Liputan6.com, Cilacap - Kiamat merupakan peristiwa kehancuran alam semesta yang perihal waktunya hingga kini masih menjadi rahasia. Para nabi dan malaikat Allah saja tidak mengetahui kepastian waktu terjadinya kiamat.
Adapun kepastian datangnya hari kiamat, hanya Allah SWT saja yang tahu. Firman Allah:
يَسْـَٔلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِۗ قُلْ اِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللّٰهِ ۗوَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُوْنُ قَرِيْبًا
Artinya: "Orang-orang bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang hari Kiamat. Katakanlah bahwa pengetahuan tentang hal itu hanya ada di sisi Allah." Tahukah engkau, boleh jadi hari Kiamat itu sudah dekat." (QS. Al-Ahzab : 63)
Advertisement
Baca Juga
Peristiwa kiamat digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai peristiwa dahsyat dan mengerikan. Namun, bagi golongan manusia ini kiamat bukan sesuatu yang menakutkan, sebaliknya peristiwa itu merupakan hari raya yang menyenangkan layaknya.
Hal ini sebagaimana diterangkan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dalam kitabnya yang berjudul Jala’ Al-Khathir. Lantas siapa golongan manusia yang menganggap hari kiamat ini sebagai hari raya yang menyenangkan? Simak ulasannya berikut ini.
Simak Video Pilihan Ini:
Ini Golongan yang Tak Takut dengan Kiamat
Menukil lama Islami Liputan6.com, meskipun mengerikan, bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa hari ini bukan hari yang manakutkan. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengingatkan bahwa karena keniscayaan terjadinya, maka kiamat ini harus selalu ada dalam hati dan pikiran setiap orang.
"Buatlah hari kiamat tersebut terjadi di dalam dirimu, sebelum benar-benar terjadi," tulis Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dalam Kitab Jala’ Al-Khathir.
Syaikh Abdul Qadir, berpendapat bahwa bagi sebagian kaum hari kiamat ini merupakan hari kebangkitan kebahagiaan sekaligus juga hari mengerikan sebagian yang lain.
Hari ini juga menjadi hari raya bagi sebagian kaum dan menjadi hari penyesalan bagian sebagian yang lainnya.
Menurutnya di hari itu nyata tampak seluruh amalan-amalan mereka dan cahaya pada wajah-wajah mereka. Salah satu golongan orang yang beruntung di hari kiamat menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di antaranya ialah para syuhada.
Menurut beliau, ruh para syuhada dan orang-orang yang beriman ini berada di dalam sangkar burung-burung hijau yang berkicau di surga dan terbang menuju ke sorot lampu di bawah arsy, kemudian dia akan datang menemui jasadnya lagi ketika peniupan ruh yang kedua ke bumi untuk klarifikasi dan penghitungan amal pada hari kiamat.
Advertisement
Sekilas Tentang Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Menukil Republika.co.id, nama lengkapnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani ialah Sayyid Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih Musa Zangi Dausat al-Jailani.
Ia lahir di Desa Nif atau Naif, termasuk wilayah distrik Jailan. Daerah itu disebut juga dengan Jilan, Kailan, Kilan, atau al-Jil. Lokasinya masih dalam area budaya Kurdistan, persisnya sekitar 150 kilometer sebelah timur laut Baghdad, Irak.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani pertama kalinya menghirup udara dunia pada waktu fajar, Senin, 1 Ramadhan 470 H, bertepatan dengan tahun 1077 M. Ia wafat di Baghdad pada Sabtu, 11 Rabiuts-Tsani 561 H/1166 M.
Kebanyakan manakib (biografi) tokoh sufi ini penuh dengan fiksi, tanpa mendasarkan pada fakta-fakta sejarah. Padahal, ulama ini merupakan tokoh sejarah yang cukup besar dalam wacana pemikiran Islam, terutama sejarah tasawuf. Sehingga, para ulama banyak mengungkapkan bahwa Syekh Abdul Qadir merupakan mujtahid abad ke-14.
Menurut Walter Braune dalam bukunya, Die 'Futuh al-Ghaib' des Abdul Qodir (Berlin & Leipzig, 1933), ia adalah wali yang paling terkenal di dunia Islam. Sedangkan, penulis Muslim Jerman, Mehmed Ali Aini (Un Grand Saint del Islam: Abd al-Kadir Guilani, Paris, 1967), menyebut al-Jailani sebagai orang suci terbesar di dunia Islam.
Ia lahir sebagai anak yatim (di mana ayahnya telah wafat sewaktu beliau masih dalam kandungan enam bulan) di tengah keluarga yang hidup sederhana dan saleh. Ayahnya, al-Imam Sayyid Abi Shalih Musa Zangi Dausat, adalah ulama fuqaha ternama, Mazhab Hambali, dan garis silsilahnya berujung pada Hasan bin Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah SAW.
Sedangkan, ibunya adalah Ummul Khair Fathimah, putri Sayyid Abdullah Sauma'i, seorang sufi terkemuka waktu itu. Dari jalur ini, silsilahnya akan sampai pada Husain bin Ali bin Abi Thalib. Jika silsilah ini diteruskan, akan sampai kepada Nabi Ibrahim melalui kakek Nabi SAW, Abdul Muthalib. Ia termasuk keturunan Rasulullah dari jalur Siti Fatimah binti Muhammad SAW. Karena itu, ia diberi gelar pula dengan nama Sayyid.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul