamsul.
Syamsul juga memaparkan peluang besar jika ini terealisasi. Dia melihat penyatuan global melalui penerimaan kalender berdasarkan kriteria global memberikan potensi untuk menciptakan kesatuan tidak hanya dalam skala lokal, tetapi juga dapat mempromosikan keseragaman di tingkat internasional.
“Pilihan ini memberikan peluang untuk mengembangkan kerjasama dan pengakuan bersama antara komunitas Muslim di seluruh dunia, menciptakan landasan bagi pemahaman bersama tentang penanggalan dalam konteks global,” pungkasnya.
Advertisement