Sukses

Kisah Ulama Diprotes karena Sholatkan Jenazah Banci, Jawabannya Sangat Menyentuh

Semua orang yang dekat dengan waria dicibir. Mereka dianggap sepaham, atau setidaknya melakukan pembiaran. Dari masa ke masa, waria alias banci menjadi kelompok tereksklusi

Liputan6.com, Jakarta - Sosok waria atau banci kerap dikucilkan, tak terkecuali dalam masyarakat Islam. Pangkalnya adalah riwayat kaum Nabi Luth (kaum Sodom) yang diazab karena perbuatannya yang menyukai sesama jenis.

Namun, seringkali masyarakat lupa. Bahwa ada orang yang dilahirkan dengan kondisi seperti itu. Terlahir pria, namun perilakunya seperti wanita, atau sebaliknya.

Beda soal dengan orang yang lahir normal, namun kemudian karena berbagai hal, misalnya pergaulan, berperilaku banci yang dalam Islam disebut mukhannats.

Semua orang yang dekat dengan waria dicibir. Mereka dianggap sepaham, atau setidaknya melakukan pembiaran. Dari masa ke masa, waria alias banci menjadi kelompok tereksklusi.

Ternyata ulama pun pun luput dari cibiran dan protes saat mensholatkan jenazah banci. Lantas apa jawaban ulama tersebut?

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 5 halaman

Kisah Ulama Dicibir karena Sholatkan Jenazah Waria

Melansir NU Online via kanal Islami Liputan6.com, dikisahkan, suatu ketika ada seorang waria (mukhannats) meninggal dunia. Ulama tersebut menjalankan kewajiban fardhu kifayahnya dengan menyalatkan jenazah waria itu. Namun, respon masyarakat malah terbelah. Persoalan ulama menyalatkan jenazah waria menjadi obrolan di warung kopi.

Sebagian masyarakat mendukung apa yang dilakukan ulama tersebut beserta jemaah lainnya. Namun, sebagian lainnya mencibir lantaran status waria mendapat stigma dari masyarakat.

“Dia (waria) itu kan fasik durjana,” kata sebagian masyarakat yang mencibir.

Awalnya sang ulama tak merespons hal tersebut. Namun karena masyarakat yang tidak setuju masih memperbincangkan masalah sholat jenazah waria, maka ulama itu angkat bicara untuk menjelaskan dan mengedukasi masyarakat.

3 dari 5 halaman

Penjelasan Ulama kenapa Sholatkan Jenazah Waria

“Kalian bisa berdamai dengan orang-orang yang curang dalam timbangan memiliki dua versi untuk mengambil dan menerima. Tetapi ini (ulama itu menunjuk pada jenazah waria) kefasikannya menyangkut dirinya dan Allah. Sedangkan orang-orang yang curang dalam timbangan berbuat zalim terhadap manusia. Penerimaan maaf atas kezaliman ini agak jauh dari kenyataan. Sedangkan kejujuran dalam urusan timbangan ini masalah berat,” kata ulama tersebut seperti dikutip dari NU Online, Senin (8/5/2023).

Ulama mengatakan demikian karena pada zaman itu masih sering terjadi kecurangan dalam timbangan seperti yang digambarkan dalam surat Al-Muthaffifin. Kecurangan dalam timbangan dianggap suatu tindakan yang biasa dilakukan. 

Ulama itu mengingatkan masyarakat bahwa sholat jenazah atas waria tersebut termasuk kewajiban yang harus dijalankan oleh umat Islam. Perkara dosa individu yang dilakukan waria tersebut selama di dunia menjadi hak Allah. Hak allah dibangun di atas dasar maaf-Nya.

Sementara, kecurangan dalam timbangan merupakan tindakan kezaliman terhadap manusia yang sulit dimaafkan karena melibatkan ridha orang lain. Masyarakat kerap mempersoalkan ulama yang menyalati jenazah waria, tetapi mereka diam saja atas kezaliman yang terjadi di samping mereka.

Kisah yang dinukil dari NU Online ini terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin (Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H), juz II, halaman 89. Kisah ini diangkat ketika Imam Al-Ghazali menjelaskan keutamaan keadilan dan tindakan menjauhi kezaliman dalam mata pencaharian dan penghidupan. Wallahu’alam.

4 dari 5 halaman

Waria juga Berhak Masuk Surga

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah dikenal memiliki program dakwah unggulan terhadap kelompok terpinggirkan (marjinal), yaitu mendampingi kelompok waria dan LGBT (lesbian, gay, bisexual, dan transgender).

Menurut Ketua PWM Jawa Tengah, M. Tafsir, pilihan dakwah kepada dua kelompok tersebut bukan hal baru bagi Muhammadiyah. Sebab, paham keagamaan Muhammadiyah sejati menurutnya bersifat inklusif dan terbuka.

Dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah ke-48 bertema “Mendampingi Kelompok Difabel, Marginal, Dhua’fa dan Mustadh’afin: Model Baru Pemberdayaan Sosial”, Kamis (31/3) M. Tafsir lantas menjelaskan bahwa Muhammadiyah memiliki visi Al-Irsyadah (petunjuk) untuk membimbing kehidupan manusia menjadi hidup yang maju dan bahagia di dunia dan akhirat.

“Berdasarkan pengertian agama Islam menurut Muhammadiyah, ada hadis ad dinu yusrun (agama itu mudah) dan keberagamaan yang terbaik adalah yang hanif, moderat, toleran. Ada prinsip yasiru wa laa tu’asiru (permudah, jangan persulit), basyiru wa laa tunafiru (sebarkan kabar gembira, bukan ancaman). Apalagi sesungguhnya surga jannatun naim itu menyapa semua orang, tidak pilih siapapun, termasuk kaum marjinal,” jelasnya, dikutip dari laman Muhammadiyah.

“Maka pendampingan kita ke sana adalah bagaimana kita memperlakukan mereka sebagai manusia yang berhak masuk surga serta membimbing mereka memahami fikih dalam beribadah,” imbuh Tafsir.

 

5 dari 5 halaman

Membangun Mental dan Ekonomi Kelompok Rentan

Selain menggandeng kelompok waria dan LGBT agar perlahan kembali ke jalan yang benar, Muhammadiyah dalam hal ini ikut membantu penguatan dari sisi ekonomi, memahami kultur, dan memberikan dukungan.

“Kita menolak LGBT sebagai gaya hidup, tapi kita tidak boleh sia-sia (semena-mena) kepada orang yang menjadi korban dari LGBT. Kita memberantas kemiskinan tapi tidak boleh sia-sia kepada orang miskin. Ingat mereka tetap manusia yang punya hak surga seperti kita. Jadi dakwah itu jangan hanya memahami ayat Alquran dan hadis saja, tapi dakwah pun harus memahami manusia. Kalau ingin dakwah berhasil, pahamilah manusianya,” pesan Tafsir.

Dari dakwah yang telah digerakkan kepada dua kelompok itu selama bertahun-tahun, PWM Jawa Tengah terbilang berhasil. Ratusan orang dari mereka telah kembali ke jalan yang benar. Keberhasilan ini kata Tafsir tak lepas dari dua hal, yaitu membangun mental bunga teratai dan memaknai purifikasi dalam koridor alam berpikir Muhammadiyah.

Seseorang yang memiliki ketakwaan baik, disebut Tafsir sejatinya tidak berjarak dengan masyarakat. Tidak terseret arus dan justru berbuat kebaikan untuk mengentaskan masyarakat dari keburukan.

“Bangunlah mental bunga teratai, maka dia tetap bersih walaupun berada di tengah comberan,” ucap Tafsir memberikan perumpamaan.

“Purifikasi Muhammadiyah itu bukan tekstualisasi. Muhammadiyah di satu pihar ruju’ ilal Quran wa Sunnah tapi di sisi lain membangun pikiran utama dengan cara bayani, burhani, dan irfani. Ini luar biasa, bukan tekstualisasi,” pungkasnya.