Sukses

Niat dan Tata Cara Sholat Mutlak serta Waktu Pelaksanaannya yang Benar

Panduan sholat sunnah mutlak yang benar, lengkap dengan tata cara, waktu terbaik, hukum, hingga anjuran bacaan.

Liputan6.com, Jakarta - Di antara kewajiban seorang muslim adalah melaksanakan sholat lima waktu yaitu, Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya’, dan Subuh. Sholat fardhu merupakan ibadah yang terikat oleh waktu, sebab tertentu, dan jumlah rakaat yang juga tertentu.

Selain itu, ada juga sholat yang dianjurkan namun tidak seperti sholat yang telah disebutkan di atas, yaitu sholat mutlak. Sholat mutlak merupakan salah satu amalan sunnah dalam Islam.

Mengerjakan sholat mutlak dapat menjadi penambah pahala dan ridho dari Allah SWT. Sholat mutlak juga dapat dikerjakan kapan saja tanpa terikat oleh waktu.

Akan tetapi dengan catatan, tidak dilakukan pada waktu-waktu yang dilarang seperti setelah sholat subuh, ashar, dan waktu istiwa’ selain di Tanah Haram, Makkah. 

Seperti halnya sholat dalam Islam, tentu ada rukun dan ketentuan yang harus diperhatikan. Mengutip dari NU Online, berikut adalah panduan lengkap pelaksanaan sholat mutlak.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 4 halaman

Hukum dan Waktu Pelaksanaan

Dalam sebuah hadis Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَلَاةُ خَيْرُ مَوْضُوْعٍ فَمَنْ شَاءَ اِسْتَكْثرْ وَمَنْ شَاءَ اِسْتَقلْ

Artinya: “Sholat adalah sebaik-baiknya apa yang yang disyariatkan. Barang siapa yang berkehendak maka perbanyaklah dan barang siapa yang berkehendak maka sedikitkanlah” (HR. Ibnu Hibban).

Para ulama ahli fiqih menjadikan hadits di atas sebagai landasan untuk menghukumi bahwa sholat sunnah mutlak hukumnya sunnah berdasar hadits di atas. Artinya, jika dilakukan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdampak pada dosa. Dari hadis ini pula, sangat tampak bahwa sholat sunnah mutlak merupakan salah satu dari sekian banyaknya ibadah sunnah dalam Islam. Agama Islam sangat menganjurkannya, sebagai manifestasi bahwa dengan beribadah menunjukkan adanya keinginan untuk meningkatkan spiritualitas kepada Allah ﷻ, juga akan menjadi penyebab diangkatnya derajat di sisi-Nya.

Sholat sunnah yang satu ini boleh dilakukan pada malam hari, juga boleh pada siang harinya, yang penting tidak dilakukan bertepatan dengan waktu-waktu yang dilarang melakukan shalat sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Hanya saja, shalat sunnah mutlak yang dilakukan pada malam hari lebih utama dari shalat sunnah mutlak yang dilakukan pada siang hari. Sholat sunnah yang dilakukan di rumah lebih baik dari yang dilakukan di masjid. (Imam Nawawi, Raudhatuth Thalibin, [Baitu: Darul Kutub al-Ilmiah, 1996], juz 1, halaman 338).

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda: “Paling utamanya sholat (sunnah) setelah shalat wajib adalah shalat (yang dilakukan) di malam (hari).”

Melalui hadis tersebut, Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami al-Mishri (1131-1221 H) mengarahkan bahwa yang dimaksud sholat malam pada hadits di atas adalah shalat sunnah mutlak yang dilakukan pada malam hari, bukan pada siang harinya. Artinya, meski shalat sunnah mutlak tidak terikat oleh waktu, dilakukan pada malam hari memiliki keutamaan yang lebih daripada yang dilakukan pada siangnya. (Syekh Sulaiman al-Bujairami, Hasiyatul Bujairami alal Khatib, [Bairut: Darul Minhaj, 2000], juz IV, halaman 9).

3 dari 4 halaman

Niat dan Teknis Pelaksanaan

Sholat sunnah mutlak sama sekali tidak memiliki perbedaan secara khusus dengan sholat-sholat yang lainnya. Ia tidak memiliki bacaan khusus, tidak pula memiliki waktu dan teknis yang khusus. Perbedaannya hanya terletak pada lafadz niat yang akan diucapkan, yaitu:

أُصَلِّيْ سُنَّةً رَكْعَتَيْنِ لِلّٰهِ تَعَالَى

Ushallî sunnatan rak’ataini lillâhi ta’âla

Artinya: “Saya niat sholat sunnah dua rakaat karena Allah ta’ala.”

Pada dasarnya, lafal niat dalam sholat mutlak tidak harus ditentukan (menggunakan kata mutlak), juga tidak harus menyebutkan kata sunnah (sunnatan), namun cukup mengucapkan lafal ushalli (saya sholat). Hanya saja, meski hal itu bukanlah keharusan, penyebutan itu tetap lebih baik karena setiap pekerjaan yang disertai dengan niat akan memiliki nilai yang lebih baik dan lebih sempurna (Syekh Nawawi Banten, Nihayatuz Zain, [Bairut: Darul Fikr, 2005], halaman 55).

Setelah itu takbiratul ihram, membaca doa iftitah, membaca ta’awudz, dan surah Al-Fatihah, dilanjut dengan mambaca surat-surat pendek, rukuk, i’tidal, sujud, duduk, sujud lagi, tahiyat membaca dua kalimat sahadat, membaca shalawat ibrahimiyah, dan diakhiri dengan salam.

Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitab Hasiyah Jamal memberikan pandangan secara khusus tentang teknis sholat ini bahwa ada beberapa ketentuan (baca: sunnah) yang perlu diperhatikan, yaitu durasi waktu ketika berdiri lebih baik dipanjangkan daripada memperbanyak jumlah rakaatnya. Contoh, sholat sunnah mutlak yang dilakukan dua rakaat dengan durasi waktu yang panjang ketika berdiri, lebih baik dari shalat sunnah mutlak empat rakaat yang dilakukan dengan durasi waktu berdiri yang pendek (Syekh Zakaria al-Anshari, Hasiyah Jamal ala Syarhil Minhaj, [Bairut: Darul Kutub al-Ilmiah, 1997], juz II, h. 261).

Tidak sebatas penjelasan di atas, teknis sholat sunnah mutlak boleh dilakukan dengan satu kali salam dalam setiap satu rakaat, dua rakaat, tiga rakaat, atau lebih. Boleh juga dilakukan dengan satu kali salam dalam setiap dua rakaat. Juga boleh mengerjakan banyak rakaat dengan satu kali salam (Imam Nawawi, Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, [Bairut: Darul Fikr, 1990], juz IV, halaman 56).

4 dari 4 halaman

Anjuran Bacaan

Setelah penjelasan di atas, kita tahu bahwa sholat sunnah mutlak tidak memiliki waktu secara khusus. Tentunya, kebebasan ini juga berdampak pada anjuran bacaannya, antara harus membacanya dengan keras, nyaring, dan biasa-biasa saja. Anjuran ketika membaca bacaan sholat sunnah mutlak bisa kita ketahui melalui firman Allah ﷻ dalam Al-Qur’an, yaitu:

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذٰلِكَ سَبِيْلًا

Artinya: “Janganlah engkau mengeraskan (bacaan) sholatmu dan janganlah (pula) merendahkannya. Usahakan jalan (tengah) di antara (kedua)-nya!” (QS Al-Isra’: 110).

Ayat di atas menjelaskan tentang anjuran tidak diperbolehkannya mengeraskan suara ketika melakukan sholat, juga anjuran untuk tidak terlalu merendahkan suaranya saat itu. Oleh karenanya, Allah memerintahkan umat Islam untuk menengahi bacaannya antara keras dan senyap. Limitasinya, untuk bacaan yang keras (jahr) sekira bisa didengar oleh orang-orang yang ada di sekitarnya, dan bacaan yang senyap (israr) adalah bisa didengar oleh dirinya sendiri, sedangkan bacaan yang dianjurkan saat itu adalah bacaan yang sedang-sedang saja (tawasuth), yaitu dengan cara mengukur antara di dengar orang yang ada di sekitarnya dan sebatas didengar oleh dirinya.

Menurut Syekh Musthafa al-Bugha, yang dimaksud dengan shalat pada ayat di atas adalah sholat sunnah mutlak yang dilakukan pada malam hari (Syekh Musthafa al-Bugha, Fiqhul Manhaji ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Darul Qalam, Damaskus, 1992], juz 1, h. 151).

Dari penjelasan ini, anjuran untuk membaca dengan sedang (tawasuth) hanya dilakukan pada malam hari. Artinya, jika shalat sunnah mutlak dilakukan pada siang hari, yang dianjurkan adalah membaca bacaannya dengan senyap (israr).