Liputan6.com, Jakarta - Di era modern ini, ketika ceramah agama mudah diakses melalui berbagai media, umat Islam dihadapkan pada pilihan beragam ustadz atau penceramah yang dapat mereka ikuti.
Namun, tidak semua pendakwah menggunakan cara yang sejuk dan penuh hikmah dalam menyampaikan pesan agama.
Menanggapi fenomena ini, Prof KH Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim terkemuka, menekankan pentingnya memilih ustadz yang tidak memaki-maki dalam dakwahnya.
Advertisement
Quraish Shihab mengingatkan bahwa dakwah adalah ajakan kepada kebaikan yang harus disampaikan dengan cara yang baik pula.
Ia menekankan pentingnya mencontoh akhlak Nabi Muhammad SAW yang selalu lemah lembut dalam menyampaikan ajaran Islam.
Mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, "Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Prof Quraish Shihab Mengibaratkan Seperti Ini
Ayahanda presenter Najwa Shihab menegaskan bahwa ini adalah pedoman penting bagi para pendakwah. Kata-kata yang baik dan penuh hikmah lebih efektif dalam menyentuh hati dan menggerakkan orang untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Dalam dakwah, sering kali ditemukan penceramah yang menggunakan kata-kata keras dengan alasan untuk menegur atau mengingatkan umat. Namun, Prof Quraish Shihab mengingatkan bahwa cara ini justru bisa menimbulkan antipati dan menjauhkan orang dari ajaran Islam yang seharusnya penuh kasih sayang dan rahmat.
Menukil Islami.co, Quraish Shihab menjelaskan hal yang menarik ketika ditanya seseorang terkait kriteria ustadz yang tepat untuk dijadikan panutan atau sebagai penceramah.
Mantan rektor IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan dengan penuh kasih ibarat seorang bapak menasehati anaknya.
“Pilihlah ustadz yang menganut faham wasathiyah (moderat) anda tidak akan mendengar makian,” tutur mantan Mentri Agama ke-16 masa Presiden Soeharto ini.
Advertisement
Ustadz Seperti Ini yang Bisa Dipilih
Quraish Shihab menjelaskan bahwa ustadz yang wasathiyah akan terbuka untuk dikritik dan tidak fanatik dengan satu pandangan dan menilai pandangan orang lain salah.
Ustadz yang wasathiyah memahami bahwa jalan menuju agama (sirath) itu besar dan memiliki jalan-jalan kecil (sabil) untuk menuju jalan besar itu.
“Karena dalam rincian ajaran agama, yang Tuhan tanyakan adalah hasilnya, misalnya 5 tambah 5 10 tapi bisa juga 7 tambah 3,” lanjutnya.
Salah satu ciri ustadz yang wasathiyah, menurutnya adalah berpengetahuan luas. Ustadz yang berpengetahuan luas, akan mampu menilai dan menghargai suatu pendapat, sedangkan ustadz yang sempit pengetahuannya akan mudah menyalahkan.
“Semakin luas pengetahuan seseorang, semakin besar toleransinya, semakin sempit semakin bodoh,” tandasnya.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul