Sukses

Kenapa Orang Sholeh Mesti Kaya? Ini Penjelasan Mengejutkan Gus Baha

Pentinya orang sholeh memiliki harta benda diungkap Gus Baha dlaam sebuah kesempatan ceramahnya.

Liputan6.com, Cilacap - Ulama kondang asal Rembang yang lekat dengan kopiah hitam dan kemeja putih, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menegaskan pentingnya ulama, kiai, orang sholeh untuk memiliki harta benda atau kaya.

Pendapat bahwa orang sholeh penting kaya ini bukannya tanpa alasan yang kuat. Menurutnya, jika harta benda dikuasai oleh orang-orang yang sholeh, secara otomatis akan digunakan untuk kebaikan dan kemaslahatan umat.

Sementara, jika harta benda dikuasai oleh orang-orang yang jahat, kata santri Mbah Moen ini, tentu saja akan diperuntukan untuk hal-hal yang buruk dan merugikan.

Pentingnya harta benda dikuasai oleh orang-orang yang sholeh seperti ulama, kiai dan lain sebaginya, disampaikannya dalam sebuah kesempatan ceramahnya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Pentingnya Harta Dikuasai Orang Sholeh

Gus Baha mengatakan pentingnya harta dikuasai oleh orang-orang sholeh. Sebab jika dikuasai oleh orang-orag dzalim, maka harta tersebut akan menjadi masalah besar.

Oleh sebab itu, agar dampak negatif ini tidak terjadi, maka tidak ada pilihan lain yakni harta benda harus dikuasai oleh orang-orang sholeh.

“Kalau pakai logika fikih, harta itu fitnah. Oke, seakan-akan harta itu masalah. Tapi kalau ini (harta) dimiliki orang dzalim, maka akan menjadi masalah besar. Sehingga orang saleh juga harus menguasai harta,” terangnya saat menjadi narasumber dalam Haul Majemuk Masyayikh dan Keluarga Besar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, sebagaimana dinukil dari NU Online, Rabu (10/07/2024).

3 dari 4 halaman

Kisah Ulama yang Kaya

Menurutnya, Imam Syafi’i, walaupun hidupnya sangat sederhana dan mengagumi orang miskin, tapi tetap menginginkan orang saleh menguasai harta. Hal ini seperti kisah ketika Imam Syafi’i bertanya kepada gurunya, Imam Malik, tentang orang yang alim selain dia.

“Jawaban Imam Malik lucu. ‘Dulu Imam Abu Hanifah, tapi sekarang orangnya sudah meninggal, ilmunya diwariskan kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban’, begitu jawaban Imam Malik,” terang Gus Baha. Imam Malik adalah sosok yang alim tapi juga kaya raya.

Ia terbiasa dengan pakaian mewah, surban menjuntai, kendaraan yang berganti-ganti dari jenis kuda dan unta mahal, serta asesoris duniawi lainnya. Bahkan saat hari wafatnya, Imam Malik meninggalkan harta yang cukup banyak, seperti karpet, bantal berisi bulu, dan lainnya yang ketika itu terjual dengan harga lima ratus dinar. “Jadi Imam Malik itu kaya, dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban juga kaya, tapi juga alim. Itu diakui sendiri oleh Imam Malik,” ucap Gus Baha.

 

4 dari 4 halaman

Imam Syafi'i Menjumpai Ulama yang Kaya Raya

Akhirnya, lanjut Gus Baha, Imam Syafi’i dibiayai oleh Imam Malik untuk pergi ke Irak guna menemui Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban. Begitu tiba di kediaman dia, Imam Syafi’i kaget karena si tuan rumah juga sangat kaya, bahkan saat itu ia tengah sibuk menata uang dan emas di ruang tamunya.

Dalam hati Imam Syafi’i sempat timbul tudingan bahwa Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban adalah materialistis dan keduniawian. Melihat Imam Syafi’i seperti aneh saat menyaksikan hartanya begitu banyak, Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban langung berucap:

“Anda kagum ini, anda kaget ini. Kalau kamu menyoal orang saleh kaya, ini (harta) saya kasihkan kepada orang-orang fasik biar dipakai judi, selingkuh, maksiat, dan sebagainya,” kata Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban.

Lalu Imam Syafi’i menjawab: “Jangan, jangan, harta ini harus tetap di tangan orang saleh. Kalau jatuh ke tangan orang fasik, bahaya.” Dialog antara Imam Syafi’i dengan Muhammad bin Hasan Asy-Syaiban ini mengisyaratkan bahwa orang alim, orang saleh boleh bahkan harus menguasai harta.

Karena jika harta dikuasai orang fasik makan akan menimbulkan mudarat dan maksiat. “Berarti kiai boleh kaya, dan sejak saat itu ada gerakan kiai kudu sugih (harus kaya). Cuma ada yang kesampaian, ada yang tidak (kesampaian),” terang Gus Baha. Kebolehan bahkan keharusan orang alim kaya, juga diqiyaskan kepada kekuasaan. Maka paradigmanya sama, yakni kekuasaan harus dipegang orang-orang saleh. Sebab jika kekuasaan jatuh ke tangan orang fasik, bisa menimbulkan bahaya. “Maka banyaklah kiai menjadi bupati, dan sebagainya,” pungkasnya.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.