Liputan6.com, Jakarta - Haji merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan bagi seorang muslim. Ibadah haji juga memiliki syarat tertentu seperti memiliki kesehatan yang baik dan materi yang memadai (istithaah).
Barangkali ada di antara umat Islam yang belum bisa berhaji karena terkendala masalah kesehatan atau ekonomi. Maka ada 4 amalan yang pahalanya setara dengan pahala haji atau umrah.
Advertisement
Baca Juga
Kendati demikian, perlu ditegaskan bahwa dengan melakukan amalan-amalan ini bukan berarti kemudian menggugurkan kewajiban seorang muslim dalam menunaikan ibadah haji, terlebih bagi seseorang yang sudah masuk kategori mampu atau istithaah.
Dikutip dari laman NU Online, adapun 4 amalan yang setara dengan pahala haji atau umrah tersebut adalah sebagaimana berikut:
Saksikan Video Pilihan ini:
1. Niat yang Tulus
Niat merupakan pangkal segala amal ibadah sehingga apapun amal ibadahnya, maka niatlah yang menjadi tolok ukurnya dan menjadi penentu diterima atau tidaknya amal ibadah tersebut.
Misalnya, seseorang dengan tulus berniat akan melaksanakan haji ketika sudah mampu atau akan bersedekah ketika sudah memiliki uang, maka pahala haji atau sedekah itu akan ia terima di akhirat kelak. Meskipun semasa hidupnya di dunia tidak melakukan ibadah tersebut.
Ahmad al-Hijazi menuturkan:
وَحُكِيَ أَيْضًا أَنَّهُ يُؤْتَى بِالْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُدْفَعُ لَهُ كِتَابٌ فَيَأْخُذُهُ بِيَمِيْنِهِ فَيَجِدُ فِيْهِ حَجًّا وَجِهَادًا وَصَدَقَةً مَا فَعَلَهَا فَيَقُوْلُ هَذَا لَيْسَ كِتَابِىْ فَإِنِّى مَا فَعَلْتُ شَيْأً مِنْ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى هَذَا كِتَابُكَ لِأَنَّكَ عِشْتَ عُمْرًا طَوِيْلًا وَاَنْتَ تَقُوْلُ لَوْ كَانَ لِى مَالٌ حَجَجْتُ مِنْهُ لَوْ كَانَ لِى مَالٌ فَتَصَدَّقْتُ مِنْهُ فَعَرَفْتُ ذَلِكَ مِنْ صِدْقِ نِيَّتِكَ وَأَعْطَيْتُكَ ثَوَابَ ذَلِكَ كُلَّهَا
Artinya: “Dan diceritakan bahwa sesungguhnya pada hari kiamat nanti seseorang akan diberikan catatan amalnya. Kemudian dia mengambilnya dengan tangan kanan. Dia menemukan catatan haji, jihad dan sedekah yang tidak pernah dia lakukan. Kemudian dia berkata: Ini bukan catatan amalku. Aku tidak pernah melakukan semua itu. Lantas Allah SWT menjawab: Ini catatan amalmu. Karena sesungguhnya kamu hidup dalam umur yang panjang sedangkan kamu pernah berkata: Seandainya aku punya harta, aku akan berhaji dan sedekah dari harta tersebut. Kemudian aku tahu ketulusan niatmu dan aku berikan pahala semua untukmu.” (Ahmad al-Hijazi, Al-Majalis al-Saniyah fil Kalam alal Arbain Al-Nawawiyah, [Mesir: Maktabah al-Kastaliyah, 1278 H], halaman 11).
Advertisement
2. Berbakti pada Orangtua
Dalam ajaran Islam, kedua orang tua memiliki posisi sangat istimewa di hadapan anaknya. Seorang anak berkewajiban taat kepada orangtua setelah penghambaan kepada Allah SWT. Taat dan berbakti kepada mereka pun pahalanya sangat luar biasa. Pahala haji dan umrah akan dianugerahkan kepada seorang anak yang rela meninggalkan segala keinginannya demi berbakti kepada orang tua.
Abu Ya'la al-Maushuli meriwayatkan hadis :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَتَى رَجُلٌ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنِّى أَشْتَهِى الْجِهَادَ وَلَا أَقْدِرُ عَلَيْهِ. قَالَ : هَلْ بَقِيَ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ؟ قَالَ : أُمِّي. قَالَ : فَأَبْلِ اللهَ فِى بِرِّهَا. فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَأَنْتَ حَاجٌّ وَمُعْتَمِرٌ وَمُجَاهِدٌ. فَإِذَا رَضِيَتْ عَنْكَ أُمُّكَ فَاتَّقِ اللهَ وَبِرَّهَا
Artinya: “Dari Anas, ia berkata: ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW kemudian berkata: Sesungguhnya aku ingin berjihad namun aku tidak mampu. Rasulullah bersabda: Apakah salah satu dari kedua orang tuamu masih ada? Laki-laki itu menjawab: Ibuku. Rasulullah bersabda: Perbaikilah hubunganmu dengan Allah SWT dengan berbakti kepada ibumu. Ketika kamu telah melakukannya maka kamu adalah orang yang berhaji, umrah dan jihad. Ketika ibumu ridla kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan berbaktilah kepada ibumu”. (Abu Ya'la Al-Maushuli, Musnad Abu Ya'la Al-Maushuli, [Damaskus: Dar al-Ma'mun Lit Turats, 1989], Jilid V, halaman 150).
3. Membantu Orang lain
Berawal dari perintah untuk saling membantu sesama muslim dalam kebaikan dan ketakwaan, Allah SWT menjanjikan pahala besar dan akan menganugerahkan pahala haji dan umrah kepada hamba-Nya yang rela membantu memenuhi kebutuhan sesama muslim. Tentunya, kebutuhan ini bukanlah hal yang mengundang dosa dan permusuhan.
Imam al-Baihaqi meriwayatkan hadis:
وَعِنْ عَلِيِّ بْنِ حَسَنٍ قَالَ : خَرَجَ الْحَسَنُ يَطُوْفُ بِالْكَعْبَةِ فَقَامَ اِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ : يَا أَبَا مُحَمَّدٍ اِذْهَبْ مَعِيْ فِى حَاجَتِيْ اِلَى فُلَانٍ. فَتَرَكَ الطَّوَافَ وَذَهَبَ مَعَهُ، فَلَمَّا ذَهَبَ قَامَ اِلَيْهِ رَجُلٌ حَاسِدٌ لِلرَّجُلِ الَّذِيْ ذَهَبَ مَعَهُ، فَقَالَ يَا أَبَا مُحَمَّدٍ تَرَكْتَ الطَّوَافَ وَذَهَبْتَ مَعَ فُلَانٍ اِلَى حَاجَتِهِ؟ فَقَالَ لَهُ حَسَنٌ : وَكَيْفَ لَا أَذْهَبُ مَعَهُ وَرَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ ذَهَبَ فِى حَاجَةِ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ فَقُضِيَتْ حَاجَتُهُ كُتِبَتْ لَهُ حَجَّةٌ وَعُمْرَةٌ، فَإِنْ لَمْ تُقْضَ لَهُ كُتِبَتْ لَهُ عُمْرَةٌ. فَقَدِ اكْتَسَبْتُ حَجَّةً وَعُمْرَةً وَرَجَعْتُ اِلَى طَوَافِىْ.
Artinya: “Dan dari Ali bin Hasan, dia berkata: suatu hari al-Hasan keluar untuk bertawaf di Ka'bah. Kemudian ada seorang laki-laki datang menghampirinya seraya berkata: Wahai Abu Muhammad! Pergilah bersamaku untuk memenuhi kebutuhan seseoarang. Kemudian al-Hasan meninggalkan tawafnya dan pergi bersamanya. Ketika dia pergi, kemudian ada seorang laki-laki yang hasud kepada laki-laki yang mengajaknya pergi. Dia datang menghampiri dan berkata: Wahai Abu Muhammad! Mengapa kamu tinggalkan tawaf dan pergi bersama seseorang untuk memenuhi kebutuhan orang lain? Kemudian Hasan menjawab: Bagaimana aku tidak pergi bersamanya, sedangkan Rasulullah SAW pernah bersabda: Siapapun yang pergi dalam memenuhi hajat saudara sesama muslim kemudian hajatnya terpenuhi, maka baginya akan dicatatkan pahala haji dan umrah. Seanadainya hajat tersebut tidak dipenuhi, maka akan dicatatkan baginya pahala umrah. Aku benar-benar telah mendapatkan pahala haji dan umrah kemudian aku kembali pada tawafku.” (Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Al-Jami' li Syu'abil Iman, [Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003], Jilid X, halaman 111).
Advertisement
4. Taat pada Suami
Pada zaman Nabi, seorang suami memiliki peran lebih banyak dibandingkan dengan istrinya. Seperti shalat berjamaah di masjid, menjenguk kerabat yang sakit, merawat jenazah, berhaji hingga berkali-kali dan bahkan berjihad. Hal ini memicu protes dari kalangan istri-istri para sahabat.
Pasalnya, mereka juga tak kalah lelah dengan kaum laki-laki, yaitu menjaga harta dan anak-anak, memasak, mencuci pakaian mereka, bahkan menjadi tempat pelampiasan syahwat bagi para suaminya. Lalu para istri sahabat ini menanyakan amal yang setara dengan suami mereka.
Rasulullah kemudian bersabda:
اِنْصَرِفِى أَيَّتُهَا الْمَرْأَةُ وَأَعْلِمِيْ مَنْ خَلْفَكَ مِنَ النِّسَاءِ أَنَّ حُسْنَ تَبَعُّلِ إِحْدَاكُنَّ لِزَوْجِهَا وَطَلَبَهَا مَرْضَاتِهِ وَإِتْبَاعَهَا مُوَافَقَتَهُ تَعْدِلُ ذَلِكَ كُلَّهُ
Artinya: “Bergegaslah pergi wahai perempuan dan beritahukan kepada wanita-wanita setelahmu! Bahwa sesungguhnya berbuat baik dalam pergaulan kalian terhadap suami, mencari ridha suami, menuruti keinginan suami mampu menyamai pahala semua (yang dilakukan suami) itu.” (Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Al-Jami' li Syu'abil Iman..., Jilid XI, halaman 177).
Itulah 4 amalan yang memiliki pahala setara dengan pahala haji atau umrah. Namun yang sangat ditekankan adalah amalan-amalan ini tidak menjadi penggugur kewajiban umat Islam dalam menunaikan ibadah haji, apalagi bagi yang sudah mampu (istitha‘ah). Wallahu a'lam.