Sukses

Larangan Puasa di Hari Tasyrik, Ini 3 Amalan Utama yang dapat Dilakukan

Pada hari tasyrik umat muslim dilarang berpuasa. Namun, terdapat amalan sunnah lainnya yang dianjurkan untuk dilakukan.

Liputan6.com, Jakarta - Umat Islam merayakan Lebaran Idul Adha setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Tiga hari setelahnya disebut Hari Tasyrik yaitu tanggal 11 sampai 13 Dzulhijjah. 

Pada Hari Tasyrik umat muslim dianjurkan untuk melaksanakan ibadah qurban namun dilarang untuk berpuasa. Sebagaimana disebutkan dalam hadisnya Rasulullah pernah mengabarkan terkait larangan ini,

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ قَالَا لَمْ يُرَخَّصْ فِي أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ إِلَّا لِمَنْ لَمْ يَجِدْ الْهَدْيَ

Artinya: “Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, keduanya berkata: “Tidak diperkenankan untuk berpuasa pada hari Tasyrik kecuali bagi siapa yang tidak mendapatkan hewan qurban ketika menunaikan haji.” (HR. Bukhari, no. 1859)

Meskipun dilarang untuk berpuasa, namun ada 3 amalan utama yang dapat dilakukan pada Hari Tasyrik. Berikut ulasannya mengutip dari laman NU Online.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

3 Amalan Utama Hari Tasyrik

Sebagian ulama berbeda pendapat perihal larangan puasa di Hari Tasyrik. Imam Syafi’i dalam qaul jadid-nya mengatakan larangan puasa pada Hari Tasyrik sebagaimana larangan puasa pada yaumus syak. 

Adapun ulama berbeda pendapat perihal amal yang utama pada Hari Tasyrik. Ada tiga amalan yang dapat dilakukan pada hari tasyrik yakni: 

Pertama, memperbanyak takbir. Imam Bukhari meriwayatkan hadits perihal amal pada Hari Tasyrik. Ia mengutip pandangan Ibnu Abbas ra. perihal perintah dzikir pada hari-hari tertentu yang dipahami sebagai Hari Tasyrik di Surat Al-Baqarah ayat 203. 

وقال ابنُ عَبَّاسٍ وَاذْكُرُواْ اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ أَيَّامُ العَشْرِ والأَيَّامُ المَعْدُوْدَاتُ أَيَّامُ التَّشْرِيْقِ وكَانَ ابنُ عُمَرُ وأَبُو هُرَيْرَةَ كَانَا يَخْرُجَانِ إِلَى السُّوقِ فِي أيَّامِ العَشْرِ يُكبِّرَانِ، ويُكَبِّرُ النَّاسُ بِتَكْبِيْرِهِمَا وكَبَّرَ مُحَمَّدٌ بْنُ عَلِيٍّ خَلْفَ النَافِلَةِ 

Artinya: “Ibnu Abbas ra. mengatakan, ‘Sebutlah nama Allah (dzikirlah) pada hari tertentu,’ (Surat Al-Baqarah ayat 203). ‘Hari 10 dan hari-hari tertentu adalah Hari Tasyrik.’ Sahabat Ibnu Umar dan Abu Hurairah ra. keluar ke pasar pada hari 10 sambil bertakbir. Orang-orang pun ikut bertakbir karena takbir keduanya. Muhammad bin Ali juga bertakbir setelah shalat sunnah,” (HR Bukhari).

Kedua, memperbanyak Tahlil, Tahmid, dan Takbir. Ibnu Hajar Al-Asqalani pada akhir pembahasan amal pada Hari Tasyrik mengutip riwayat hadis yang menganjurkan umat Islam untuk membaca tahlil, tahmid, dan takbir. 

وقد وقع في رواية بن عمر من الزيادة في آخره فَأَكْثِرُوْا فِيْهِنَّ مِنَ التَّهْلِيْلِ وَالتَّحْمِيْدِ وَالتَّكْبِيْرِ 

Artinya: “Pada riwayat Ibnu Umar ada tambahan kalimat di akhir, Perbanyaklah tahlil, tahmid, dan takbir pada Hari Tasyrik,” (Al-Asqalani, 2004 M/1424 H: II/529). 

3 dari 3 halaman

Amalan Hari Tasyrik

Ketiga, jenis amal ibadah Al-Asqalani mengutip pendapat Ibnu Abi Jamrah. Menurutnya, Islam tidak menentukan amal atau dzikir tertentu pada Hari Tasyrik. Menurutnya, amal apapun asal dilakukan pada Hari Tasyrik tetap lebih utama daripada amal yang sama di luar Hari Tasyrik. 

وقال بن أبي جمرة الحديث دال على أن العمل في أيام التشريق أفضل من العمل في غيره 

Artinya: “Ibnu Abi Jamrah mengatakan, hadits ini menunjukkan bahwa amal apapun pada Hari Tasyrik lebih utama daripada amal yang sama di luar Hari Tasyrik,” (Al-Asqalani, 2004 M/1424 H: II/527). 

Pada prinsipnya, Hari Tasyrik memang waktu istimewa untuk ibadah sehingga apapun amal ibadahnya asal dilakukan pada waktu-waktu yang istimewa maka ganjarannya juga istimewa. Hadis riwayat Imam Bukhari di atas menunjukkan bahwa Allah mengistimewakan waktu-waktu tertentu, sebagaimana Dia mengistimewakan tempat-tempat tertentu. 

وأن الغاية القصوى فيه بذل النفس لله وفيه تفضيل بعض الأزمنة على بعض كالأمكنة 

Artinya: “Tujuan tertinggi dari hadis ini adalah penghambaan diri sepenuhnya kepada Allah. Hadis ini juga menjadi dalil pengutamaan waktu-waktu tertentu dalam ibadah dibanding waktu lainnya, sebagaimana pengistimewaan tempat-tempat tertentu,” (Al-Asqalani, 2004 M/1424 H: II/528). Wallahu a’lam.