Liputan6.com, Jakarta - Rezeki tak akan ke mana. Sepertinya peribahasa ini pas untuk kisah pemuda miskin yang kelaparan satu ini.
Niat hati mencuri terong, pemuda beruntung itu tak hanya dapat terong saja melainkan dapat wanita cantik.
Memang, keberuntungan seseorang tak bisa diduga. Mungkin tidak dalam bentuk atau waktu yang diharapkan. Artinya, seseorang harus tetap bersabar dan percaya bahwa rezeki akan datang pada waktunya.
Advertisement
Pemuda miskin ini dua hari sudah tidak makan, di hari berikutnya jika sampai tak makan, maka justru ia akan menemui kemtian. Sehingga ia nekat mencuri terong, alih alih aga terbebas darikelaparan sekaligus kematian.
Konon, saking miskinnya pemuda ini, untuk makan saja tidak mampu. Apalagi sampai berpikir menikahi wanita cantik.
Dia sadar diri, bermimpi saja tak sanggup.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Kisah Pemuda Kelaparan, yang Nekat Mencuri Terong
Mengutip kisahmuslim.com, di Damaskus, ada sebuah masjid besar, namanya Masjid Jami’ At-Taubah. Masjid itu penuh keberkahan. Di dalamnya ada ketenangan dan keindahan. Sejak tujuh puluh tahun, di masjid itu ada seorang syaikh pendidik yang alim dan mengamalkan ilmunya, namanya Syaikh Salim Al-Masuthi.
Dia sangat fakir sehingga menjadi contoh dalam kefakirannya, dalam menahan diri dari meminta, dalam kemuliaan jiwanya dan dalam berkhidmat untuk kepentingan orang lain.
Saat itu ada pemuda yang bertempat di sebuah kamar dalam masjid. Sudah dua hari berlalu tanpa ada makanan yang dapat dimakannya. Dia tidak punya makanan ataupun uang untuk membeli makanan.
Saat datang hari ketiga dia merasa bahwa dia akan mati, lalu dia berpikir tentang apa yang akan dilakukan. Menurutnya, saat ini dia telah sampai pada kondisi terpaksa yang membolehkannya memakan bangkai atau mencuri sekadar untuk bisa menegakkan tulang punggungnya. Itulah pendapatnya dalam kondisi semacam ini.
Masjid tempat dia tinggal itu, atapnya bersambung dengan atap beberapa rumah yang ada di sampingnya. Hal ini memungkinkan seseorang pindah dari rumah pertama sampai terakhir dengan berjalan di atas atap rumah-rumah tersebut. Maka, dia pun naik ke atas atap masjid dan dari situ dia pindah ke rumah sebelah.
Di situ dia melihat wanita, maka dia memalingkan pandangannya dan menjauh dari rumah itu. Lalu dia lihat rumah yang di sebelahnya lagi. Keadaannya sedang sepi dan dia mencium ada bau masakan berasal dari rumah itu. Rasa laparnya bangkit, seolah-olah bau masakan tersebut magnet yang menariknya.
Rumah-rumah di masa itu banyak dibangun dengan satu lantai, maka dia melompat dari atap ke dalam serambi. Dalam sekejap dia sudah ada di dalam rumah dan dengan cepat dia masuk ke dapur lalu mengangkat tutup panci yang ada di situ.
Advertisement
Sudah Satu kali Gigit Pemuda Ini Ingat Sesuatu
Di lihatnya sebuah terong besar dan telah dimasak. Lalu dia mengambilnya, karena rasa laparnya dia tidak lagi merasakan panasnya. Digigitlah terong yang ada di tangannya.
Namun, saat dia mengunyah dan hendak menelannya, dia ingat dan timbul lagi kesadaran beragamanya.
Langsung dia berakta, A’udzu billah! Aku adalah penuntut ilmu dan tinggal di masjid, pantaskah aku masuk ke rumah orang dan mencuri barang yang ada di dalamnya?’ Dia merasa bahwa ini adalah kesalahan besar, lalu dia menyesal dan beristighfar kepada Allah, kemudian mengembalikan lagi terong yang ada di tangannya.
Akhirnya dia pulang kembali ke tempatnya semula. Lalu dia masuk ke dalam masjid dan duduk mendengarkan syaikh yang saat itu sedang mengajar. Karena terlalu lapar dia hampir tidak bisa memahami apa yang dia dengar.
Ketika majlis itu selesai dan orang-orang sudah pulang, datanglah seorang perempuan yang menutup tubuhnya dengan hijab -saat itu memang tak ada perempuan kecuali dia memakai hijab-. Kemudian perempuan itu berbicara dengan syaikh.
Saat Pemuda Ini Dapatkan Wanita Cantik
Sang pemuda tidak bisa mendengar apa yang sedang dibicarakannya. Akan tetapi, secara tiba-tiba syaikh itu melihat ke sekelilingnya. Tak tampak olehnya kecuali pemuda itu, dipanggillah ia dan syaikh itu bertanya, ‘Apakah kamu sudah menikah?’, dijawab, ‘Belum,’. Syaikh itu bertanya lagi, ‘Apakah kau ingin menikah?’. Pemuda itu diam. Syaikh mengulangi lagi pertanyaannya.
Akhirnya pemuda itu angkat bicara, ‘Ya Syaikh, demi Allah! Aku tidak punya uang untuk membeli roti, bagaimana aku akan menikah?’. Syaikh itu menjawab, ‘Wanita ini datang membawa kabar, bahwa suaminya telah meninggal dan dia adalah orang asing di kota ini'.
'Di sini, bahkan di dunia ini dia tidak mempunyai siapa-siapa kecuali seorang paman yang sudah tua dan miskin’, kata syaikh itu sambil menunjuk seorang laki-laki yang duduk di pojokan.
Syaikh itu melanjutkan pembicaraannya, ‘Dan wanita ini telah mewarisi rumah suaminya dan hasil penghidupannya. Sekarang, dia ingin seorang laki-laki yang mau menikahinya, agar dia tidak sendirian dan mungkin diganggu orang.
Maukah kau menikah dengannya?’. Pemuda itu menjawab, ‘Ya’. Kemudian syaikh bertanya kepada wanita itu, ‘Apakah engkau mau menerimanya sebagai suamimu?’, ia menjawab, ‘Ya’. Maka syaikh itu memanggil pamannya dan mendatangkan dua saksi kemudian melangsungkan akad nikah dan membayarkan mahar untuk muridnya itu.
Kemudian syaikh itu berkata, ‘Peganglah tangan isterimu!’ Dipeganglah tangan istrinya dan sang istri membawanya ke rumahnya. Setelah keduanya masuk ke dalam rumah, sang istri membuka kain yang menutupi wajahnya.
Tampaklah oleh pemuda itu, bahwa dia adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik. Rupanya pemuda itu sadar bahwa ternyata rumah itu adalah rumah yang tadi telah ia masuki.
Sang istri bertanya, ‘Kau ingin makan?’, ‘Ya’ jawabnya. Lalu dia membuka tutup panci di dapurnya. Saat melihat buah terong di dalamnya dia berkata: ‘Heran, siapa yang masuk ke rumah dan menggigit terong ini?!’.
Maka pemuda itu menangis dan menceritakan kisahnya. Istrinya berkomentar, ‘Ini adalah buah dari sifat amanah, kau jaga kehormatanmu dan kau tinggalkan terong yang haram itu, lalu Allah berikan kepadamu rumah ini semuanya berikut pemiliknya dalam keadaan halal.
Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu ikhlas karena Allah, maka akan Allah ganti dengan yang lebih baik dari itu’.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda Cingebul
Advertisement