Sukses

Bagaimana Islam Mengatur Soal Rujuk? Simak Cara, Ketentuan dan Syaratnya

Rujuk dalam Islam: Cara, ketentuan, dan syarat-syaratnya.

Liputan6.com, Jakarta - Dalam ajaran Islam, perceraian merupakan hal yang diatur dengan ketat dalam hukum syariah dan dianggap sebagai langkah terakhir dalam menyelesaikan konflik dalam pernikahan.

Namun, Islam juga memberikan kesempatan untuk rujuk bagi pasangan suami istri yang telah bercerai dengan syarat-syarat tertentu.

Rujuk merupakan proses kembali bersatu setelah perceraian dan dapat dilakukan dengan kesepakatan dari kedua belah pihak.

Rujuk dapat dianggap sebagai tindakan yang mulia karena menunjukkan keinginan untuk memperbaiki hubungan dan menghidupkan kembali ikatan suami istri yang telah terputus.

Meskipun proses rujuk dapat berbeda-beda tergantung pada hukum dan tradisi lokal, namun prinsip-prinsip dasarnya tetap sama yaitu adanya kesepakatan dan persetujuan.

Persetujuan ini tentunya berasal dari kedua belah pihak serta dilakukan dengan niat baik untuk memperbaiki hubungan dan menjalani kehidupan berumah tangga yang harmonis sesuai dengan ajaran Islam.

Bagaimanakah penjelasan rujuk dan tata caranya?

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Begini Ketentuan Rujuk

Mengutip kemenag.go.id, di antara ketentuan rujuk adalah istri yang dirujuk masih berada dalam masa iddah talak raj‘i, yakni talak satu atau talak dua,bukan dari talak ba’in, baik bain sugra maupun bain kubra.

Karena itu, tidak sah rujuk setelah habis masa iddah sebab sudah bain sugra.

Jika suami tetap ingin kembali kepada istrinya, maka ia harus melakukan akad baru, sebagaimana akad perkawinan pada umumnya.

وإذا طلق امرأته واحدة أو اثنتين فله مراجعتها ما لم تنقض عدتها فإن انقضت عدتها حل له نكاحها بعقد جديد

Artinya, “Jika seorang suami menalak istrinya dengan talak satu atau talak dua, maka ia berhak rujuk kepadanya selama masa iddahnya belum habis. Jika masa iddah telah habis maka sang suami boleh menikahinya dengan akad yang baru.” (Lihat: Abu Syuja, al-Ghayah wa al-Taqrib, Alamul-Kutub, tt., hal. 33).

Begitu pula jika talak yang dijatuhkan adalah talak tiga atau talak ba’in. Walaupun masa iddah belum habis, maka sang suami tidak bisa langsung rujuk atau menikah dengannya kecuali setelah terpenuhi lima persyaratan.

فإن طلقها ثلاثا لم تحل له إلا بعد وجود خمس شرائط انقضاء عدتها منه وتزويجها بغيره ودخوله بها وإصابتها وبينونتها منه وانقضاء عدتها منه

Artinya, “Jika sang suami telah menalaknya dengan talak tiga, maka tidak boleh baginya (rujuk/nikah) kecuali setelah ada lima syarat: (1) sang istri sudah habis masa iddahnya darinya, (2) sang istri harus dinikah lebih dulu oleh laki-laki lain (muhallil), (3) si istri pernah bersenggama dan muhallil benar-benar penetrasi kepadanya, (4) si istri sudah berstatus talak ba’in dari muhallil, (5) masa iddah si istri dari muhallil telah habis,” (Lihat: Abu Syuja, al-Ghayah wa al-Taqrib, Alamul-Kutub, tanpa tahun, hal. 33).

 

3 dari 3 halaman

Begini Ungkapan Rujuk

Seperti halnya istri yang ditalak ba’in, istri yang ditalak dengan talak fasakh dan istri yang ditalak khulu‘ pun tidak bisa dirujuk. Sehingga sang suami yang ingin kembali kepadanya harus melakukan akad baru.

Begitu pula yang ditalak tetapi belum pernah dicampuri, juga tidak bisa rujuk sebab ia tidak memiliki masa iddah.

Ketentuan lainnya, ungkapan yang dipergunakan untuk rujuk bisa ungkapan sharih (jelas dan tegas) atau ungkapan kinayah (sindiran) disertai dengan niat.

Contoh ungkapan sharih, “Aku rujuk kepadamu,” atau “Engkau sudah dirujuk,” atau “Aku mengembalikanmu kepada pernikahanku.” Sedangkan ungkapan kinayah contohnya “Aku kawin lagi denganmu,” atau “Aku menikahimu lagi.”

Lebih lanjut, Syekh Ibrahim mempersyaratkan agar ungkapan rujuk di atas tidak diikuti dengan ta’liq atau batas waktu tertentu. Seperti ungkapan, “Aku rujuk kepadamu jika engkau mau,” meskipun istrinya menjawab, “Aku mau.” Atau ungkapan, “Aku rujuk kepadamu selama satu bulan.”

Kemudian, rujuk tidak cukup dilakukan dengan niat saja tanpa diucapkan. Pun tidak cukup hanya dilakukan dengan tindakan semata, seperti dengan hubungan badan suami-istri. Tetaplah harus ducapkan, bahkan sunnahnya, di hadapan dua saksi.

Tujuannya agar terhindar dari fitnah dan keluar dari wilayah perdebatan orang yang mewajibkannya.

Kemudian, rujuk juga boleh dilakukan tanpa kerelaan istri. Namun demikian, perlu dipertimbangkan, mengingat salah satu tujuan pernikahan adalah mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan bersama.

Jika kerelaan istri diabaikan, bukan mustahil tujuan itu tidak akan tercapai walaupun sudah rujuk. Wallahu a’lam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul