Sukses

Kenapa Adzan Selalu Dikumandangkan Laki-Laki, Apa Wanita Tidak Boleh?

Alasan perempuan tidak perlu mengumandangkan azan dan iqamat

Liputan6.com, Jakarta - Adzan adalah panggilan untuk sholat yang dilakukan oleh seorang muadzin. Biasanya adzan dilakukan oleh seorang laki-laki, yang memiliki suara yang jelas dan bermelodi.

Apakah tidak disyariatkan bagi kaum wanita atau perempuan untuk melaksanakan adzan dan iqamat baik di dalam perjalanan ataupun tidak?

Lalu apa benar juga adzan dan iqamat merupakan hal yang dikhususkan bagi kaum pria sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam tradisi Islam mayoritas, adzan dilakukan oleh laki-laki karena itu merupakan bagian dari praktik keagamaan yang telah lama berlangsung dan telah menjadi bagian dari warisan budaya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Syarat Muadzin Laki-Laki

Mengutip nu.or.id, hal ini karena salah satu dari syarat sah azan adalah dikumandangkan oleh seorang laki-laki, itu pun karena sholatnya dilakukan oleh jamaah yang terdiri dari perempuan dan laki-laki.

لا يصح اذان المرأة للرجال لما ذكره المصنف هذا هو المذهب وبه قطع الجمهور ونص عليه في الام

Artinya, “Tidak sah azan perempuan untuk jamaah laki-laki. Sebagaimana disebutkan mushannif (pengarang kitab Muhadzdzab) bahwa pendapat ini adalah pendapat madzhabnya serta pendapat jumhur ulama’ serta pendapat Imam As-Syafii dalam kitab Al-Umm,” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr, t.t], juz III, halaman 100).

Dalam beberapa komunitas, terkadang kita mendapati kelompok atau komunitas yang hanya terdiri dari perempuan saja.

Biasanya mereka melaksanakan kegiatan hanya bersama anggota-anggota perempuan, termasuk melakukan shalat jamaah.

Apakah di antara mereka boleh mengumandangkan azan ketika akan melaksanakan shalat?

Sebagaimana azan yang dikumandangkan oleh para laki-laki? Imam As-Syafii dalam Kitab Al-Umm menjelaskan bahwa perempuan tidak perlu mengumandangkan azan, walaupun mereka melakukan jamaah hanya bersama perempuan.

وليس على النساء أذان وإن جمعن الصلاة وإن أذن فأقمن فلا بأس ولا تجهر المرأة بصوتها تؤذن في نفسها وتسمع صواحباتها إذا أذنت وكذلك تقيم إذا أقامت

Artinya, “Para perempuan tidak perlu azan walaupun mereka berjamaah bersama (perempuan yang lain). Namun jika ada yang mengazani dan mereka hanya melakukan iqamah, maka hal itu diperbolehkan. Dan juga tidak boleh mengeraskan suara mereka saat azan. Sekiranya azan tersebut cukup didengar olehnya sendiri dan teman-teman perempuannya, begitu juga saat iqamah.” (Lihat Muhammad bin Idris As-Syafii, Al-Umm, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1393 H], halaman 84).

3 dari 3 halaman

Begini Pernyataan Imam As-Syafi'i

Dari penjelasan Imam As-Syafii tersebut dapat disimpulkan bahwa memang tidak perlu azan, namun jika ada yang azan dan iqamah maka diperbolehkan dengan syarat tidak dilakukan dengan mengeraskan suaranya.

Apalagi sampai seperti azan laki-laki, khususnya seperti azan laki-laki yang menggunakan pengeras suara, hingga tidak hanya sahabat perempuan saja yang mendengar, bahkan laki-laki pun bisa mendengarkan.

An-Nawawi dalam Al-Majmu’ juga menjelaskan secara rinci kaitan ketidakbolehan perempuan azan dengan sangat keras.

Bahkan ia juga membagi hukum azan bagi perempuan menjadi tiga:

وأما إذا أراد جماعة النسوة صلاة ففيها ثلاثة أقوال المشهور المنصوص في الجديد والقديم وبه قطع الجمهور يستحب لهن الاقامة دون الاذان لما ذكره المصنف والثاني لا يستحبان نص عليه في البويطي والثالث يستحبان حكاهما الخراسانيون

Artinya, “Adapun jika jamaah perempuan ingin mendirikan shalat, maka terdapat tiga pendapat yang terkenal dan tertulis, baik dalam qaul jadid maupun qaul qadim dan jadid juga jumhur.

Pertama, disunahkan bagi mereka iqamah saja, tanpa melakukan azan sebagaimana pendapat mushannif (pengarang Muhadzdzab).

Kedua, tidak disunahkan azan dan iqamah sebagaimana tertulis dalam pendapat Al-Buwaithi. Ketiga, disunahkan keduanya sebagaimana pendapat ulama’ Khurasan,” (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr, tanpa keterangan tahun], juz III, halaman 100).

Adapun pendapat Imam Syafii yang telah kami sebutkan di atas, termasuk kategori pendapat pertama yang hanya menyunahkan iqamah.

Dan diperbolehkan azan asal tidak dengan suara yang keras sebagaimana telah disebutkan di atas.

Pendapat Imam As-Syafii ini juga didukung oleh beberapa ulama yang lain, yaitu Al-Buwaithi, Abu Hamid, Qadhi Abu Thayyib, Al-Mahamily dalam dua kitabnya.

Tetapi pendapat ini ditolak oleh Abu Ishaq Ibrahim As-Syiraziy yang merupakan pengarang Kitab Muhadzdzab dan Imam Al-Jurjani dalam Kitab At-Tahrir yang berpendapat bahwa tetap dimakruhkan azan.

Oleh karena itu, berdasarkan pendapat-pendapat Imam As-Syafii dan jumhur di atas, disunahkan bagi perempuan cukup melakukan iqamah saat akan berjamaah bersama perempuan.

Diperbolehkan azan asalkan azan tersebut tidak keras dan cukup didengar oleh jamaah perempuan saja. Wallahu a’lam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul