Sukses

Tradisi Mudik dan Bermaaf-maafan di Hari Raya Idul Fitri, antara Budaya dan Perintah Agama

Selain melaksanakan Sholat Idul Fitri, di momen kemenangan pasca melaksanakan Ibadan puasa Ramadan selama sebulan penuh, maka di pagi harinya, khususnya di Indonesia masyarakat muslim mengadakan tradisi bermaaf-maafan.

Liputan6.com, Cilacap - Selain melaksanakan Sholat Idul Fitri, usai beribadah puasa Ramadan selama sebulan penuh, maka di pagi harinya, masyarakat muslim mengadakan tradisi bermaaf-maafan.

Tradisi turun temurun ini telah sejak lama diakukan masyarakat muslim, khususnya di Indonesia. Tampak dalam momen bahagia ini setiap orang saling mengunjungi dan bertemu untuk meminta maaf.

Fenomena yang biasa dirayakan setiap satu tahun sekali ini pun menjadikan mereka yang berada di di luar daerah rela pulang kampung alias mudik untuk bertemu dengan saudara dan teman-temannya di kampungnya.

Pulang kampung sendiri sejatinya bukan hanya dapat dimaknai kembali ke kampung halaman tempat ia dilahirkan. Namun juga dapat dimaknai sebagai kembali ke fitrah, yakni kembali ke asal kejadian manusia yang sejatinya suci dan bersih.

Melihat meriahnya tradisi merayakan Idul Fitri di Indonesia hingga tradisi bermaaf-maafan yang dilakukan masyarakat Indonesia, maka pertanyaan yang kemudian muncul, apakah tradisi ini juga terdapat di negara di luar Indonesia?

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Apakah di Negara Luar ada Tradisi Bermaaf-maafan?

Menukil Jazirah.Id dalam masyarakat Jawa, tradisi halal bi halal dilakukan dalam bentuk “Sungkeman” atau duduk bersujud meminta maaf. Sungkeman dimulai dari sungkem kepada ibu/bapak, dilanjutkan dengan sungkem dari saudara yang muda kepada yang lebih tua. Secara umum, tradisi halal bi halal ini dilakukan dengan saling menyambangi orang tua atau orang yang secara hirarkhi dianggap lebih tinggi.

Hirearki dalam konteks ini bukan sekadar kedudukan sosial atau jabatan. Tapi juga hirearki dari sisi umur. Orang muda akan mendatangi orang yang lebih tua.

Di sini, dalam perspektif ilmu psikologi sosial, manusia adalah individu yang tidak hanya memiliki identitas personal, tapi juga identitas sosial. Identitas personal adalah struktur fisik dan fitur kepribadian yang kita miliki sebagai seorang individu.

Demikian sajian Jazirah Indonesia kali ini berfokus pada fenomena “maaf memaafkan” saat momen Idul Fitri yang berkonotasi dengan “halal bi halal”, dijumpai ada tradisi yang menengahi dan secara tak langsung mendekatkan setiap orang pada setiap tujuan itu. Contoh tradisi “mudik” yang disebutkan.

Fenomena itu berbeda di setiap Negara, Hordern, (2016); Ives & Kidwell, (2019) menemukan berbagai macam tradisi umat muslim di seluruh dunia menyambut bulan Syawal dengan tradisi  yang lebih mempunyai makna tak langsung sebagai silaturahmi.

Di Turki misalnya, dikenal dengan tradisi ‘Hari Raya Gula’ atau dalam bahasa lokalnya “Seker Bayram”saat perayaan Idul Fitri. Dimana setiap keluarga di Turki akan menerima dan memberi manisan, permen, cokelat, hingga kudapan kuliner khas Turki.

Sedangkan yang menyertai saat lebaran di Turki yakni Bayram, orang-orang akan saling mengucapkan ‘Bayramınız mübarek olsun’, seperti kita di Indonesia yang saling mengucapkan ‘minal aidzin wal faidzin’, namun ini lebih pada konteks silaturrahim ke rumah keluarga atau tetangga terdekat.

Di China, warga muslim dari etnis Hui di Provinsi Ningxia, pendekatan silaturahhmi dengan satu tradisi setelah Salat Idul Fitri, mereka secara bersama melakukan ziarah kubur untuk mendoakan keluarga dan nenek moyang yang tewas akibat revolusi kebudayaan dan persekusi Dinasti Qing.

Kemudian, muslim India merayakan Idul Fitri dengan berkumpul bersama keluarga dan menyantap servai yaitu sejenis bihun dan Sheer Kurma.

Hanifah, (2019) juga mengungkap tradisi yang tak kalah unik umat Muslim Afganistan, silaturahmi yang telah mengakar dengan gelaran tradisi perang telur “Tokhm-Jangi”, dimana telur tersebut diwarnai ke taman-taman.

3 dari 3 halaman

Relasi Teologis Bermaaf-maafan Saat Lebaran

Dari fenomena berlebaran Idul Fitri yang diungkap, jelas ada perbedaan di berbagai Negara, meskipun masih dibutuhkan kajian lebih jauh tentang hakikat perbedaan itu.

Demikian pertanyaannya, apakah saling maaf memaafkan (halal bi halal) merupakan suatu peristiwa teologis, yang menjadi kewajiban bagi umat islam, atau sekedar fenomena budaya.

Menjadi manusia pemurah dengan memaafkan sesama umat adalah amal saleh yang dianjurkan dalam Islam. Seperti dalam surat Al-A’raf ayat 199 yang artinya “jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang makruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”.

Kemudian, “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS An-Nuur: 22) Namun dalil itu tidak menjelaskan saling maaf memaafkan kapan dan dimana harus dilakukan. Hal itu berarti jika seseorang dengan lapang dada bermaafan atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat dapat dilakukan di setiap waktu. Pada dasarnya memaaf-mafaan adalah soal keikhlasan hati untuk meminta dan memberi maaf.

Di satu sisi tak dapat disangkal kebiasaan usai salat Idul Fitri masyarakat kita melanjutkannya dengan saling bersalaman satu sama lain dan bermaaf-maafkan.

Hal semacam ini terjadi mengalir begitu saja tanpa harus ada aba-aba. Kebiasaan Ini sudah menjadi tradisi secara turun temurun.

Namun identitas personal dan identitas sosial dalam teologi Islam, ada pandangan syariat yang dapat dijewantahkan. Seperti konteks mudik dalam bingkai Halal bi Halal yang disebut sebelumnya,

Bertemu dengan orang tua dan sanak saudara dalam konteks halal bi halal, bisa merupakan keharusan atau wajib, akan tetapi tidak harus pada momen lebaran. Sedangkan  kekhusuan dalam menjalankan ibadah puasa merupakan perintah wajib yang dilaksanakn menurut waktu yang ditentukan.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul