Sukses

Menyalurkan Zakat kepada Orangtua Sendiri, Bagaimana Hukumnya?

Berzakat merupakan salah satu cara untuk mensucikan diri dan harta. Lantas, bagaimana hukumnya menyalurkan zakat kepada orangtua sendiri?

Liputan6.com, Jakarta - Setiap muslim memiliki kewajiban untuk membayar zakat dengan syarat tertentu. Zakat ditujukan untuk membantu orang-orang yang kurang mampu. 

Zakat merupakan bagian tertentu dari harta yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim apabila sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.

Zakat ini diberikan dari muzakki (orang yang wajib mengeluarkan zakat) kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Sementara itu, ada delapan golongan mustahik yang berhak menerima zakat, sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. At-Taubah ayat 60.

Mereka adalah fakir, miskin, fi sabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah seperti orang yang berperang atau berdakwah), muallaf, gharim, ibnu sabil, amil zakat (pengelola zakat), dan riqab (hamba sahaya/budak).

Bagi setiap muslim yang mampu secara finansial, maka wajib baginya untuk membayar zakat. Lantas bagaimanakah hukum bagi seorang anak yang membayarkan zakat kepada orangtuanya sendiri?

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Hukum Memberikan Zakat pada Orangtua

Mengutip dari laman rumahzakat.org, seperti yang dirangkum dari buku Fiqih Sunnah Sehari-Hari karya Farid Nu’man Hasan, dikatakan bahwa mayoritas para ulama (bahkan ada yang menyebutnya sebagai ijma’), mengatakan bahwa tidak boleh menyalurkan zakat kepada orangtua sendiri.

Alasannya karena orangtua yang kondisinya fakir atau miskin memang sudah menjadi tanggungan hidup anaknya. Sehingga, seharusnya anaknya yang menafkahi orangtuanya yang kekurangan. Apalagi jika orangtuanya sudah tua dan sudah tidak mampu lagi mencari uang/nafkah.

Larangan tersebut disampaikan pula oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni. Bahwa Sang Imam berkata, “Para ulama telah ijma’ bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada kedua orangtua sendiri saat orang yang membayar zakat itu memang wajib menafkahi mereka karena menyalurkan zakat kepada mereka sama saja seperti mencukupi mereka dengan hartanya sendiri dan mengembalikan manfaatnya kepada diri sendiri seolah-ola ia membayar zakat kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu (ini) tidak boleh sebagaimana jika ia membayar utang dengan zakat itu.

Sama halnya juga dengan seorang anak yang kondisinya fakir atau miskin sedangkan orangtuanya kaya/berkecukupan, maka orangtuanya pun tidak dibenarkan untuk menyalurkan zakatnya kepada anaknya yang kekurangan tersebut. Karena anak sendiri merupakan tanggungan nafkah dari orangtuanya.

Hal tersebut ditegaskan pula oleh penjelasan dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berikut ini, “Kedua orangtua tidaklah diberikan zakat dan tidak pula anak, cucu, kakek, nenek, serta anak dari anak perempuan.”

Hal senada juga diungkapkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam Fatawa Nur ‘alad Darb, beliau mengatakan, “Tidaklah seorang laki-laki dan perempuan membayarkan zakatnya kepada kedua orangtua dan anak-anaknya. Zakat hanya untuk kerabatnya dan orang lain. Jika mereka fakir dan mereka tidak di bawah tanggungan dan dinafkahinya, nilainya menjadi sedekah sekaligus silaturahim.”

3 dari 3 halaman

Pendapat yang Membolehkan

Meski demikian, ada juga ulama yang membolehkan seorang anak menyalurkan zakat kepada orangtuanya. Pendapat itu datang dari Syekh Abdullah al-Faqih hafizhahullah dan Imam Ibnu Taimiyah.

Dibolehkannya menyalurkan zakat kepada orangtua apabila memang ada sebab tertentu, misalnya ketika orangtua memiliki utang dan tidak mampu membayarnya. Sehingga orangtua tersebut masuk ke dalam golongan mustahik zakat gharim. Mengingat membayar utang orangtua bukan merupakan kewajiban anak untuk membayarnya.

“Begitu pula bagi seorang anak, boleh menyalurkan zakatnya untuk melunaskan utang ayahnya karena membayarkan utang ayah bukanlah kewajiban anak.” (Menurut pendapat Syekh Abdullah al-Faqih hafizhahullah dalam Fatawa asy-Syabakah al-Islamiyah). Wallohu’alam bishawab.