Liputan6.com, Cilacap - Dalam dunia tasawuf, nama Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani atau Abdul Qadir al-Jailani begitu tersohor. Memang, beliau merupakan salah seorang sufi garda depan.
Baca Juga
Advertisement
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani juga terkenal dengan julukan Rajanya para wali yang memiliki banyak karomah. Sebagai seorang manusia biasa, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani juga merasakan pahit getirnya menapaki kehidupan fana ini.
Pun demikian juga tatkala menempuh ilmu pengetahuan. Waliyullah kelahiran kota Jilan atau Jailan ini pun kerap mendapatkan perlakuan kasar dari gurunya.
Namun kebulatan tekad dan cintanya akan pengetahuan agama, membuatnya tak menyurutkan niat. Abdul Qadir muda dengan penuh keikhlasan istiqamah terus menuntut ilmu.
Tinggal di Baghdad dalam Kondisi Memprihatinkan
Menukil hidayatuna.com, saat itu Syekh Abdul Qadir al-Jilani tinggal di Baghdad selama 20 hari dengan kondisi yang memprihatinkan. Ia tidak memiliki uang untuk makan. Lantas ia pun memutuskan pergi ke Serambi Agung Iwan Kisra, lokasi yang digunakan untuk mencari penghidupan bagi penduduk yang papa.
Di situ ia bersua dengan 70 orang saleh yang senasib dengannya. Syekh Abdul Qadir al-Jailani lantas mengurungkan niatnya untuk mengais penghidupan di sana. Di tengah perjalanan kembali, ia bersua dengan kawan sekampungnya dan diberi beberapa uang. “Titipan dari ibumu”, tutur dari kawannya yang tentu saja mengagetkan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Karena dirinya merasa tidak pernah memberitahu kondisinya ke keluarganya sejak memutuskan pergi mencari ilmu pengetahuan.
Uang itu lantas ia bagikan kepada 70 orang saleh yang ia temui tadi. Sisanya ia belikan makanan dan melahapnya bersama 70 orang saleh itu juga. Uang pemberian itu tidak tersisa sedikitpun, begitu juga makanan yang telah ia beli.
Kemudian Syekh Abdul Qadir al-Jailani membulatkan tekadnya untuk kembali ke kampung halamannya. Selain karena tidak memiliki uang, ia merasa kota Baghdad sudah runyam dengan berbagai fitnah dan laku maksiat. Ia berniat ingin menyelamatkan agama dari hal-hal yang dapat merusaknya.
Saat hendak menjejakkan kaki keluar pintu gerbang, ia didorong sampai tubuhnya terhempas kembali memasuki kota Baghdad. Hal itu terjadi berkali-kali. Sampai akhirnya ia menyerah lantas terdengar suara, “Manusia akan memperoleh manfaat dari keberadaanmu di sini”.
Advertisement
Diperlakukan Kasar Oleh Gurunya
Suara itu membuatnya bingung. Berhari-hari ia menyusuri perkampungan di Kota Baghdad sampai ada suara yang mirip menyapanya untuk datang ke rumahnya. Ternyata pemilik rumah itu dikenal oleh warga dan para muridnya sebagai Syekh Hammad al-Dabbas.
Akhirnya ia memutuskan untuk berguru padanya. Namun tidak seperti murid lainnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani justru kerap diperlakukan dan peroleh kata kasar dari gurunya. Namun ia tetap pada pendiriannya untuk mengail ilmu dan hikmah dari Syekh Hammad al-Dabbas, terlepas dari perlakuan yang diterimanya.
Namun saat murid dan warga sekitar turut berlaku dan berkata kasar pada Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Syekh Hammad al-Dabbas malah membelanya dengan memarahi balik. “Aku menyakitinya semata-mata demi menguji dirinya supaya kelak, dia menjadi gunung yang tak bisa digoyahkan. Demi Allah, tidak ada seorang pun diantara kalian yang derajat spiritualnya setara dengannya”, tutur Syekh Hammad al-Dabbas.
Cerita ini memberi banyak pelajaran pada kita. Bahwa setiap guru yang memiliki keluasan ilmu dan kelapangan rohani, dapat membedakan kapasitas ujian untuk murid-muridnya. Bisa jadi, murid yang kerap diberi pekerjaan dan tanggung jawab berat, menjadi wujud kasih guru kepada masa depan muridnya.
Di sisi lain, perlakuan semacam itu menjadi pelecut bagi Syekh Abdul Qadir al-Jailani untuk terus takdim pada gurunya. Laku yang saya rasa sudah jarang sekali ditemukan pada masyarakat kita ketika hendak maupun sedang mencari ilmu.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Simak Video Pilihan Ini:
Advertisement