Sukses

Bolehkah Minum Obat Penunda Haid saat Ibadah Haji, Bagaimana Hukumnya, Sahkah?

Penjelasan hukum islam bagi wanita yang mengonsumsi obat untuk menunda haid selama melaksanakan ibadah haji.

Liputan6.com, Jakarta - Menstruasi atau haid merupakan hal yang normal dialami oleh seorang wanita setiap bulan. Pada umumnya, menstruasi dapat terjadi setiap jangka waktu 21 hingga 35 hari dan berlangsung selama dua hingga tujuh hari.

Siklus akan berjalan cukup panjang pada beberapa tahun pertama menstruasi dimulai. Namun, siklus cenderung memendek dan menjadi lebih teratur seiring bertambahnya usia.

Meskipun menstruasi merupakan kodrat bagi seorang wanita. Namun, tidak dipungkiri terkadang hal ini bisa dianggap sebagai penghambat, misalnya dalam pelaksanaan ibadah haji dimana seluruh rangkaiannya harus dikerjakan dalam keadaan suci.

Lantas, bolehkan seorang wanita meminum obat sebagai usaha untuk menangguhkan haid obat dengan maksud agar dapat menyelesaikan ibadah haji, dan bagaimana pula hukum hajinya?

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Menangguhkan Haid

Mengutip dari laman NU Online, menjelaskan bahwa usaha untuk menangguhkan haid adalah boleh, asal tidak membahayakan dan hukum hajinya sah. Akan tetapi, jika sampai mengurangi atau terputusnya kehamilan hukumnya makruh, sesuai penjelasan dalam kitab-kitab dibawah ini:

Kitab Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad:

وَفِي فَتَاوَى الْقِمَاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ 

Artinya: Dalam Fatawa al-Qimath adalah boleh menggunakan obat-obatan untuk mencegah haid.

Kitab Qurrah al-‘Ain fi Fatawa al-Haramain:

مَسْأَلَةٌ: إِذَا اسْتَعْمَلَتِ الْمَرْأَةُ دَوَاءً لِمَنْعِ دَمِ الْحَيْضِ أَوْ تَقْلِيْلِهِ فَإِنَّهُ يُكْرَهُ مَا لَمْ يَلْزَمْ عَلَيْهِ قَطْعُ النَّسْلِ أَوْ قِلَّتُهِ

Artinya: Jika wanita memakai obat untuk mencegah haid atau memenguranginya, maka hukumnya makruh bila tidak menyebabkan terputus atau berkurangnya keturunan.

 

3 dari 3 halaman

Hukum Meminum Obat Penunda Haid

Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah:

Artinya: Adapun jika darah haid itu keluar di luar siklusnya disebabkan oleh obat-obatan, maka menurut pendapat kuat ulama Malikiyah adalah darah tersebut tidak dinamakan haid. Maka si wanita wajib puasa dan shalat dan wajib mengqodho puasanya karena kehati-hatian. Sebab ada kemungkinan darah itu adalah haid dan ‘iddah nya tidak habis dengan sebab keluarnya darah tersebut. Hal ini berbeda dengan kasus wanita yang memakai obat yang menghentikan haidnya di luar waktu siklus biasanya, maka ia dianggap suci dan ‘iddah nya habis sebab haidnya terhenti. Semuanya atas dasar seorang wanita tidak boleh mencegah atau memajukan haid bila hal itu membahayakan kesehatannya, sebab menjaga kesehatan itu hukumnya wajib.

Kitab Kasysyaaful Qinaa’ karya Syaikh Mansur bin Yunus Al-Hanbali: 

Artinya: [Diperbolehkan meminum obat yang diperbolehkan syara’ untuk memutus datangnya haid bila aman dari bahaya atas dasar nash] sebagaimana masalah 'azl. [Qadhi Ibnu Muflih berkata: tidak diperbolehkan kecuali dengan seijin suami] sebab suami memiliki hak atas mendapatkan keturunan [serta perbuatan suami akan hal itu] yakni meminumkan obat yang diperbolehkan syara' pada istri untuk memutus haid [tanpa sepengetahuan istrinya pantas dinilai haram] diungkapkan dalam kitab Furu', ditegaskan pula dalam kitab al-Muntaha sebab perbuatan itu melanggar hak istrinya untuk mendapatkan keturunan yang dikehendakinya. [Sebagaimana hal itu] yakni sebagaimana meminumkan pada istri obat yang diperbolehkan syara' untuk memutus haid [boleh juga meminum air kapur] Dijelaskan dalam kitab al-Muntaha bahwa bagi suami boleh meminum air yang diperbolehkan syara' untuk menolak keinginan persetubuhan.