Sukses

Istri Kerja Suami Nganggur, Bagaimana Hukum Wanita Menafkahi Suaminya?

Apakah boleh istri menafkahi suaminya? Jika boleh bagaimana syaratnya?

Liputan6.com, Jakarta - Sering kita jumpai wanita menafkahi suaminya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam situasi di mana istri kerja, sementara suami pengangguran.

Fenomena ini tidak jarang terjadi di masyarakat modern, di mana perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki dalam hal pekerjaan dan penghasilan.

Banyak wanita yang memiliki karier sukses dan penghasilan yang cukup besar, sehingga mereka mampu mendukung ekonomi keluarga, termasuk menafkahi suami mereka.

Situasi ini menunjukkan perubahan peran gender dalam rumah tangga yang lebih fleksibel dan dinamis.

Wanita yang menafkahi suaminya sering kali melakukannya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan finansial keluarga, tetapi juga mendukung suami mereka secara emosional dan mental.

Hal ini penting untuk menciptakan keseimbangan dalam rumah tangga, di mana peran suami dan istri saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.

Tidak jarang wanita karier yang berada dalam posisi ini menghadapi tekanan sosial dan stigma dari masyarakat yang masih memegang teguh pandangan tradisional tentang peran gender.

Bagaimana Islam memandang fenomena ini?

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Islam Mengangkat Derajat Wanita

Mengutip Bincangsyariah.com, sudah menjadi tuntutan jika suami harus berusaha sekuat tenaga dalam mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya. Meskipun jalan yang dilalui mengalami hambatan.

Selama yang diusahakan itu halal maka dengan kondisi apapun tetap diusahakan, jika tidak maka suami akan balasan dari Allah.

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS An-Nisa’: 34)

Rasulullah SAW telah mengistimewakan wanita saat beliau menyampaikan pesan agung pada waktu haji wada’. Substansinya, memenuhi hak-hak wanita, mencurahkan kebaikan kepadanya serta memperbalukannya dengan baik dalam pergaulan.

Hal ini yang patut disyukuri oleh wanita muslim karena Islam telah mengangkat derajat wanita. Rasulullah bersabda:

فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ

“Bertakwalah kalian dalam (memperlakukan) terhadap wanita”. (HR Muslim)

Dalam Shahihain, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda:

فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ

“Hendaklah kalian memperhatikan kaum wanita dengan baik.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

 

3 dari 3 halaman

Beberapa Pendapat Mazhab Ulama

Seorang wanita harus memahami bahwa dalam ajaran Islam, ia bakal hidup dalam kemuliaan lagi berharga, penuh perlindungan dan memperoleh hak-haknya sebagaimana telah ditetapkan Allah baginya. Kondisi ini berbeda dengan wanita pada masa Jahiliyah.

Nafkah dalam hal ini terbagi dalam dua. Pertama, nafkah lahir yang berupa pakaian, makan, dan tempat tinggal. Kadar atau besarannya sesuai kesepakatan mereka atau sepantas kemampuan suami. Kedua, nafkah batin, yaitu berupa pemenuhan kebutuhan biologis.

Menurut fuqaha Syafi’iyah dan Hanabilah, jika suami sama sekali tidak mampu memberi nafkah, maka istri boleh melakukan fasakh (menuntut pembatalan nikah) atau menggugat cerai ke pengadilan agama.

Hal ini berdasarkan pada sabda Rasulullah SAW kepada seseorang yang tidak mampu memberi nafkah pada istrinya: “ceraikan mereka,” (HR ad-Daruquthni dan al-Baihaqi dari Abu Hurairah RA).

Tetapi menurut fuqaha Hanafiyah, suami istri tersebut tidak boleh dipisahkan, melainkan nafkah itu menjadi utang suami pada istri yang suatu saat wajib dikembalikan jika suami sudah ada kemampuan. Malah menurut fuqaha Malikiyah, suami yang benar-benar tidak mampu memberi nafkah pada istrinya maka kewajiban nafkah itu guru dari suami.

Jumhur fuqaha (mayoritas ulama ahli fikih) berpendapat bahwa dalam keadaan suami tidak mampu memberi nafkah sebagaimana tersebut di atas, maka nafkah keluarga menjadi utang suami, yang pada saat ada kemampuan wajib dikembalikan.

Bagaimana jika suami yang semula bisa memberi nafkah, kemudian mengidap penyakit yang lama atau di PHK dari tempat kerja. Tidak punya penghasilan sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga? Bolehkah istri membantu suami untuk mencukupi kebutuhan keluarga dengan cara bekerja?

Syekh Yusuf al-Qaradhawi mengatakan wanita (istri) boleh membantu perekonomian keluarga atau bekerja bahkan bisa menjadi sunnah atau wajib apabila wanita tersebut telah menjadi janda dan tidak ada yang bisa menanggung kebutuhan ekonomi dirinya.

Meskipun wanita yang bekerja dan menafkahi suami diperbolehkan, akan tetapi tetap ada beberapa syarat yang wajib untuk dipenuhi seperti tidak boleh melanggar syariat Islam.

Contohnya, bekerja pada bar yang menjual minuman keras, melayani lelaki lajang atau pekerjaan yang mewajibkan dirinya untuk berhubungan dengan laki-laki lain.

Istri yang akan bekerja dan mencari nafkah juga harus mendapatkan izin suami. Istri juga harus berpakaian syar’i yakni menutup auratnya, berpakaian tebal dan tidak transparan, longgar dan tidak ketat serta tidak bewarna mencolok sekaligus tidak menggunakan wewangian.

Hukum istri menafkahi suami diperbolehkan. Sehingga bisa dilakukan para istri untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan membantu suami dalam segi ekonomi asalkan tidak meninggalkan kewajiban sebagai istri dan ibu. Wallahu ‘alam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul