Sukses

Bolehkan Orangtua Menentukan Calon Pasangan bagi Anaknya?

Batasan hak-hak orangtua terhadap anak, termasuk perkara dalam menentukan jodoh atau pasangan hidup

Liputan6.com, Jakarta - Setiap orangtua tentunya selalu mengupayakan yang terbaik bagi anaknya. Termasuk memilih pasangan bagi si anak yang hendak menikah.

Hal tersebut adalah bentuk kehati-hatian bagi orangtua agar anaknya memiliki masa depan yang baik sebagaimana tujuan pernikahan, yaitu untuk meraih sakinah (ketenangan) mawaddah (kasih sayang) dan rahmah.

Namun demikian, upaya mulia tersebut kerap kali berujung pada pemaksaan terhadap anak. Dengan dalih ‘yang terbaik’ dan ‘demi masa depan, padahal sang anak tidak memiliki keinginan untuk dijodohkan.

Alhasil, tidak jarang rumah tangga yang dibangun atas dasar pernikahan paksa tersebut menjadi rumah tangga yang tidak harmonis. Kedua pasangan suami-istri tidak memiliki sikap peduli.

Bahkan tak jarang seorang anak melarikan diri dan memilih untuk meninggalkan orangtua karena paksaan pernikahan. Lantas, bagaimana sebenarnya batasan hak-hak orangtua dalam menentukan pasangan seorang anak menurut Islam?

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Hak Orangtua dalam Menentukan Pasangan Anak

Dikutip dari laman NU Online, salah satu Mufti Mesir kontemporer, Syekh Ali Jumah pernah ditanya perihal batasan hak orangtua dalam menentukan pasangan anaknya. Kemudian ia menjawab bahwa hak orang tua dalam menentukan calon suami maupun istri hanya sebatas memberikan nasihat dan mengarahkan pada calon yang lebih baik saja, bukan memaksanya untuk menikah dengan calon tertentu. Dalam kitabnya disebutkan,

سَاوَى الْاِسْلَامُ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ فِي حَقِّ اخْتِيَارِ كُلٍّ مِنْهُمَا لِلْأَخَرِ، وَلَمْ يَجْعَلْ لِلْوَالِدَيْنِ سُلْطَةُ الْاِجْبَارِ عَلَيْهِمَا. فَدَوْرُ الْوَالِدَيْنِ فِي تَزْوِيْجِ أَوْلَادِهِمَا يَتَمَثَّلُ فِي النُّصْحِ وَالتَّوْجِيْهِ وَالْاِرْشَادِ، وَلَكِنْ لَيْسَ لَهُمَا أَنْ يَجْبِرَا أَوْلَادَهُمَا ذُكُوْرًا أَوْ اِنَاثًا

Artinya: “Islam menyamaratakan laki-laki dan wanita dalam menentukan hak pilih keduanya pada yang lain (pasangannya-calon suaminya). Dan, (Islam) tidak memberikan otoritas pemaksaan bagi kedua orang tua atas keduanya (laki-laki dan perempuan). Oleh karenanya, hak orang tua dalam menikahkan anaknya sebatas memberi nasihat, mengarahkan, dan menunjukkan, dan tidak boleh baginya untuk memaksa anaknya (menikah dengan orang tertentu), baik laki-laki maupun perempuan.” (Syekh Ali Jumah, al-Bayan lima Yusghilu al-Azhan, [Darul Maqattham: 2009], halaman 67).

Pendapat senada juga disampaikan oleh al-Imam al-Faqih Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad ibn Muflih al-Muqdisi (wafat 763 H) dalam kitabnya menjelaskan bahwa orang tua tidak memiliki hak untuk menentukan calon suami atau calon istri yang tidak diinginkan anaknya, bahkan jika di saat yang bersamaan ia menolak ketentuan orang tuanya, maka ia tidak termasuk anak yang durhaka,

لَيْسَ لِأَحَدِ الْأَبَوَيْنِ أَنْ يُلْزِمَ الْوَلَدَ بِنِكَاحِ مَنْ لَا يُرِيدُ، وَإِنَّهُ إذَا امْتَنَعَ لَا يَكُونُ عَاقًّا

Artinya: “Tidak ada hak bagi salah satu orang tua untuk menentukan calon (suami/istri) yang tidak diinginkan anaknya. Sungguh, jika ia menolak maka ia tidak termasuk durhaka.” (Ibnu Muflih, al-Adabus Syar’iyah wa al-Minah al-Mar’iyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1999 M\1419 H], juz II, halaman 55).

Dengan demikian, memaksa seorang anak untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya adalah tindakan yang tidak tepat. Sebab, pernikahan tidak boleh dibangun atas dasar paksaan dan tekanan. Kedua calon suami dan istri memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan calon pendamping hidupnya sendiri.

 

3 dari 3 halaman

Kebebasan Anak untuk Memilih Pasangan Hidup

Berkaitan dengan hal ini, dalam riwayat sahabat Ibnu Abbas disebutkan bahwa pada masa Rasulullah terdapat seorang gadis yang dinikahkan oleh orang tuanya dengan laki-laki yang tidak dicintai putrinya, akhirnya gadis tersebut mengadukan nasibnya kepada nabi, kemudian nabi memberikan hak kepadanya untuk memilih antara meneruskan pernikahannya atau tidak,

أَنَّ جَارِيَةً بِكْرًا أَتَتِ النَّبِىَّ فَذَكَرَتْ لَهُ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِىَ كَارِهَةٌ، فَخَيَّرَهَا النَّبِىُّ

Artinya: “Sungguh terdapat seorang gadis datang kepada nabi, kemudian ia menceritakan bahwa ayahnya menikahkannya, sedangkan ia tidak senang (dengan pilihan ayahnya), maka nabi memberikan pilihan (antara meneruskan dan merusak pernikahan) kepadanya.” (HR Ahmad).

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah dengan tegas melarang untuk memaksa seorang anak menikah,

لَاتُنْكِحُهَا وَهِيَ كَارِهَةٌ

Artinya: “Jangan nikahkan wanita, sedangkan ia dalam keadaan terpaksa.” (HR An-Nasai).

Dengan berdasarkan dua hadis tersebut, Syekh Ali Jumah dalam kitabnya menegaskan bahwa haram hukumnya bagi kedua orang tua memaksa anaknya untuk menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Seorang anak memiliki hak yang bebas dalam menentukan hidupnya dengan siapa. Ia juga diperbolehkan untuk menolak paksaan orang tua tersebut,

فَالزَّوَاجُ يُعْتَبَرُ مِنْ خُصُوْصِيَاتِ الْمَرْءِ، وَاِنَّ اِجْبَارَ أَحَدِ الْوَالِدَيْنِ اِبْنَتَهُ عَلَى الزَّوَاجِ بِمَنْ لَا تُرِيْدُ مُحَرَّمٌ شَرْعًا لِأَنَّهُ ظُلْمٌ

Artinya: “Pernikahan merupakan hak khusus bagi setiap orang. Oleh karenanya, pemaksaan salah satu orang tua pada anak perempuannya untuk menikah dengan orang yang tidak dia inginkan adalah diharamkan secara syariat, karena termasuk perbuatan zalim.” (Syekh Ali Jumah, 68).

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak orang tua dalam pernikahan anaknya hanyalah sebatas mengarahkan, menasihati, dan menunjukkan saja. Ia tidak memiliki hak untuk memaksa anaknya menikah dengan orang tertentu, bahkan sebaliknya, seorang anak memiliki kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya. Wallahu a’lam.