Sukses

Mendahulukan Menikah atau Menunggu Mapan? Ini Solusinya Berdasar Syariat

Saat dihadapkan pada situasi antara pilihan menikah atau mapan terlebih dahulu, begini anjurannya dalam Islam

Liputan6.com, Jakarta - Menikah merupakan salah satu ibadah untuk menyempurnakan agama. Nabi Muhammad SAW bersabda:

"Ketika seorang hamba sudah melaksanakan akad nikah, maka berarti dia telah menyempurnakan/menjaga setengah agamanya. Maka bertaqwalah kepada Allah pada setengah sisanya".

Barangkali sering kita dengar atau bahkan mengalami sendiri, ketika telah memasuki usia remaja menuju dewasa maka dihadapkan pada situasi di mana akan melanjutkan ke fase kehidupan berikutnya, yakni menikah.

Namun demikian, tak jarang seseorang juga akan mengalami masa dilematis antara mapan dulu lalu menikah atau menikah dulu, lalu mapan.

Lantas, bagaimana seharusnya sikap yang benar dalam menghadapi masalah ini? Bagaimanakah Islam memberikan panduan atas hal tersebut? Berikut penjelasannya merangkum dari laman NU Online.

 

2 dari 6 halaman

Memprioritaskan Mampu

Pada dasarnya, antara “mapan dulu” atau “menikah dulu”, keduanya tidak dapat dijadikan acuan prinsipil bagi seseorang. Keduanya bersifat relatif subjektif sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing. Hanya saja, sebenarnya Islam melalui nash Al-Qur’an dan hadits telah memberikan isyarat sedemikian rupa, bagaimana seseorang pada fase tersebut dapat bertindak. Berikut uraiannya dalam beberapa poin: 

Memprioritaskan Mampu

Perintah untuk ‘mampu’ bagi pemuda yang ingin menikah sebenarnya berasal dari sabda Rasulullah SAW berikut: 

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Artinya: Wahai para pemuda! Barang siapa yang telah mampu (ba’ah), maka menikahlah. Sebab, menikah dapat lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Tetapi, barang siapa yang belum mampu demikian, maka hendaklah ia (menahan diri) dengan berpuasa, sebab berpuasa dapat menekan syahwat. (HR Al-Bukhari)

Hadis di atas jelas sekali ditujukan khithab-nya kepada para pemuda (syabab). Lantas, siapa yang dimaksud para pemuda? 

3 dari 6 halaman

Pendapat tentang Batas Usia Muda

Ibn Hajar al-Asqalani menyampaikan variasi pendapat tentang pembatasan usia muda sebagai berikut:

Pertama, yaitu usia baligh hingga 30 tahun. Ini pendapat terkuat yang dikemukakan oleh Al-Nawawi.

Kedua, yaitu usia 17 sampai 32 tahun. Ini pendapat yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi dalam kitab Al-Mufhim.

Ketiga, yaitu usia baligh hingga 32 tahun. Ini pendapat yang dikemukakan oleh Al-Zamachsyari. 

Keempat, yaitu usia baligh sampai 40 tahun. Ini pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Syas al-Maliki.

Kelima, yaitu usia baligh hingga 50 tahun. Ini pendapat yang disampaikan oleh Ibn Qutaibah. (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, [Mesir, al-Maktabah al-Salafiyyah: 1390 H], Juz 9, hal: 108).

Dari keterangan di atas, jika mengambil pendapat yang paling kuat (usia baligh hingga 30 tahun), maka lebih dari usia tersebut dinyatakan lewat dari usia syabab, alias beranjak pada usia tua. Konsekuensi hukumnya adalah mereka tidak terkena khithab dari hadis ini lagi.

Kemudian, bagi pemuda yang terkena khithab hadis di atas, maka akan terkena perintah untuk menikah dengan syarat telah menempuh ba’ah. Apa maksud dari ba’ah?

4 dari 6 halaman

Ragam Makna Ba’ah

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu memahami definisi dari ba’ah tersebut. Al-Nawawi menjelaskan bahwasanya makna ba’ah dapat didefinisikan dengan dua ragam makna, antara lain:

Pertama, ba’ah dapat diartikan dengan hasrat seksual (jimak). Ini sesuai dengan pernyataan Al-Nawawi berikut: 

Pendapat ashah bahwa yang dimaksud ialah makna ba’ah secara etimologi, yakni hasrat seksual. Sehingga dapat dibaca: Barang siapa dari kalian telah mencapai hasrat seksual, sebab mampu untuk membiayai nikah, maka menikahlah. Tetapi bilamana tidak mencapainya, sebab ketidak mampuan untuk membiayai nikah, maka hendaklah menahan diri dengan berpuasa untuk menekan syahwat dan meminimalisir keburukan. (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, [Beirut, Dar Ihya’ al-Turats: 1392 H], Juz 9, halaman: 173)

Kedua, ba’ah dapat diartikan dengan biaya nikah. Al-Nawawi menegaskannya sebagai berikut: 

Pendapat kedua bahwa yang dimaksud adalah biaya nikah. Disebut dengan ‘ba’ah’ sesuai dengan materi yang selalu menjadi konsekuensi nikah. Sehingga dapat dibaca: Barang siapa yang mampu atas biaya nikah, maka menikahlah. Tetapi, bilamana tidak mampu, maka berpuasalah untuk menekan syahwat. (Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj, [Beirut, Dar Ihya’ al-Turats: 1392 H], Juz 9, hal. 173).

Dari dua ragam pendapat di atas, ada pendapat ketiga yang dikemukakan oleh Ibn Hajar al-Asqalani sebagai bentuk kompromi di antara dua pendapat yang ada. Maksudnya, menjelaskan bahwa makna ba’ah itu dapat diartikan keduanya (mampu dari sisi hasrat seksual dan mampu secara finansial). Hal ini diungkapkannya melalui narasi berikut: 

Tidak ada pembatas bahwasanya dapat diarahkan pada makna yang lebih umum, yakni lafal ba’ah dapat dimaknai dengan mampu dari sisi hasrat seksual dan mampu secara finansial. (Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh al-Bukhari, [Mesir, al-Maktabah al-Salafiyyah: 1390 H], Juz 9, halaman: 109)

Dengan demikian, pemuda memang diharuskan untuk berikhtiar terlebih dahulu untuk mencapai kemampuan agar mapan, kemudian dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Tetapi, jika telah berikhtiar dan belum ada hasil, lantas bagaimana?

5 dari 6 halaman

Berkecukupan setelah Menikah

Selama yang bersangkutan telah berikhtiar hingga mencapai batas kemampuan, namun tidak menggapai taraf maksimal dari sisi finansial terutama, maka seyogyanya pemuda tersebut beralih mindset pada QS. Al-Nur ayat 32 berikut: 

Nikahkanlah anak-anak yang belum berpasangan dari kalian dan orang-orang shalih dari budak laki-laki dan budak perempuan kalian. Jika mereka tergolong fakir, niscaya Allah akan mencukupinya lewat anugerah-Nya. Allah Maha Luas (pemberian-Nya) serta Maha Mengetahui. (QS Al-Nur: 32).

Pada ayat di atas, terdapat diksi “al-ayaama” yang diartikan oleh mufasir, salah satunya Jalaluddin al-Suyuthi dengan “wanita atau pria yang belum menikah”. Redaksinya sebagai berikut: 

(Nikahkanlah anak-anak yang belum berpasangan dari kalian). Kata ‘ayaama’ merupakan bentuk plural dari ‘ayyim’, yakni: Perempuan yang belum bersuami, baik masih perawan atau janda dan laki-laki yang belum beristri. Ini berlaku bagi mereka yang telah merdeka. (Jalal al-Din al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, [Kairo, Dar al-Hadits: tt], halaman: 463).

Sebenarnya, khithab dari perintah pada ayat di atas bukan ditujukan kepada si perempuan, akan tetapi pada walinya. Lebih umum lagi diperuntukkan bagi wali dari anak-anak yang belum menikah. Allah SWT menegaskan bahwa dengan menikah, mereka akan tercukupi. Ini adalah janji Allah SWT bagi pasangan selama mereka senantiasa taat dan mengharap ridha serta menjaga diri dari segala maksiat. Bahkan terdapat sebuah riwayat hadits dari Abdullah bin Mas’ud yang pernah meriwayatkan, kemudian membaca ayat di atas. Hadits tersebut adalah: 

Carilah kecukupan rezeki di dalam pernikahan. (Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, [Kairo, Dar al-Kutub al-Mishriyyah: 1964], Juz 12, halaman: 241).

Dengan demikian, ikhtiar untuk menggapai sebuah kesuksesan dalam mengarungi bahtera rumah tangga harus dimulai sejak sebelum akad nikah, yakni menyiapkan mental dan finansial semampunya, baru kemudian beranjak ke jenjang pernikahan. Tetapi, bilamana kesulitan dalam mengais rezeki dengan usaha maksimal, maka tetaplah menikah. Atas izin Allah, rumah tangga pasangan akan tetap dijaga dan dicukupi oleh-Nya selama tetap berada dalam ketaatan pada Yang Maha Kuasa. Wallahu a’lam

6 dari 6 halaman

Saksikan Video Pilihan ini: