Liputan6.com, Jakarta - Bila membaca hikayat para ulama-ulama dunia, mulai dari Imam Syafi'ie hingga imam Ghozali. Atau Syaikhona Kholil Bangkalan hingga KH Hasyim Asy'ari, mereka punya satu kesamaan yaitu mereka adalah pecinta ilmu.
Baca Juga
Advertisement
Kecintaan pada ilmu ini membuat ketiadaan biaya bukanlah hambatan untuk belajar. Syaikhona Kholil Bangkalan misalnya untuk mencari biaya agar bisa melanjutkan sekolah ke Kota Makkah, dia nyambi jadi pemetik buah kelapa di kebun milik gurunya di Banyuwangi.
Banyak kisa-kisah lain, tentang kegigihan Syaichona Kholil dalam menuntut ilmu. Secara geografis, Masa belajar Mbah Kholil dapat dibagi ke tiga wilayah yaitu Madura, Jawa dan Mekkah.
Artikel kali ini akan mengulas masa-masa Kiai Kholil nyantri ke sejumlah pesantren di Jawa Timur. Sementara kisah Mbah Kholil nyantri di Madura telah diulas di artikel ini.
Simak Video Pilihan Ini:
Nyantri ke Pesantren Langitan
Setelah berguru pada dua ulama di Kota Bangkalan yaitu Kiai Dawuh dan Syekh Abdul Adhim bin Muhyiddin. Syaikhona Kholil muda melanjutkan nyantri ke Pulau Jawa sekitar tahun 1850an. Kabupaten Tuban di Jawa Timur menjadi tujuan pertamanya.
Di sana dia menimba ilmu kepada KH Muhammad Nur. Kiai yang masyhur kealiamannya di masa itu tak lain adalah perintis pertama Pesantren yang kini dikenal dengan nama Pesantren Langitan.
Kiai Nur menjadi pengasuh pesantren ini selama 18 tahun, dari tahun 1850 hingga 1870an. Di pesantren inilah menjadi tempat bertemunya untuk pertama kali antara Kiai Kholil dan Kiai Hasyim Asy'ari.
Kiai Kholil menjadi kakak kelas, sementara Kiai Hasyim menjadi juniornya. Pertemanan dua ulama yang kemudian mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama ini tak lama.
Enam bulan setelah Kiai Hasyim nyantri di Langitan, Kiai Kholil boyong atau pindah mondok ke Pesantren Cangaan Bangil.
Meski perkenalan itu berlangsung singkat, Kiai Hasyim yang terkesan dengan kealimam Kiai Kholil, kelak ia memutuskan untuk nyantri ke Kiai Kholil di Bangkalan, Madura.
Advertisement
Pindah ke Pasuruan
Setelah Tuban, daerah berikutnya yang dituju Kiai Kholil menuntut ilmu adalah Kota Pasuruan. Di kota ini, Kiai Kholil belajar ilmu tauhid kepada Kiai Asyiq Abdul Latif, yang saat itu menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Canga'an Bangil.
Sang guru rupanya tahu bahwa Kiai Kholil muda adalah orang yang alim, sehingga dalam beberapa perkara, Kiai Asyiq kerap meminta bantuan muridnya itu.
Suatu kali, kampung Canga'an di landa kemarau ekstrem. Tidak hanya masyarakat, santri di Pesantren Canga'an pun kesulitan air bersih.
Atas situasi itu, Kiai Asyiq pun memerintah Kiai Kholil untuk menggali sumur. Dan hanya beberapa meter menggali, sumber air pun muncul.
Hingga kini, sumur itu masih ada dan menjadi situs bersejarah yang dilestarikan oleh pengurus pesantren.
Selain sumur, kamar di salah satu asrama yang pernah ditempati Kiai Kholil selama nyantri, juga dilestarikan dan dibiarkan seperti bentuk semula.
Pada Harlah Saat Abad NU beberapa waktu, PBNU telah menetapkan Pesantren Canga'an sebagai satu dan empat pesantren tertua di Indonesia.
Nyantri ke Keboncandi dan Sidogiri
Selesai nyantri di Canga'an, Kiai Kholil melanjutkan nyantri di dua pondok pesantren sekaligus yang juga terletak di Kota Pasuruan. Pertama di Pondok Pesantren Keboncandi yang diasuh Kiai Arif. Kedua di Pondok Pesantren Sidogiri yang diasuh Kiai Noer Hasan.
Agar bisa mengaji pada dua Kiai sekaligus, Kiai Kholil Bangkalan membagi waktu. Setelah mengaji kepada Kiai Arif, dia akan meminta izin untuk pergi mengaji ke Kiai Noer Hasan di Sidogiri.
Jarak Keboncandi ke Sidogiri sejauh 15 kilometer, ditempuh dengan berjalan kaki oleh Kiai Kholil pulang dan pergi. Setiap melakukan perjalanan ini, Kiai Kholil melakoni sebuah tirakat yaitu membaca surat Yasin.
Menurut beberapa sumber, ada dua versi tirakat yang dijalani kiai Kholil. Versi pertama menyebut tiap berjumpa pohon besar di perjalanan antara Keboncandi dan Sidogiri, Kiai Kholil akan membaca surat sampai selesai. Satu pohon besar, satu surat Yasin.
Versi kedua menyebut di tengah-tengah perjalan, Kiai Kholil akan berteduh di sebuah pohon dan kemudian membaca surat Yasin hingga khatam sebanyak 41 kali.
Konon, Kiai Kholil memilih bermukim di Pesantren Keboncandi agar bisa Nyambi kerja membatik, dan upahnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Advertisement
Mondok ke Banyuwangi
Setelah berguru kepada beberapa Kiai di Pasuruan, Kiai Kholil ingin melanjutkan sekolahnya ke Kota Makkah, Arab Saudi. Namun terkendala biaya.
Maka dia pun pergi ke Banyuwangi, untuk nyantri ke Kiai Abdul Bashir, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Genteng.
Di masa itu, Kiai Bashir dikenal kaya dan punya kebun kelapa yang luas. Selain mengaji, di pesantren ini, waktu Kiai Kholil lebih banyak dihabiskan membantu gurunya menjadi pemetik buah kelapa, dengan bayaran antara 2,5 hingga 3 sen.
Konon, Kiai Kholil tak pernah mengambil upah itu, sehingga disimpankan oleh gurunya.
Setelah beberapa tahun, Kiai Kholil dipanggil dan disuruh oleh gurunya untuk melanjutkan sekolah ke Mekkah. Tak hanya disuruh, Kiai Bashir juga memberi Kiai Kholil ongkos.
Ternyata ongkos tak lain adalah upah memetik kelapa yang tak pernah diambilnya.
Begitulah, cerita singkat pengembaraan Syaichona Kholil saat menuntut pada sejumlah Kiai di Jawa Timur. Bahwa untuk menjadi pintar dan alim, perlu bersusah-susah sungguh dalam belajar.