Sukses

Antara Mitos dan Sunnah, Melangsungkan Pernikahan di Bulan Syawal

Menikah di bulan syawal sering dikaitkan dengan kesialan dalam rumah tangga. Lantas apakah hal tesebut benar atau sebaliknya mendatangkan keberkahan karena termasuk sunnah yang dianjurkan?

Liputan6.com, Jakarta - Menikah adalah ibadah terlama yang dijalani oleh setiap pasangan. Seseorang yang telah menikah dianggap telah menyempurnakan separuh agamanya. 

Melangsungkan pernikahan tentunya bukan perkara yang mudah. Terdapat syarat serta rukun yang wajib untuk diperhatikan agar pernikahan tersebut menjadi sah.

Memasuki bulan Syawal  tepatnya setelah merayakan hari lebaran, biasanya banyak pasangan yang memutuskan untuk menikah pada bulan berkah ini. 

Namun demikian, masih ada anggapan kurang baik bagi mereka yang menikah di bulan Syawal. Mereka beranggapan bahwa pernikahan tersebut akan membawa kesialan terhadap kehidupan rumah tangga calon mempelai nantinya. 

Memang sepertinya persepsi ini masih diyakini oleh sebagian kecil masyarakat. Lantas, apakah benar menikah di bulan Syawal akan membawa sial atau malah membawa keberkahan karena termasuk sunnah yang dianjurkan?

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 5 halaman

Asal Penamaan Bulan Syawal dan Kepercayaan Jahiliyah

Mengutip dari laman kalsel.kemenag.go.id, Muhammad bin Allan Al-Shiddiqi dalam Dalil Al-Falihin menjelaskan, nama Syawal diambil dari kalimat Sya-lat al-ibil, berarti seekor unta yang mengangkat ekornya. Sementara menurut Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab-nya menegaskan, Syawal berasal dari perkataan Syalat an-naqah bi dzanabiha, dengan makna senada, yakni unta betina yang menegakkan ekornya.

Lebih lanjut Ibnu Manzur menerangkan, para ahli bahasa terdahulu menyandarkan riwayat penamaan itu pada peristiwa yang biasa terjadi di bulan ini. Fenomena itu dikenal dengan istilah Tasywil laban al-ibil, alias kondisi susu unta yang sedikit. Oleh karena itu, Syawal diambil dari kata Syawwala yang bermakna "menjadi lebih sedikit dari sebelumnya."

Sebelum datang risalah Nabi Muhammad Saw, cerita asal nama Syawal ini melahirkan beberapa pantangan. Di antaranya, ketabuan melaksanakan pernikahan sebelum usai bulan Syawal. Kalimat Syalat an-naqah bi dzanabiha, misalnya, dengan makna seekor unta betina yang menegakkan ekornya itu bermula dari kecenderungan unta-unta betina yang enggan didekati pejantan. Ekor yang diangkat menandakan penolakan, bahkan perlawanan.

Dari situ, lantas muncullah kesimpulan masyarakat Arab sebelum Islam bahwa menikah di bulan Syawal menjadi sebuah hal yang tabu, bahkan dilarang. Begitu pula dengan perkataan Sya-lat al-ibil yang lebih diarahkan pada kecenderungan orang Arab yang menggantungkan alat-alat tempur mereka. Masyarakat Jahiliyah menjadikan Syawal sebagai bulan pantang berperang karena sudah mendekati bulan-bulan haram. 

3 dari 5 halaman

Setelah Datangnya Kenabian

Islam datang tidak cuma menegakkan keesaan Allah Swt, akan tetapi juga menata tradisi masyarakat yang kurang baik, termasuk mitos-mitos bulan Syawal yang merugikan di dalamnya.

Oleh karena itulah Rasulullah Saw. bahkan menjadikan keberkahan bulan Syawal dengan tercatatnya beberapa peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu perang Uhud pada pada tanggal 17 Syawal tahun ke-3 H, perang Khandaq/Ahzab pada tahun ke-5 H, dan perang Hunain pada tahun ke-8 H, semuanya terjadi di bulan syawal.

Islam datang tidak cuma menegakkan keesaan Allah Swt, akan tetapi juga menata tradisi masyarakat yang kurang baik, termasuk mitos-mitos yang merugikan di dalamnya. Salah satunya adalah kepercayaan pantangan menikah di bulan Syawal.  

Setelah Islam datang, tahayul yang dipercayai bangsa Arab itu dipatahkan Rasulullah Saw. yang menikahi Aisyah ra. pada tahun ke-11 kenabian, tepatnya di bulan Syawal.

4 dari 5 halaman

Sunnah Menikah di Bulan Syawal

Dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Nabi Saw. menikahi Aisyah untuk membantah keyakinan yang salah sebagian masyarakat yaitu tidak suka menikah di antara dua Ied (bulan Syawal termasuk di antara Iedul Fitri dan Iedul Adha), mereka khawatir akan terjadi perceraian.

Mereka beranggapan bahwa unta betina mengangkat ekornya (syaalat bidzanabiha) pada bulan Syawal sebagai tanda unta betina tidak mau dan enggan untuk menikah, sebagai tanda juga menolak unta jantan yang mendekat, maka para wanita juga menolak untuk dinikahi dan para wali pun enggan menikahkan putri mereka.

Bulan Syawal dijadikan waktu disunahkannya menikah ditujukan untuk menghilangkan kepercayaan orang-orang Arab Jahiliyah yang menganggap bahwa pernikahan di bulan Syawal adalah sebuah kesialan dan akan berujung dengan perceraian, sehingga para orangtua atau wali tidak ingin menikahi putri-putri mereka begitu juga para wanita tidak mau dinikahi pada bulan tersebut.

Untuk menghilangkan kepercayaan menyimpang tersebut, pernikahan di bulan Syawal pun dijadikan sebagai ibadah, sebagai sunnah Nabi Saw. Hadis fi’liyah di atas pun dijadikan sebagai anjuran untuk menikah dan menikahkan di bulan Syawal, mematahkan keyakinan atau anggapan sial terhadap sesuatu yang bisa menjerumuskan seseorang kepada kesyirikan.

Salah satu misi Nabi Saw. adalah menghapus keyakinan yang salah dari masyarakat Arab Jahiliyah. Oleh sebab itu, sangat dianjurkan menikah pada bulan Syawal sebagai bentuk ibadah menjalankan sunah Nabi Muhammad Saw. Sebagaimana hadis berikut: "Ummul Mukminin ‘Aisyah ra., ia menuturkan bahwa Rasulullah Saw. menikahiku (Siti Aisyah) pada bulan Syawal dan tinggal bersamaku pada bulan Syawal. Lalu adakah di antara isteri Rasulullah Saw. yang lain yang lebih beruntung di sisi beliau daripada aku.

 

5 dari 5 halaman

Kesimpulan

Para Ahli Riwayat mengemukakan bahwa: Adalah `Aisyah senang sekali menikahkan perempuan pada Bulan Syawal. Hadis ini dapat dilihat pada beberapa kitab hadis: (1) Shahih Muslim, No.1423, Juz I. Kitab an-Nikah, (2) Sunan At-Tirmidzi, No.1093, kitab an-Nikah, (3) Sunan An-Nasa’i kitab an-Nikah, (4) Sunan Ibnu Majah, No. 1990, kitab an-Nikah, (5) Sunan Ad-Darimi, No 2211, kitab an-Nikah, dan (6) Musnad Imam Ahmad bin Hambal No. 23751.

Mengenai hadis ini maka Imam An-Nawawi ra., dalam Kitab Tuhfatul Ahwadzi, dalam komentarnya menjelaskan bahwa hadis ini berisikan anjuran menikah di bulan Syawal,  Aisyah bermaksud dengan ucapannya ini adalah untuk menolak tradisi/kebiasaan (masyarakat pada zaman) Jahiliyah dan anggapan mereka bahwa menikah pada bulan Syawal tidak baik. Ini adalah suatu kebathilan yang tidak memiliki dasar. Mereka meramalkan demikian adalah karena kata Syawal mengandung arti menanjak atau tinggi.

Jadi kalau masih ada masyarakat yang berpendapat bahawa kurang baik atau bahkan melarang menikah di bulan Syawal antara dua hari rayaa dalah pendapat yang sangat keliru, karena tidak sesuai dengan hadis Nabi Saw. dan praktik beliau sendiri yang menikah dengan Aisyah pada bulan Syawal tersebut.

Islam sendiri menganggap pernikahan adalah perkara yang sakral karena dilaksanakan atas nama Allah Swt., halal dan baik untuk langkah awal membangun keluarga. Oleh karena itu kalau masih ada yang menganggapnya kurang baik menikah di bulkan tersebut, maka sungguh persepsi yang tidak berdasarkan ketentuan al-Qur`an dan hadis serta hanya rekaan (perkiraan) saja.