Sukses

Memilih Menantu Jangan Hanya Lihat Suksesnya Saja, Ini Pesan Buya Yahya

Memilih menantu yang salah bisa memutus tali persaudaraan, wah bahaya banget

Liputan6.com, Jakarta - Menantu adalah sosok yang tidak hanya menjadi pasangan hidup anak, tetapi juga menjadi bagian tak terpisah dari keluarga besar.

Dalam memilih menantu, tidak hanya kualitas seperti kesuksesan atau penampilan yang perlu dipertimbangkan, tetapi juga karakter, akhlak, dan iman.

Seorang menantu yang beriman dan berakhlak baik akan membawa keberkahan dan kebahagiaan tidak hanya bagi pasangan hidupnya, tetapi juga bagi seluruh keluarga besar.

Kehadiran menantu yang baik dan berakhlak mulia juga akan berdampak positif pada generasi berikutnya. Anak-anak yang lahir dari pernikahan dengan menantu yang memiliki nilai-nilai keagamaan dan moral yang kuat akan tumbuh menjadi pribadi yang menghormati orang tua, kakek nenek, dan menjaga keharmonisan keluarga.

Ulama dan tokoh muslim Indonesia KH Yahya Zainul Ma'arif atau Buya Yahya memberikan nasihat penting bagi para orang tua yang sedang mencari menantu untuk anak-anak mereka.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Jangan Tergiur Menantu Terlihat Kaya

Buya mengingatkan bahwa kesalahan dalam memilih menantu bisa berakibat fatal, termasuk memutus tali persaudaraan.

"Termasuk seorang tua lah ini kita cari sebab-sebab salah menikahkan anak termasuk mutus tali persaudaraan," ujar Buya Yahya seperti dikutip tayangangan video singkat di kanal YouTube @buyayahyaofficial.

Menurutnya, memilih menantu yang tidak tepat, terutama yang memiliki sifat fasik, dapat merusak hubungan keluarga dan generasi mendatang.

Buya Yahya mengutip hadits yang menyebutkan, "Man zawaja karimatuasikin," yang artinya jika seorang ayah atau saudara menikahkan anak perempuan atau adik perempuannya dengan orang fasik, maka mereka telah memutus tali persaudaraan.

"Orang fasik itu pelaku dosa besar seperti penjudi, pemabuk, pezina, atau pemakan riba," jelasnya.

Ia memperingatkan bahwa memilih menantu tidak bisa hanya berdasarkan kesuksesan duniawi semata.

"Jangan melihat kalau menantu hanya karena dia terlihat sukses usahanya, tapi tidak halal, fasik dia," kata Buya Yahya.

Kesuksesan yang tidak didasarkan pada kehalalan justru bisa membawa masalah besar.

3 dari 3 halaman

Begini Pendapat Imam Al-Ghazali

Mengutip NU Online, Imam Az-Zabidi dalam syarah Ihya-nya menjelaskan bahwa orang tua atau wali bagi anak perempuan harus memperhatikan sejumlah poin terkait calon menantu laki-lakinya.

Sejumlah poin ini penting diperhatikan sebagai ikhtiar awal dalam memberikan jalan bagi bahtera rumah tangga anak perempuannya ke depan.

قوله (ويجب على الولي أيضا) أي ولي المخطوبة (أن يراعي خصال الزوج ولينظر لكريمته) وهي المخطوبة (فلا يزوجها ممن ساء خلقه أو خلقه) الأولى بالضم والثانية بالفتح (أو ضعف دينه) أي بأن يكون متهاونا بأموره (أو قصر عن القيام بحقها) أي المرأة (أو كان لا يكافئها في نسبها)

Artinya, “(Seorang wali) wali perempuan (wajib menjaga dan memperhatikan calon suami bagi anak perempuannya) yang akan dilamar. (Jangan ia menikahkan anaknya dengan pemuda yang buruk akhlak dan fisiknya), yang pertama dengan kha dhammah dan kedua dengan kha fathah, (atau lemah agamanya), yaitu meremehkan masalah agama, (atau lalai menjalankan kewajiban terhadapnya) terhadap istrinya, (atau orang yang tidak sekufu),” (Imam Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya Ulumiddin, [Beirut, Muassastut Tarikh Al-Arabi: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 349).

Perihal memilih calon menantu laki-laki, Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengutip hadits riwayat Abu Amr At-Tawqani dari Aisyah ra dan Asma ra, “Nikah itu ikatan. Hendaklah perhatikan pada siapa kalian menempatkan anak perempuan mulia kalian.”

Imam Al-Ghazali mengingatkan orang untuk menjaga kehati-hatian dan menyeleksi benar calon menantunya tentu secara proporsional.

Jangan sampai menjatuhkan pilihan pada calon menantu yang zalim, fasik, ahli bidah, dan peminum khamar.

Yang jelas, memilih menantu laki-laki tidak hanya memperhatikan kesalehan individual, tetapi juga akhlak, integritas, dan kesalehan sosial sehingga ketika hatinya senang tidak membuatnya melewati batas, dan ketika marah tidak memperlakukan istri dan anaknya secara zalim.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul