Sukses

Bolehkah Berkurban dengan Kambing Betina Hamil yang Gemuk dan Besar, Apakah Sah?

Bagaimana jika berqurban dengan hewan yang sedang hamil? Apakah termasuk dari bagian hewan yang cacat, sehingga tidak sah hukumnya.

Liputan6.com, Jakarta - Hewan qurban harus memenuhi beberapa syarat khusus agar dianggap sah. Syarat pertama, hewan kurban tersebut haruslah hewan ternak; berupa unta, sapi, atau kambing.

Selain itu, usia hewan juga harus sesuai dengan ketentuan syariat. Unta minimal harus berumur 5 tahun, sapi minimal berumur 2 tahun, dan kambing minimal berumur 1 tahun.

Selain dari segi jenis dan usia, hewan qurban juga tidak boleh memiliki cacat fisik. Misalnya, hewan tersebut tidak boleh buta, sakit, atau memiliki masalah fisik lainnya seperti kaki pincang atau badan yang kurus.

Semua syarat ini harus dipenuhi agar hewan tersebut sah sebagai qurban. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka qurban tersebut dianggap tidak sah menurut ajaran agama.

Lantas, bagaimana jika berkurban dengan hewan yang sedang hamil? Apakah termasuk dari bagian hewan yang cacat, sehingga tidak sah hukumnya.

Atau justru tidak termasuk dari bagian tersebut sehingga hukumnya sah? Padahal hewan hamil tampak besar dan gemuk.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hewan Hamil Sebenarnya Kurus

Mengutip nu.or.id, berqurban dengan hewan yang hamil pada prinsipnya tidak diperbolehkan menurut mayoritas ulama Mazhab Syafi’iyah.

Karena hamil pada dasarnya bisa memberikan pengaruh yang sangat signifikan pada hewan, yaitu sangat kurus ketika sudah melahirkan, bahkan daging janin yang ada dalam kandungan tidak bisa menjadi penambal kekurangan daging hewan yang hamil.

Hewan qurban yang hamil sama halnya dengan hewan pincang yang gemuk, sekalipun memiliki daging yang sangat banyak, namun tidak bisa menutup kekurangan pincang yang diderita hewan.

Pendapat ini sebagaimana ditegaskan oleh Sayyid Sa’id Muhammad Ba’asyin al-Hadrami dalam salah satu karyanya, yaitu:

وَلَا يَجُوْزُ التُّضْحِيَّةُ بِحَامِلٍ عَلىَ الْمُعْتَمَدِ؛ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُنْقِصُ لَحْمَهَا، وَزِيَادَةُ اللَّحْمِ بِالْجَنِيْنِ لَا يَجْبُرُ عَيْباً كَعَرْجَاءَ سَمِيْنَةٍ

Artinya, “Tidak boleh berqurban dengan hewan yang hamil menurut pendapat yang mu’tamad, karena kehamilan hewan bisa mengurangi dagingnya, sedangkan bertambahnya daging disebabkan janin tidak dapat menutup kekurangan, seperti binatang pincang yang gemuk.” (Sayyid Sa’id, Syarh Muqaddimah al-Hadramiyah al-Musamma Busyral Karim bi Syarhi Masailit Ta’lim, [Darul Minhaj: 2004], halaman 698).

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Sykeh Sulaiman al-Bujairami dalam salah satu karyanya, ia mengatakan bahwa hewan yang hamil tidak sah untuk dijadikan qurban, karena dengan kehamilan bisa mengurangi dagingnya,

وَالْحَامِلُ فَلَا تُجْزِئُ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ لِأَنَّ الْحَمْلَ يُنْقِصُ لَحْمَهَا وَإِنَّمَا عَدُّوهَا كَامِلَةً فِي الزَّكَاةِ ، لِأَنَّ الْقَصْدَ فِيهَا النَّسْلُ دُونَ طِيبِ اللَّحْمِ

Artinya, “Hewan hamil tidak cukup (tidak sah dijadikan qurban), dan ini menurut pendapat yang mu’tamad, karena hamil bisa mengurangi dagingnya.

 

3 dari 3 halaman

Begini Pendapat Ulama

Dan sesungguhnya para ulama menilai sempurna (hewan hamil) dalam bab zakat, karena tujuan di dalamnya adalah keturunan bukan daging yang enak.” (Syekh al-Bujairami, Hasiyah al-Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut, Darul Minhaj: tt], juz XIII, halaman 232).

Selain dua pendapat ini, Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam karyanya yang berjudul Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, (Maktabah at-Tijariyah al-Kubra: tt), juz 8, halaman 81, juga mengatakan tidak sah.

Syekh Sulaiman al-Jamal dalam kitab Hasiyatul Jamal ‘ala Syarhil Minhaj (Beirut, Darul Fikr: tt), juz V, halaman 254, juga mengatakan tidak sah, serta semua mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah lainnya.

Karena hewan hamil tidak sah dijadikan qurban, jika sudah terlanjur untuk berqurban dengannya, maka hukumnya tetap halal yang penting memenuhi syarat-syarat penyembelihan.

Hanya saja daging yang dibagikan tidak berstatus qurban, namun berstatus sedekah biasa dan tetap mendapatkan pahala sedekah.

Kendati demikian, terdapat ulama yang menilai dan berpendapat bahwa hewan hamil yang dijadikan qurban hukumnya tetap sah.

Pendapat ini sebagaimana disahihkan oleh Imam Ibnu Rif’ah, sebagaimana yang dikutip oleh Syekh Zakaria al-Anshari dalam salah satu karyanya, ia mengatakan:

وَفِي الْمَجْمُوْعِ عَنِ الْاَصْحَابِ مِنْعُ التُّضْحِيَّةِ بِالْحَامِلِ، وَصَحَّحَ اِبْنُ الرِّفْعَةِ الْاِجْزَاءَ

Artinya, “Dan dalam kitab Majmu’ Syarhil Muhadzab dari pengikut mazhab Syafi’iyah, melarang qurban dari hewan yang hamil, dan Imam Ibnu Rif’ah mensahihkan bahwa qurban hewan hamil dianggap cukup (sah).” (Syekh Zakaria, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajit Thullab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 1418], juz II, halaman 328).

Kendati pendapat yang sahih menurut Imam Ibnu ar-Rif’ah itu boleh, hanya saja pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah, dengan argumen bahwa janin terkadang belum bisa sampai pada batas waktu yang bisa dimakan.

Sehingga janin yang ada dalam perut hewan qurban tidak memiliki nilai apa-apa dan tidak bisa menutupi kekurangan hewan qurban yang hamil. (Syekh Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma;ani Alfazhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz VI, halaman 128).

Dari beberapa penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa berqurban dengan hewan yang hamil hukumnya tidak sah, karena status kehamilan hewan bisa mengurangi dagingnya, dan janin yang ada di dalamnya tidak bisa menutupi kekurangan tersebut.

Namun demikian, Imam Ibnu ar-Rif’ah mensahihkan bahwa qurban dari hewan yang hamil hukumnya sah, hanya saja pendapat ini ditolak oleh mayoritas ulama. Wallahu a’lam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.