Sukses

Tamsil dan Isyarat Mendapatkan Malam Lailatul Qadar

Salah satu hal yang sangat diinginkan seluruh umat Islam tatkala mengerjakan ibadah puasa Ramadan, selain mendapatlan pahala yang berlipat ganda dan ampunan dari Allah SWT ialah mendapatkan malam lailatul qadar

Liputan6.com, Cilacap - Manusia pertama kali mendapatkan malam lailatul qadar ialah Rasulullah SAW. Keistimewaan malam ini sebagaimana informasi Al-Qur’an ialah suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Salah satu hal yang sangat diinginkan seluruh umat Islam tatkala mengerjakan ibadah puasa Ramadan, selain mendapatlan pahala yang berlipat ganda dan ampunan dari Allah SWT ialah mendapatkan malam lailatul qadar.

Demi meraih malam penuh kemuliaan ini banyak dari mereka yang telah mempersiapkan di awal Ramadan dengan memperbanyak ibadah seperti sholat sunah malam dan zikir hingga akhir bulan Ramadhan.

Meski demikian, tidak serta merta ia mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Semua itu tentu saja tidak lepas dari peran Allah SWT untuk mendapatkan malam mulia ini.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Ini Kisahnya

Malam lailatul qadar adalah malam datangnya keberkahan dan kemuliaan (QS Al-Qadr: 1). Malam yang lebih baik dari 1000 bulan (QS Al-Qadr: 3) ini memberikan jaminan kebaikan secara berkesinambungan di mana malaikat turun ke bumi melimpahkan segala kemuliaan dari Allah SWT bagi hamba yang dikehendaki-Nya.

Kemuliaan berkesinambungan tersebut dinyatakan dalam salah satu ayat Al-Qur’an berbunyi, Tanazzalul malaikat war ruh (QS Al-Qadr: 4). Kata Tanazzalul adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang. (M. Quraish Shihab, 1999).

Malam yang hadir pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan menurut beberapa riwayat jatuh pada tanggal-tanggal ganjil ini menuntut kesiapan dari manusianya itu sendiri untuk mendapatkan malam lailatul qadar. Artinya, apabila jiwa telah siap, kesadaran telah tumbuh dan bersemi, dan lailatul qadar datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadar, dalam arti saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang.

Saat itu bagi seorang hamba adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Sejak saat itu pula malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian. Saat-saat menentukan dan mengubah seluruh kehidupan Nabi Muhammad dan umatnya ialah ketika beliau menyendiri di Gua Hira.

Saat itu merupakan momen pertama kali Nabi SAW menemukan malam lailatul qadar. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing Nabi sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.

 

3 dari 3 halaman

Diraih Oleh Manusia yang Telah Siap Dengan Kebaikan dan Kemuliaan Hati

Sekilas dari kisah Nabi di atas, lailatul qadar tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja. Malam lailatul qadar diraih oleh manusia ketika dia telah siap dengan segala kebaikan dan kemuliaan hatinya. Jadi, hadirnya malam yang akan mengubah perjalanan hidup seorang tersebut menuntut peran aktif manusia dalam beramal, beribadah, melakukan kebaikan untuk semua manusia, dan menyucikan jiwanya.

Tamsil dari datangnya malam yang mulia tersebut dapat dijelaskan yaitu ketika ada tamu agung yang berkunjung ke satu tempat tidak akan menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tak sudi mampir menemuinya?

Demikian juga dengan lailatul qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa. Sebab itu, diduga oleh Rasulullah lailatul qadar datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.

Karena ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinakan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya. Itu pula sebabnya Nabi SAW menganjurkan sekaligus mempraktikkan i’tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Wallahu a’lam bisshowab.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul