Sukses

Bolehkah Berkurban Pakai Uang Istri?

Ada suami tak punya cukup uang untuk ikut kurban, Bolehkah suami berkurban pakai uang istri?

Liputan6.com, Jakarta - Rezeki kadang datangnya tidak menentu. Fenomena suami tak punya cukup uang untuk berkurban, dan akhirnya berkurban dengan uang istri ini sering terjadi di masyarakat.

Fenomena di mana seorang suami menggunakan uang istri untuk qurban saat dia sendiri tidak memiliki cukup uang merupakan gambaran dari realitas sosial yang kompleks, terutama terkait dengan masalah ekonomi dan peran gender dalam keluarga.

Dalam banyak kasus, fenomena ini dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya adalah kondisi ekonomi yang sulit di mana suami mungkin tidak mampu memenuhi kewajiban berkurban tanpa bantuan finansial dari istri.

Terkadang, suami mungkin merasa terbebani dengan harapan untuk berkurban, sebuah amalan yang dianggap penting dalam agama Islam,

Dalam situasi di mana suami tidak memiliki dana yang cukup, ia mungkin merasa perlu untuk mengandalkan uang istri sebagai sumber dana untuk ibadah kurban.

Atas kondisi seperti ini, bagaimana Islam memandang hal tersebut?

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Berikut Ini Pendapat Ulama

Menukil nu.or.id, kesunnahan berkurban berdasarkan hadits shahih dari Nabi SAW

ما عمل ابن آدم يوم النحر من عمل أحب إلى الله تعالى من إراقة الدم وإنها لتأتي يوم القيامة بقرونها وأظلافها وإن الدم ليقع من الله قبل أن يقع على الأرض فطيبوا بها نفسًا

Artinya, “Tidak ada amalan yang dilakukan oleh manusia pada hari penyembelihan (Idul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah selain daripada mengucurkan darah hewan kurban karena sesungguhnya hewan kurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu, dan kukunya. Dan sungguh, darah tersebut akan sampai kepada Allah sebelum tetesan darah tersebut jatuh ke bumi. Maka, bersihkanlah jiwa kalian dengan berkurban!.” (HR. At-Tirmidzi).

Berkaitan dengan permasalahan gunakan uang istri untuk berkurban Imam Ramli (wafat 1004 H) menjelaskan dalam kitabnya, Nihayatul Muhtaj yang merupkan syarah Minhaj at-Thalibin karya Imam an-Nawawi, berikut penjelasannya:

(هِيَ) أَيْ التَّضْحِيَةُ إذْ كَثِيرًا مَا تُطْلَقُ الْأُضْحِيَّةُ وَيُرَادُ بِهَا الْفِعْلُ لَا الْمُتَقَرَّبُ بِهِ (سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِي حَقِّنَا عَلَى الْكِفَايَةِ وَلَوْ بِمِنًى إنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ، وَمَعْنَى كَوْنِهَا سُنَّةَ كِفَايَةٍ مَعَ كَوْنِهَا تُسَنُّ لِكُلٍّ مِنْهُمْ سُقُوطُ الطَّلَبِ بِفِعْلِ الْغَيْرِ لَا حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ لَمْ يَفْعَلْ كَصَلَاةِ الْجِنَازَةِ، نَعَمْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ أَنَّهُ لَوْ أَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ وَأَنَّهُ مَذْهَبُنَا

Artinya, "Adapun berkurban, yakni at-Tadhiyah kebanyakan disebut juga dengan al-Udhiyah, yang dikehendaki darinya adalah perbuatan bukan hewan yang dijadikan sebagai ibadah mendekatkan diri kepada Allah (al-Mutaqarab bih) hukumnya adalah sunah yang ditekankan (muakkadah) bagi kita berupa sunah kifayah walaupun berada di Mina (sedang berhaji), jika memiliki anggota keluarga yang banyak. Kalau tidak, maka termasuk sunah ain (perorangan).

3 dari 3 halaman

Dibolehkannya Suami Gunakan Uang Istri

Maksud hukum sunah kifayah meskipun disunahkan pada masing-masing personal adalah apabila telah dilakukan oleh orang lain, maka gugurlah kesunahan berkurban atasnya bukan dalam mendapatkan pahala bagi yang tidak melakukannya, sebagaimana sholat janazah.

Iya mushanif (Imam An-Nawawi) menyebutkan dalam syarah Muslim:"Sesungguhnya jika seseorang berserikat dengan orang lain dalam pahala berkurban itu diperbolehkan, dan ini adalah Madzhab kami.” (Syihabuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj Ila Syarhil Minhaj, [Bairut, Darul Fikr: 1404 H], juz VIII halaman 131).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum berkurban adalah sunah ain (sunah dilakukan perorangan). Dan berubah menjadi sunah kifayah (kesunahannya telah gugur dengan adanya yang melakukan) bagi seorang yang mempunyai keluarga dan salah satunya berkurban, maksudnya tuntutan berkurban untuk keluarga yang lain telah gugur dengan adanya salah satu anggota keluarga yang berkurban sekalipun berkurbannya di Mina saat menjalankan ibadah haji. Adapun pahalanya tetap hanya untuk yang berkurban saja.

Diperbolehkannya berserikat pahala (tasyriku tsawab) dalam ibadah kurban. Artinya kambing yang hanya cukup untuk satu orang dalam berkurban pahalanya bisa untuk bersama-sama. Adapun praktiknya orang berkurban berkata "saya berserikat denganmu atau fulan dalam pahala kurban" sebagaimana dijelaskan Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtaj.

(قَوْلُهُ: لَا حُصُولُ الثَّوَابِ لِمَنْ لَمْ يَفْعَلْ إلَخْ) نَعَمْ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ أَنَّهُ إنْ أَشْرَكَ غَيْرَهُ فِي ثَوَابِهَا جَازَ اهـ. نِهَايَةٌ أَيْ كَأَنْ يَقُولَ أَشْرَكْتُك أَوْ فُلَانًا فِي ثَوَابِهَا وَظَاهِرُهُ وَلَوْ بَعْدَ نِيَّةِ التَّضْحِيَةِ لِنَفْسِهِ وَهُوَ قَرِيبٌ ع ش

Artinya, "Perkataan mushanif: "tidak dalam mendapatkan pahala berkurban bagi orang yang tidak melakukannya". Betul mushanif (Imam An-Nawawi) telah menyebutkan dalam syarah Muslim: "Sesungguhnya jika seseorang berserikat dengan orang lain dalam pahala kurban itu diperbolehkan." Yakni seperti ucapan seseorang: "Saya berserikat denganmu atau fulan dalam pahala kurban."

Menurut Ali Syubromallisi: "Dhahirnya perkataan itu walau setelah niat berkurban untuk dirinya sendiri, dan ini lebih sederhana." (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj [Bairut: Dar Ihya' At-Turost] juz IX halaman 345).

Walhasil, sang suami diperbolehkan berkurban dengan uang hibah dari istri atau sebaliknya. Dan kesunahan berkurban untuk keluarga ini telah gugur dengan berkurbannya suami. Namun demikian, sang istri tidak mendapatkan pahala berkurban mengingat kurban satu kambing hanya untuk satu orang saja, kecuali sang suami 'menserikatkan pahala' berkurbannya maka barulah pahala berkurban juga diperoleh sang istri. Wallahu a'lam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul