Sukses

Perempuan Berangkat Kerja Tanpa Diantar Mahram, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Hukum dan syarat yang harus dipenuhi bagi seorang perempuan yang hendak bepergian tanpa mahram termasuk untuk bekerja.

Liputan6.com, Jakarta - Saat ini bekerja nampaknya bukan hanya kewajiban bagi kaum pria. Setiap hari hilir-mudik banyak perempuan muslim yang juga bekerja dari pagi hingga petang.

Ada beragam transportasi umum yang digunakan. Bahkan banyak juga yang mengemudi mobil atau motor sendirian menuju kantor. 

Namun, ada sebagian orang yang merasa bahwa praktik bepergian semacam ini tidak benar menurut agama. Sebagaimana merujuk pada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Janganlah seorang wanita bepergian sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya.” (HR. Tirmidzi).

Lantas, bolekah seorang wanita bepergian untuk bekerja tanpa diantar oleh mahram? Apakah hal ini diperbolehkan dalam syariat? Berikut penjelasannya mengutip dari laman bincangsyariah.com.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Hukum Perempuan Bepergian Tanpa Mahram

Syekh Ali Jum’ah dalam fatwa yang diterbitkan tanggal 30 Juni 2009 mengatakan;

يجوز للمرأة أن تسافر بدون مَحرَم بشرط اطمئنانها على الأمان في سفرها وإقامتها وعودتها، وعدم تعرضها لمضايقات في شخصها أو دِينها.

“Seorang wanita boleh bepergian tanpa mahram asalkan dia dijamin akan keamanan dalam perjalanan, tempat tinggal dan kepulangannya, dan bahwa dia tidak mengalami pelecehan dalam pribadi atau agamanya.”

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perempuan berangkat kerja sendiri tanpa diantar mahram adalah perkara yang diperbolehkan. Dengan syarat perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan yang aman, pulang dan pergi, serta diyakini tidak ada yang akan melecehkan harga diri maupun agamanya. 

Fatwa Syekh Ali Jum’ah ini bukan tanpa dasar. Beliau mendasarkan pada sebuah hadis,

فقد ورد عنه صلى الله عليه وآله وسلم فيما رواه البخاري وغيره عن عَدِيّ بن حاتم رضي الله عنه أنه قال له: «فَإنْ طَالَتْ بِكَ حَياةٌ لَتَرَيَنَّ الظَّعِينةَ؛ أي: المسافرة تَرتَحِلُ مِنَ الحِيرةِ حَتَّى تَطُوفَ بالكَعْبَةِ لَا تَخافُ أَحَدًا إلَّا اللهَ»، وفي رواية الإمام أحمد: «فَوَالَّذِي نَفْسِي بيَدِه لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا اْلأَمْرَ حَتَّى تَخرُجَ الظَّعِينةُ مِن الحِيرةِ حَتَّى تَطُوفَ بالبَيتِ فِي غَيرِ جِوارِ أَحَدٍ».

Al-Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan dari Adi ibn Hatim, Rasulullah SAW berkata kepadanya: “Jika kamu berumur panjang, kamu akan menyaksikan Zhaina, yaitu, perempuan yang musafir melakukan perjalanan dari daerah Hirah sampai dia bertawaf di Ka’bah, dia tidak takut pada siapa pun selain Allah.”

 

3 dari 3 halaman

Syarat Perempuan Bepergian Tanpa Mahram

Dalam riwayat Imam Ahmad, “Demi Allah yang jiwaku dalam genggam-Nya, niscaya Allah akan menyempurnakan agama ini sampai seorang perempuan bepergian dari Zhainah sampai bisa bertawaf di Baitullah tanpa ditemani seorang pun di sampingnya.”

Syekh Ali Jum’ah memahami bahwa hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak mencela perempuan yang bepergian sendirian tanpa mahram. Yaitu ketika perjalanan itu adalah perjalanan yang aman bagi perempuan.

Dengan demikian, larangan atau kebolehan melakukan bepergian bagi perempuan sebagaimana disebut dalam hadis tergolong larangan yang memiliki alasan hukum yang rasional (‘illat). Jika alasan hukum itu ada, maka hukum larangan itu juga ada. Sebaliknya, jika ‘illat yang menjadi alasan pelarangan itu tidak ada, maka larangan itu tidak berlaku dengan sendirinya.

Karena itu, tidak heran jika para ulama mazhab Maliki dan Syafi’i menyatakan boleh seorang perempuan bepergian tanpa mahram ketika mereka bersama perempuan-perempuan yang bisa dipercaya dan hal itu berlaku dalam haji yang wajib.

Dasar para ulama di atas adalah sebuah hadis yang menyebutkan bahwa para Ummahatul Mukminin pernah pergi haji, setelah Rasulullah SAW wafat, pada masa pemerintah Umar bin Khattab. Umar mengutus Usman bin Affan untuk menjaga mereka.

Syekh Ali Jumah mengatakan, Kami juga melihat bahwa kaum Maliki dan Syafa’i mengizinkan wanita untuk bepergian tanpa mahram jika mereka bersama wanita yang dapat dipercaya atau sahabat yang aman, dan itu terjadi selama haji wajib, dan mereka menyimpulkan bahwa Ummahatul Mukminin keluar setelah wafatnya Rasulullah SAW untuk haji pada masa pemerintahan Umar, dan Utsman bin Affan yang diutus bersama mereka untuk melindungi mereka.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Syekh Ali Jum’ah, perempuan bepergian tanpa mahram dalam kondisi yang diyakini aman adalah boleh. Berangkat dari keterangan ini, kita bisa melihat bahwa Muslimah yang berangkat kerja sendiri tanpa diantar mahram adalah perkara yang diperbolehkan dalam agama. Rasulullah SAW tidak mencela dan para sahabat telah mempraktikkan hal tersebut, sebagaimana disebutkan dalam riwayat di atas.