Sukses

Sholat Berjamaah di Shaf Sempit, Bolehkah Tidak Duduk Tawarruk?

Duduk tawarruk termasuk sunnah dalam sholat. Namun perlu diperhatikan beberapa kondisi, terlebih jika dapat mengganggu jamaah di sebelah ketika sholat berjamaah. Sebab, hal ini justru diharamkan dalam islam.

Liputan6.com, Jakarta - Melaksanakan sholat fardhu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Sholat dikerjakan pada waktu tertentu dengan rukun dan ketentuan yang telah diatur oleh syariat.

Sholat dapat dilaksanakan secara sendiri maupun berjamaah. Biasanya untuk sholat berjamaah dapat dilaksanakan di tempat ibadah seperti mushola atau masjid.

Sholat berjamaah juga memiliki keutamaan yang lebih besar dalam Islam. Sebagaimana diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Sholat berjamaah itu lebih utama daripada sholat sendiri sebanyak 27 derajat." (HR. Bukhari)

Namun, terkadang dalam sholat berjamaah, kondisi shaf sangatlah sempit. Sehingga ketika duduk tawarruk pada tasyahud akhir merasa kesulitan untuk duduk dengan sempurna dan khawatir akan mendesak orang di sebelah.

Lantas dalam keadaan tersebut, apakah boleh seseorang tidak duduk tawarruk sebab kondisi shaf sempit? Berikut penjelasannya merangkum dari laman konsultasisyariah.com.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Anjuran Duduk Tawarruk dalam Sholat

Disyariatkan duduk tawarruk di dalam sholat yaitu cara duduk dengan menempatkan bokong di lantai, lalu kaki kiri dikeluarkan pada sisi kanan dan telapak kaki kanan ditegakkan. 

Dalam hadis Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu’anhu beliau berkata:

فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته

“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.” (HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226).

Dalam riwayat lain:

حتَّى إذا كانتِ الرَّكعةُ التي تنقضي فيها الصَّلاةُ، أخَّرَ رِجْلَه اليُسرى، وقعَد على شِقِّه متورِّكًا ثم سلَّمَ

“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam jika sudah sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki kirinya dan duduk langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam.” (HR. Abu Daud no. 730, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud).

3 dari 3 halaman

Hukum Tidak Melakukan Duduk Tawarruk

Pendapat yang rajih (kuat), tempat duduk tawarruk adalah pada tasyahud akhir dalam sholat yang terdapat dua tasyahud, seperti sholat Zuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya.

Hukum duduk tawarruk pada tempat tersebut adalah mustahab (sunnah), tidak sampai wajib. Oleh karena itu, jika duduk tawarruk bisa mengganggu orang yang sholat di sebelahnya yang tepat adalah meninggalkan duduk tawarruk. Karena mengganggu orang hukumnya haram. Tidak boleh melakukan yang mustahab namun di saat yang bersamaan terjatuh pada yang haram.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya, “Bolehkah tidak duduk tawarruk (dalam sholat) jika bisa mengganggu orang di sebelah kita (ketika shaf sangat rapat)?”. Beliau menjawab:

“Meninggalkan sesuatu yang hukumnya sunnah jika bisa mengganggu orang lain, itu lebih baik daripada mengamalkan sunnah tapi mengganggu orang lain. Orang yang duduk tawarruk ini jika ia melakukan duduk tawarruk bisa menganggu orang di sebelahnya, maka hendaknya jangan duduk tawarruk.” (Liqa Baabil Maftuh, 2/38).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah juga mengatakan:

“Jika memang ada kebutuhan untuk mengumpulkan kaki ketika duduk, sehingga tidak duduk tawarruk, maka boleh saja untuk tidak duduk tawarruk. Duduk tawarruk itu sunnah, dianjurkan pada tasyahud akhir. Maka jika dengan duduk tawarruk akan mengganggu saudaranya yang ada di sebelahnya, maka jangan duduk tawarruk. Hendaknya ia duduk di atas kaki kirinya (duduk iftirasy) seperti duduk di antara dua sujud dan duduk tasyahud awal. Karena mengganggu saudara Muslim itu hukumnya haram. Maka perkara yang mustahab tidak membolehkan perkara yang haram. Hendaknya meninggalkan perkara yang mustahab untuk menghindarkan diri dari yang haram” (Fatawa Nurun ‘alad Darbi, rekaman no.443 pertanyaan ke-17).

Wallahu a’lam, semoga Allah ta’ala memberi taufik.