Sukses

Kisah Awal Mula Syaikh Abdul Qadir al-Jilani Digelari Sulthonul Auliya atau Rajanya Para Wali

Gelar Sulthonul Auliya untuk Syaikh Abdul Qadir tidak asal disematkan kepadanya, ternyata ada kisah di baliknya. Berikut kisah awal mula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mendapat gelar Sulthonul Auliya.

Liputan6.com, Jakarta - Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah salah satu wali Allah. Ia lahir di Jailan pada Senin, 1 Ramadhan 470 H yang bertepatan tahun 1077 M. Tokoh sufi ini wafat di Baghdad pada 11 Rabiul Akhir 561 H/1166 M.

Nama Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sampai saat ini sering disebut dalam pengantar Al-Fatihah maupun doa tahlil. Manaqib atau risalahnya juga sering dibacakan secara khusus dalam majelis dzikir.

Syekh Abdul Qadir memiliki gelar Sulthonul Auliya atau rajanya para wali. Hingga sekarang, gelar tersebut tidak pernah lepas.

Gelar Sulthonul Auliya ini tidak asal disematkan kepadanya, ternyata ada kisah di baliknya. Berikut kisah awal mula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani mendapat gelar Sulthonul Auliya.

Kisah ini disarikan dari kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah via NU Online karya Habib Ali Hasan Baharun. Kitab ini berisi bunga rampai dari perkataan-perkataan gurunya, yaitu Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, di antaranya mengisahkan Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Berkunjung ke Wali Berpangkat Al-Ghouts

Suatu hari, Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani bersama dua temannya bernama Ibnu Saqa dan Ibnu Abi ‘Asrun mengunjungi salah seorang wali yang berpangkat Al-Ghauts. Dua teman Syaikh Abdul Qadir di masa menimba ilmunya ini dikenal dengan kecerdasan dan kepandaiannya.

Rumah wali itu jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Bisa dibilang rumahnya di daerah pelosok. Akan tetapi, jarak yang jauh tidak menghalangi keinginan mereka bertiga untuk mengunjunginya.

Di perjalanan, mereka bertiga saling bertanya terkait tujuan dan niat masing-masing mengunjungi wali Al-Ghauts. Pertanyaan dimulai dari Ibnu Abi ‘Usrun kepada Ibnu Saqa.

“Hei Saqa, kamu mau ngapain bertemu wali itu?” tanyanya.

“Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan yang begitu sulit hingga ia bingung dan tidak mampu untuk menjawabnya, ha.. ha.. Aku ini kan orang cerdas. Jadi, sudah sepatutnya menguji kedalaman ilmu seorang wali,” jawab Ibnu Saqa.

Ibnu Abi `Asrun kemudian mengutarakan maksud dan tujuannya.

“Kalau aku ingin bertanya tentang sesuatu yang aku yakin dia tidak mampu untuk menjawabnya,” katanya.

Dari jawaban mereka, Ibnu Saqa dan Ibnu Abi ‘Usrun terlihat ingin menguji wali tersebut. Namun, jawaban berbeda disampaikan Syaikh Abdul Qodir ketika ditanya oleh keduanya.

“Qodir, kamu mau mengajukan pertanyaan seperti kami atau ada hal lain?” 

“Saya tidak mau bertanya apa-apa?” jawabnya. 

Lalu mereka pun bertanya lagi. 

“Lho, terus kamu ini mau apa? Hanya mau mengikuti kami?” tanyanya lagi.

“Saya itu gak punya pertanyaan yang mau diajukan. Saya hanya ingin sowan saja dan mengharap berkah darinya. Itu saja cukup kok, karena orang seperti ini biasanya hanya disibukkan dengan kekasihnya yaitu Allah SWT,” jelas Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

3 dari 4 halaman

Wali Al-Ghauts Langsung Tahu Maksud Mereka

Setibanya di kediaman wali Al-Ghauts, ternyata maksud dan tujuan mereka bertiga sudah diketahui lebih dulu oleh sang wali. Ia menemui mereka bertiga dan bertanya.

“Siapa di antara kalian yang bernama Ibnu Saqa?” tanya wali itu.

“Saya, wahai syaikh,” jawab Ibnu Saqa. 

Tak banyak bicara, wali itu pun langsung menebak pertanyaan Ibnu Saqa dan langsung memberikan jawabannya secara detail, begitu pula dengan pertanyaan dan jawaban Ibnu Abi `Asrun. Sang wali langsung mengusir mereka berdua dari hadapannya. 

Sebelum mereka berdua beranjak dari kediamannya, wali itu mengkasyaf (membaca lewat batin) mereka berdua dengan karomahnya. 

“Hai Ibnu Saqa, dalam pandangan batinku, aku melihat ada api kekufuran yang menyala dalam tulang rusukmu. Dan kamu Ibnu Abi `Asrun, sesungguhnya aku melihat dunia berjatuhan menimpa tubuhmu.”

Sampai pada giliran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, wali Al-Ghauts hanya memandang sekujur tubuhnya, dan tak lama kemudian, ia pun berkata.

“Wahai anakku, Abdul Qadir, aku tahu tujuan kamu ke sini hanya ingin berkah dariku, dan insya Allah tujuan baikmu akan tercapai,” tuturnya.

Sebelum menyuruh pergi Abdul Qadir, ia berkata, “Aku melihat kamu berkata padaku, ‘kakiku ini berada di leher seluruh para wali di dunia ini’, sekarang pergilah anakku!”

4 dari 4 halaman

Syaikh Abdul Qadir Dapat Maqam Tertinggi

Setelah beberapa hari dari kejadian aneh itu, Ibnu Saqa dipanggil oleh raja di negerinya dan diperintahkan untuk pergi menemui ulama Nasrani agar ia berdebat dengan para ulama pentolan-pentolan Nasrani. 

Dalam perjalanan, ia bertemu dengan seorang gadis cantik keturunan Nasrani dan jatuh cinta kepadanya. Namun, hubungan cinta mereka berdua tidak direstui. Tanpa pikir panjang akhirnya dia menemui ayahnya dan menyampaikan bahwa dia sungguh mencintainya dan siap berkorban apapun. 

Akhirnya terbukti perkataan wali Al-Ghauts bahwa ada api yang menyala dalam tulang rusuknya itu benar. Ia telah menggadaikan agamanya dengan agama Nasrani. 

Sementara itu, Ibnu Abi `Asrun diberi jabatan oleh raja di negerinya untuk mengurusi harta wakaf dan sedekah. Kemudian dia sadar bahwa ini merupakan doa dari wali al-ghouts. 

Sedangkan Syaikh Abdul Qadir mendapatkan maqam tertinggi dari Allah SWT berkat sikap rendah dirinya kepada seorang wali dan beliau diangkat menjadi raja dari seluruh para wali di muka bumi. 

Pada saat mengajar muridnya, dia pun berkata seperti apa yang dikatakan wali Al-Ghauts. “Kakiku ini berada di atas lehernya seluruh para wali.” Perkataannya ini didengar oleh seluruh wali di penjuru dunia, lalu mereka berikrar “sami`na wa atha`na.”

Demikian kisah awal mula Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani digelari Sulthonul Auliya atau rajanya para wali. Kisah ini dinukil dari tulisan santri Ma'had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Hilmi Ridho di NU Online, sebagaimana termaktub dalam kitab Al-Fawaid al-Mukhtarah.

Wallahu a’lam.