Liputan6.com, Jakarta Sejarah peci telah menjadi bagian penting dalam budaya Indonesia. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peci adalah penutup kepala yang biasanya terbuat dari kain atau bahan lainnya. Secara tradisional, peci memiliki bentuk yang meruncing di kedua ujungnya dan umumnya digunakan oleh para pria. Namun, seiring perkembangan zaman, peci telah mengalami berbagai variasi dan inovasi.
Baca Juga
Advertisement
Sejarah peci hitam sebagai pakaian nasional Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sosok Presiden Indonesia pertama, Sukarno. Selain itu, ada juga peci putih yang identik dengan orang-orang yang menjalankan ibadah haji, serta peci bulat yang terbuat dari rotan. Variasi ini mencerminkan keberagaman budaya dan tradisi yang ada di Indonesia.
Tidak hanya sebagai pakaian nasional, peci juga memiliki nilai religius dalam ajaran Islam. Peci dipandang sebagai sunah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Pada dasarnya, peci yang merupakan pakaian muslim berfungsi sebagai alat bantu dalam menjalankan salat agar dahi tidak terhalang oleh rambut saat bersujud. Berikut ulasan lebih lanjut tentang sejarah peci di Indonesia yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Selasa (19/3/2024).
Diperkenalkan Pedagang dari Arab
Rozan Yunos dalam tulisannya berjudul "The Origin of The Songkok or Kopiah," menjelaskan sejarah peci berawal dari pedagang Arab yang memasuki Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Awalnya, para pedagang Arab menggunakan turban atau sorban sebagai penutup kepala saat beraktivitas. Namun di Nusantara, penutup kepala dari kain yang dililitkan kepala ini hanya digunakan oleh pemuka agama Islam.
Rakyat biasa umumnya mengenakan penutup kepala lain seperti udeng atau blangkon. Seiring berjalannya waktu peci yang umum digunakan sebagai dalaman turban mulai lumrah dipakai secara luas sejak ajaran Islam yang juga dibawa oleh para pedagang ini mulai diterima oleh masyarakat setempat.
Meskipun asal-muasal masuknya peci ke Tanah Melayu masih menjadi perdebatan, namun penutup kepala khas Arab lebih diterima oleh kalangan Muslim Melayu karena dianggap sebagai sunah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Adanya penutup kepala yang serupa di negara-negara lain seperti fez di Turki, tarboosh di Mesir, rumi cap di India dan Pakistan, atau kepi di Prancis, menunjukkan bahwa penutup kepala telah menjadi bagian dari berbagai budaya di berbagai belahan dunia.
Sejarah peci mencerminkan adanya pertukaran budaya antarbangsa yang melibatkan perjalanan para pedagang, penyebaran agama Islam, dan adaptasi lokal yang mengakibatkan munculnya peci sebagai salah satu penutup kepala yang khas di Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa peci bukan hanya sekadar pakaian tradisional, tetapi juga mengandung nilai-nilai historis dan religius yang penting bagi masyarakat Muslim di wilayah tersebut.
Advertisement
Populer di Jawa Sejak Abad Ke-15
Peci mulai populer digunakan oleh masyarakat Jawa pada abad ke-15. Peci menjadi pakaian yang terkenal di Giri, salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa. Pada masa tersebut, Raja Ternate Zainal Abidin belajar agama di Madrasah Giri. Setelah kembali ke kampung halaman, dia membawa peci sebagai buah tangan. Peci pada masa itu sangat berharga sehingga dapat ditukar dengan rempah-rempah atau cengkih.
Kemudian, masuk ke era kolonial, Belanda berusaha untuk mengubah gaya berpakaian kaum lelaki di Jawa. Mereka mulai memperkenalkan berbagai pakaian gaya Barat kepada penduduk Jawa. Namun, meskipun terjadi perubahan dalam gaya berpakaian, peci atau blangkon tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kepala para pria Jawa. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peci dalam identitas dan budaya mereka.
Menariknya, topi Eropa atau topi gaya kolonial tidak populer di kalangan penduduk Jawa pada masa itu. Peci atau blangkon terus dipertahankan sebagai simbol identitas budaya, meskipun ada pengaruh Barat yang masuk. Hal ini mencerminkan kesetiaan dan kebanggaan masyarakat Jawa terhadap warisan budaya mereka sendiri.
Tulisan Denys Lombard menggambarkan bagaimana peci atau blangkon tetap menjadi pilihan yang utama di kalangan priyayi (bangsawan) Jawa, meskipun ada dorongan untuk mengadopsi gaya berpakaian Barat. Ini menunjukkan bahwa peci tidak hanya sekadar pakaian, tetapi juga mengandung nilai-nilai sejarah, identitas budaya, dan resistensi terhadap tekanan kolonial yang ingin mengubah budaya lokal.
Jadi Pakaian Nasional
Sebuah titik balik penting dalam sejarah peci terjadi di Surabaya pada bulan Juni 1921, ketika Sukarno menghadiri rapat Jong Java. Saat itu, banyak rekan-rekannya yang berdebat tanpa menggunakan penutup kepala, dengan keinginan untuk tampil seperti orang Barat. Pada masa itu, kaum intelegensia seringkali menganggap pakaian tradisional seperti blangkon dan sarung sebagai simbol kelas bawah.
Namun, Sukarno muda berhasil memecah perdebatan tersebut dengan gagasan yang mengubah persepsi terhadap peci. Dia menganggap bahwa peci adalah simbol kepribadian Indonesia yang memiliki sifat khas, mirip dengan yang digunakan oleh buruh bangsa Melayu. Sukarno menekankan pentingnya memakai peci sebagai lambang Indonesia Merdeka. Ini merupakan momen pertama di mana Sukarno secara terbuka mengenakan peci di depan publik.
Meskipun Sukarno bukan tokoh intelektual pertama yang mengenakan peci, namun peranannya dalam menyebarkan citra peci sebagai identitas bangsa sangatlah signifikan. Pada tahun 1913, tokoh-tokoh seperti Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara telah menggunakan penutup kepala sebagai bagian dari identitas mereka. Tjipto Mangunkusumo, misalnya, menggunakan kopiah dari beludru hitam.
Sebagai tokoh nasionali, Sukarno berhasil memadukan peci dengan busana formal seperti jas, sehingga mengubah citra peci menjadi lebih modern dan terkesan formal. Saat ini, peci tidak hanya digunakan sebagai penanda bahwa penggunanya adalah seorang Muslim, tetapi juga telah menjadi bagian dari busana formal yang dipakai pada acara resmi kenegaraan.
Sejarah peci di Indonesia mencerminkan perjuangan dalam mempertahankan identitas budaya dan nasionalisme. Peci tidak hanya menjadi simbol agama atau kelas sosial, tetapi juga menjadi simbol dari bangga akan keberagaman budaya dan warisan sejarah bangsa Indonesia.
Â
Advertisement