Liputan6.com, Jakarta - Sering di antara kita menghadapi masalah yang menyebabkan beban emosi yang berat. Misalnya, utang jatuh tempo atau ditagih kantor leasing.
Merasa tertekan, khawatir, dan cemas adalah reaksi yang umum dalam situasi keuangan yang sulit seperti ini, juga permasalahan hidup lainnya.
Menghadapi hal seperti ini KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menyarankan agar kita terhindar dari emosi. Jika emosi diikuti efeknya akan berbahaya. Ini cara yang diberikan Gus Baha.
Advertisement
"Kondisi penat, bawaannya itu emosi, gak suka kumpul, orang itu sebaiknya jangan jalan-jalan karena di antara kebaikan Islam itu tabbasum atau senyum, ceria," kata Gus Baha
"Tapi karena kita mungkin jatuh kredit, jatuh hutang, atau punya masalah keluarga, sehingga bawaan kita itu emosi," Gus Baha seperti diunggah di Youtube short, kanal @AlGhifari27.
Cara terbaik ketika seperti ini menurut Gus Baha adalah uzlah atau mengasingkan diri. "Nah dalam kondisi seperti ini sebaiknya uzlah atau menutup diri," ujarnya.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Uzlah Sudah Ada Sejak Zaman Nabi
Gus Baha menyebutkan, kata Rasulullah, di zaman akhir salah satu kebaikan itu meninggalkan manusia dan aktivitasnya.
"Rasulullah menyebutkan, kamu meninggalkan manusia supaya gak kena keburukan kamu," katanya. Persoalan emosi, menurut Gus baha biasanya ada momen atau ada saat dimana kita mungkin kalau ketemu orang itu bawaanya sengak, ingin ngomong yang gak enak atau kita penat.
Itu sebaiknya uzlah saja, mengurung diri di kamar atau isolasi sendiri, karena bawaannya baru emosi. Hal ini belum banyak orang yang mempraktekan," tandasnya.
Menukil lampung.nu.or.id, tradisi uzlah atau menarik diri sejatinya sudah ada sejak zaman para nabi terdahulu, terutama yang dikisahkan Al-Qur’an seperti uzlah-nya Nabi Ibrahim, Ashabul Kahfi, atau Nabi Musa ‘alaihimas salam.
وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَلَّا أَكُونَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا
Artinya, “Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku,” (Surat Maryam ayat 48). Para ulama tafsir menjelaskan, ketika kaumnya terus menolak dan merendahkannya, bahkan terang-terangan menyembah berhala, Al-Khalil Nabi Ibrahim AS kemudian beruzlah dan menarik diri. Allah pun memelihara nabi-Nya dari kejahatan mereka, dan membalasanya dengan balasan yang besar, serta menganugerahinya dengan karunia turunan yang saleh.
“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishak, dan Ya'qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi.” (Surat Maryam ayat 49).
Advertisement
Tradisi Uzlah Berikutrnya
Tradisi ‘uzlah berikutnya dilakukan oleh sejumlah laki-laki yang dikenal dengan Ash-habul Kahfi. Kisah ‘uzlah mereka diabadikan di dalam Al-Qur’an agar menjadi pelajaran bagi umat-umat berikutnya.
وَإِذ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا
Artinya, “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu,” (Surat Al-Kahfi ayat 16).
Riwayat meyebutkan, mereka tidak menyukai tingkah laku para pelaku kebatilan. Oleh karenanya, mereka berlari dari fitnah kekufuran dan kemusyrikan, di mana berhala-berhala yang tidak berdaya disembah dan dipertuhan. Kemudian, Allah memalingkan dan menolak kezaliman yang akan menimpa mereka, serta mengabadikan kisah mereka di tengah orang-orang saleh.
Menurut Syekh Abu Sulaiman Al-Khattabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah mengasingkan diri dari kaum Quraisy ketika penyiksaan dan penentangan dari mereka sudah mencapai puncaknya.
Rasulullah lantas memerintahkan para sahabatnya untuk meninggalkan Makkah dan berhijrah ke tanah Habasyah, kemudian ke Madinah.
Di Madinah, Allah meninggikan dan menolong agama-Nya. Tak hanya itu, aktivitas ‘uzlah juga pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di Gua Hira. Hal itu dilakukan selama beberapa malam hingga turun wahyu pertama. (Lihat Al-Khathabi, Al-‘Uzlah: halaman 8). Dengan demikian, ‘uzlah saat merebak fitnah merupakan tradisi para nabi, para wali, dan orang-orang saleh terdahulu. Namun, tradisi ini tak selamanya mereka lakukan. Ada saat di mana mereka kembali lagi ke keramaiaan dan memperbaiki kondisi sosial (umat).
Banyak ulama yang menyebutkan keutamaannya. Sayyidina ‘Umar bin Khattab, di antaranya, mengemukakan, “Ambillah ‘uzlah sebagai bagian kalian!” Kemudian, Ibnu Sirin menyatakan dengan tegas bahwa ‘uzlah juga ibadah.
Meski demikian, ‘uzlah tidak boleh dilakukan sembarangan. Kita memerlukan bekal dan ilmu yang memadai. Oleh karenanya, Ibrahim An-Nakha‘i menyatakan, “Pelajarilah ilmu fiqih lebih dahulu, lalu ber-‘uzlah.” (Lihat Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin: jilid II, halaman 304).
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda Cingebul