Sukses

Haram Hukumnya Mampu Menjadi Bupati Malah Pilih Jadi Ketua RT, Menurut Gus Baha

Bahaya sekali jika ada penyalahgunaan potensi, misalnya yang mampu jadi bupati malah pilih ketua RT, efeknya bisa yang jadi pemimpin justru orang fasik, begini penjelasan Gus Baha.

Liputan6.com, Jakarta - Gus Baha mengkritik fenomena yang dianggapnya bertentangan dengan prinsip-prinsip agama Islam, di mana individu yang memiliki kapasitas untuk menjadi bupati justru terjun ke dalam peran yang lebih rendah seperti menjadi ketua RT.

Ungkapan ini terekam dalam kanal YouTube @SNOfficial-Creator, menggambarkan kekhawatiran Gus Baha terhadap penyalahgunaan potensi dan kepemimpinan dalam konteks masyarakat Indonesia.

"Kalau orang Islam bisa bikin rumah tingkat kok punya rumah reyot, itu haram akhirnya keterusan. Kalau bisa jadi pupati kok jadi ketua RT juga haram, karena Islam itu luhur bukan bisa diluhurin," kata Gus Baha.

"Sehingga rata-rata orang syafiiah termasuk kiai-kiai Indonesia itu rata-rata ya agak-agak politikus," ujar nya.

Dalam pandangannya, Gus Baha menegaskan bahwa Islam mengajarkan bahwa orang-orang yang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk memimpin, terutama dalam tataran pemerintahan, seharusnya mengambil tanggung jawab tersebut dengan serius.

Ia menyoroti bahwa penggunaan potensi dan kapasitas untuk tujuan yang lebih rendah atau kurang signifikan secara moral dan sosial bisa dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama.

"Pemimpin yang memiliki kemampuan untuk berkontribusi dalam tataran yang lebih tinggi seperti bupati seharusnya tidak melalaikan potensi dirinya dengan menerima peran yang lebih rendah," papar Gus Baha dalam tayangan pengajian tersebut.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Jangan Sampai Pemimpin Fasik Justru Merusak

Dalam pengajian itu juga mengangkat isu penting tentang bagaimana individu-individu dengan kapasitas untuk berpengaruh secara signifikan dalam masyarakat seharusnya memanfaatkan potensi mereka dengan bijaksana sesuai dengan prinsip-prinsip agama.

"Karena enggak ridho gitu loh kalau kesempatan itu dikuasai orang fasik, kemudian menjadi kekuatan maksiat," ujarnya.

"Coba kalau bupati itu orang yang fasik kemudian programnya supaya rakyat senang semalaman dangdutan yang porno misalnya. Supaya rakyat senang dibolehkan dugem dibolehkan judi. Jadi kalau yang jabat orang saleh kan ada beberapa peraturan daerah yang menolak penyakit masyarakat," tegas Gus Baha.

Hal ini diharapkan dapat membawa pemahaman yang lebih baik tentang tanggung jawab moral dalam mengambil peran kepemimpinan.

Di akhir pengajian, Gus Baha mengajak masyarakat untuk merenungkan kembali nilai-nilai agama dalam konteks penggunaan potensi dan kapasitas individu dalam masyarakat.

Ia menegaskan bahwa dengan memahami dan mematuhi prinsip-prinsip agama, seseorang dapat mengembangkan potensi kepemimpinan secara maksimal untuk kebaikan umum dan kesejahteraan bersama.

3 dari 3 halaman

Hadis dan Hukum tentang Pemimpin

Mengutip Republika.co.id, suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Hadits di atas menegaskan, untuk mewujudkan bangsa yang besar, kuat, dan disegani oleh bangsa-bangsa di dunia dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat, bukan pemimpin yang lemah. Syaikhul Islam dalam as-Siyasah as-Syar'iyah menjelaskan kriteria pemimpin yang baik, "Selayaknya untuk diketahui, siapakah orang yang paling layak untuk posisi setiap jabatan. Kepemimpinan yang ideal memiliki dua sifat dasar, kuat (mampu) dan amanah. Lalu, menyitir firman Allah:  

إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS al-Qashash [28]: 26).

Kuat (profesional) untuk setiap pemimpin, tergantung dari medannya. Kuat dalam memimpin perang adalah keberanian jiwa dan kelihaian dalam perang dan mengatur strategi. Kuat dalam menetapkan hukum di tengah masyarakat adalah tingkat keilmuannya memahami keadaan yang diajarkan Alquran dan hadis, sekaligus kemampuan untuk menerapkan hukum. 

Allah SWT berfirman: 

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا ۚ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS al-Maidah [5]: 44).

Khalifah Umar bin Khattab pernah mengadu kepada Allah perihal kepemimpinan, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu, orang fasik yang kuat (mampu) dan orang amanah yang lemah.”

Jika demikian, diperlukan sebuah skala prioritas dalam menentukan kepemimpinan. Dalam posisi tertentu, sifat amanah itu lebih dikedepankan. Namun, di posisi lain, sifat kuat (mampu) dan profesional yang lebih dikedepankan.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul