Liputan6.com, Cilacap - Sebagian dari kita takut sholat tidak diterima oleh Allah SWT. Kekhawatiran ini sangat lumrah terjadi, dan justru bisa menjadi titik untuk bermuhasabah dan memperbaiki ibadah kita.
Ulama kelahiran kota Blitar yang merupakan Pengasuh LPD Al-Bahjah, Cirebon KH Yahya Zainul Ma’arif Jamzuri atau populer dengan panggilan Buya Yahya mengungkapkan cara agar sholatnya berpotensi lebih besar untuk diterima Allah SWT.
Advertisement
Baca Juga
Buya Yahya menegaskan, di balik pelaksanaan sholat berjamaah ini terkandung keutamaan yang besar selain mendapatkan 27 derajat pahala. Adapun keutamaan 27 derajat banyak dijelaskan dalam beberapa hadis Rasulullah SAW, di antaranya ialah hadis dengan redaksi berikut ini,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
Artinya: Shalat berjamaah melampaui shalat sendirian dengan (mendapatkan) 27 derajat. (HR Bukhari)
Keutamaan lain sholat berjamaah adalah berpotensi lebih besar untuk diterima Allah SWT. Menurut Buya Yahya, Hal itu dicontohkan oleh para orang sholeh.
Simak Video Pilihan Ini:
Potensi Sholat Diterima Lebih Besar
"Para Sholihin tuh enggak mau sholat sendiri itu karena takut, takut apa? takut enggak diterima kalau sendiri," terang Buya Yahya sebagaimana dikutip dari tayangan YouTube Short @Al-Bahjah TV, Sabtu (27/04/2024).
Menurut Buya Yahya, tatkala sholat berjamaah dengan orang sholeh itu harapan diterima Allah itu lebih besar di bandingkan sholat sendiri.
"Tapi kalau bareng-bareng itu kalau kita sholat dengan orang sholeh, Masya Allah membawa Allah menerima sholatnya dia, sholat saya enggak. padahal kan sholat saya sambung dengan sholatnya dia," terangnya.
Oleh sebab itu, Buya Yahya menegaskan untuk selalu melaksanakan sholat berjamaah dan jangan lagi melaksanakan sholat sendirian.
"Jadi, salat bareng-bareng ini adalah harapan untuk diterima oleh Allah lebih besar daripada kita sholat sendiri dan mulai detik ini jangan lakukan sholat sendiri," tandasnya.
Advertisement
Kisah Para Sholihin yang Tidak Pernah Meninggalkan Sholat Berjamaah
Menukil muslim.or.id, Imam Sa’id bin al-Musayyab (wafat setelah thn 90 H), imam besar dari generasi Tabi’in dan paling luas ilmunya di kalangan mereka13. Imam Ibnu Hibban berkata tentang sifat-sifat beliau yang terpuji: “Beliau termasuk pemuka para Tabi’in dalam pemahaman agama, sifat wara’, ilmu, ibadah dan kemuliaan…Selama empat puluh tahun, tidaklah dikumandangkan adzan shalat kecuali Sa’id bin al-Musayyab (telah berada) di masjid menanti (shalat berjama’ah)”14.
Imam al-Aswad bin Yazid bin Qais an-Nakha’i al-Kufi (wafat thn 75 H), imam besar dan panutan dari generasi Tabi’in. Imam Ibrahim an-Nakha’i berkata tentangnya: “Imam al-Aswad apabila telah tiba waktu shalat (fardhu) maka beliau akan menderumkan/menghentikan onta (tunggangan)nya meskipun di atas batu”15.
Imam al-A’masy Sulaiman bin Mahran al-Kufi (wafat thn 147 H), imam besar penghafal hadits dari generasi Tabi’in yunior. Imam Waqi’ bin al-Jarrah berkata memujinya: “Imam al-A’masy (selama) sekitar tujuh puluh tahun tidak pernah ketinggalan takbir pertama (bersama Imam dalam shalat berjama’ah)”16.
Imam Ibrahim bin Maimun ash-Sha’ig (wafat thn 131 H) dari generasi Atba’ut tabi’in. Imam Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Ketika beliau (sedang bekerja) mengangkat palu (untuk menempa besi), lalu beliau mendengar adzan shalat (berkumandang), maka beliau tidak akan memukulkan palu tersebut (karena bersegera melaksanakan shalat berjama’ah)”17.
Imam Muhammad bin Sama’ah at-Tamimi (wafat thn 233 H) dari generasi Atba’ut tabi’in junior, beliau berkata: “Selama empat puluh tahun aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama (bersama Imam dalam shalat berjama’ah), kecuali pada hari wafatnya ibuku, aku ketinggalan satu kali shalat berjama’ah”18.
Bahkan sifat ini di kalangan para ulama Salaf menjadi ukuran untuk menilai baik atau buruknya agama seseorang, dan kemudian dijadikan sebagai patokan unutk menilai siapa yang pantas dijadikan sebagai guru tempat menimba ilmu sunnah Rasulillah Shallallahu’alaihi Wasallam.
Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat thn 96 H) berkata: “Dulunya para ulama Ahlus sunnah jika ingin mempelajari ilmu (hadits) dari seseorang, maka mereka memperhatikan (terlebih dahulu) shalat, penampilan dan tingkah laku orang tersebut.”
Penulis : Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul