Liputan6.com, Cilacap - Wudhu wajib dilaksanakan tatkala kita akan melaksanakan sholat, sementara kita sedang dalam keadaan hadats kecil.
Dengan kata lain, jika dalam kondidi hadas kecil, sementara kita tidak berwudlu terlebih dahulu, maka sholatnya kita tidak sah.
Advertisement
Baca Juga
Ada beberapa hal yang dapat membatalkan wudhu, seperti keluar sesuatu dari qubul dan dubur, hilang akal seperti tidur, gila, mabuk dan pingsan, bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang telah baligh dan bukan mahram dan menyentuh kemaluan dengan bagian dalam telapak tangan.
Namun, ada pendapat selain hal-hal yang telah disebutkan di atas bahwa memakan daging unta dapat membatalkan wudlu, benarkah demikian? Simak ulasan selengkapnya berikut ini.
Simak Video Pilihan Ini:
Hadis yang Menerangkan Perihal Makan Daging Unta Bisa Membatalkan Wudlu
Menukil NU Online, pertanyaan ini berangkat dari dua hal:
1. Ada hadis sahih tercantum di kitab sahih muslim yang menerangkan hal tersebut (makan daging unta bisa membatalkan wudhu), dan
2. Penjelasan mengenai hal ini banyak disajikan oleh kelompok sebelah (wahabi) yang membuat salah paham, tanpa menjelaskan perbedaan ulama dan mana pendapat ulama yang lebih kuat.
Inti dari beberapa jawaban mengerucut pada kesimpulan: ketika seseorang [yang memiliki wudhu] memakan daging unta maka wudhu'nya batal. Apakah benar demikian?
Hadis yang dijadikan pijakan adalah hadis yang tercantum dalam kitab sahih muslim, sebagai berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ »
Artinya: Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Samuroh bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah SAW dengan pertanyaan: apakah saya harus berwudhu [kembali] karena [memakan] daging kambing?, beliau menjawab: jika kamu mau, maka berwudhu’lah, jika tidak mau, tidak perlu berwudhu’, sahabat bertanya kembali: apakah saya harus berwudhu’ [kembali] karena [memakan] daging unta?, beliau menjawab: iya, wudhu’lah [kembali] karena [memakan] daging unta (Shahih Muslim, Hal. 189, J. 1)
Advertisement
Penjelasan Ulama
Secara derajat kesahihan, hadis ini shahih karena bersumber dari sahih muslim. Lantas apakah hanya berhenti di sini, tanpa membaca komentar/penilaian dari ulama hadis dan para ulama fiqih terhadap hadis tersebut?
Tentu tidak, kita harus melihat bagaimana komentar atau penilaian ulama akan hadis tersebut, baik dari kalangan ulama hadis dan para ulama fiqih. Perihal penilaian para ulama akan hadis di atas, Imam an-Nawawi dalam kitab syarah hadisnya menjelaskan bahwa hal ini masih terdapat perbedaan pendapat, sebagai berikut:
ﻓﺎﺧﺘﻠﻒ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻓﻲ ﺃﻛﻞ ﻟﺤﻮﻡ اﻟﺠﺰﻭﺭ ﻭﺫﻫﺐ اﻻﻛﺜﺮﻭﻥ ﺇﻟﻰ ﺃﻧﻪ ﻻﻳﻨﻘﺾ اﻟﻮﺿﻮء ﻣﻤﻦ ﺫﻫﺐ ﺇﻟﻴﻪ اﻟﺨﻠﻔﺎء اﻷﺭﺑﻌﺔ اﻟﺮاﺷﺪﻭﻥ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻋﻠﻲ ﻭﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ ﻭاﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ ﻭﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻭﺃﺑﻮ اﻟﺪﺭﺩاء ﻭﺃﺑﻮ ﻃﻠﺤﺔ ﻭﻋﺎﻣﺮ ﺑﻦ ﺭﺑﻴﻌﺔ ﻭﺃﺑﻮ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﻭﺟﻤﺎﻫﻴﺮ اﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭاﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﺻﺤﺎﺑﻬﻢ ﻭﺫﻫﺐ ﺇﻟﻰ اﻧﺘﻘﺎﺽ اﻟﻮﺿﻮء ﺑﻪ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﺑﻦ ﺭاﻫﻮﻳﻪ ﻭﻳﺤﻴﻰ ﺑﻦ ﻳﺤﻴﻰ ﻭﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﺑﻦ اﻟﻤﻨﺬﺭ ﻭﺑﻦ ﺧﺰﻳﻤﺔ ﻭاﺧﺘﺎﺭﻩ اﻟﺤﺎﻓﻆ ﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ اﻟﺒﻴﻬﻘﻲ
Artinya: Ulama berbeda pendapat perihal memakan daging unta, mayoritas ulama berpendapat bahwa memakan daging unta tidak membatalkan wudhu', ini pendapat para 4 khalifah, ibnu mas'ud, abi bin ka'ab, ibnu abbas, abu darda' - jumhur tabi'in dan 3 imam madzhab (Maliki, Hanafi dan Syafi'i) sedangkan imam Ahmad bin hambal (madzhab hambali), ishaq bin rahiwaih, yahya bin yahya didukung oleh al-hafidz abu bakar al-baihaqi mengatakan sebaliknya (Syarhu an-Nawawi 'ala al-Muslim, Hal. 48, J. 4)
Imam Juwaini mengatakan bahwa ini terjadi perbedaan pendapat di antara qoul qadim dan qoul jadid Imam Syafi’i: qoul jadid menyatakan bahwa memakan daging unta tidak membatalkan wudhu’ sedangkan qoul qadim sebaliknya.
ﺃﻛﻞ ﻟﺤﻢ اﻟﺠﺰﻭﺭ ﻣﻤﺎ ﻭﺭﺩ اﻷﻣﺮ ﻓﻴﻪ ﺑﺎﻟﻮﺿﻮء، ﻭالمنصوص ﻋﻠﻴﻪ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻲ ﻓﻲ اﻟﺠﺪﻳﺪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻮﺟﺐ اﻟﻮﺿﻮء، ﻭﻣﺬﻫﺐ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺃﻧﻪ ﻳﻮﺟﺐ اﻟﻮﺿﻮء، ﻭﻗﻴﻞ: ﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻗﺪﻳﻢ ﻟﻠﺸﺎﻓﻌﻲ
Artinya: setelah memakan daging unta diperintah untuk berwudhu’ dan hal itu manshus (berdasarkan hadis). Bagi Imam Syafi’i dalam qoul jadid bahwa memakan daging unta tidak mewajibkan untuk berwudhu, sedangkan madzhab Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa memakan daging unta mewajibkan untuk berwudhu, qila (katanya) ini termasuk qoul qadim Imam Syafi’i”. (Nihayatu al-Mathlab, Hal. 136, J. 1)
Sedangkan ulama Fiqh yang lain memberikan sebuah kesimpulan bahwa makan bukan termasuk hal yang membatalkan wudhu', baik itu makan daging unta atau yang lainnya. Sedangkan hadist yang mewajibkan berwudhu setelah makan daging unta diarahkan kepada kesunnahan untuk berwudhu kembali (tajdidul wudlu) bukan sebuah kewajiban (Asna al-Mathalib... Hal. 55, J. 1)
Imam Bujairimi juga menguatkan pendapat di atas dengan pernyataan: pendapat yang kuat adalah pendapat yang menyatakan bahwa memakan daging unta tidak membatalkan wudhu dengan salah satu alasan, pendapat tersebut disepakati oleh 4 khulafa ar-rasyidin. (Tuhfatu al-Habib.... Hal. 200-201, J. 1)
Alasan Dianjurkan Wudhu Setelah Makan Daging Unta
Sedangkan para ashabu as-Syafi’i (murid Imam Syafi’i) memaknai hadis Jabir bin Bara’ di atas (makan daging unta membatalkan wudhu’) dengan anjuran membasuh tangan dan berkumur-kumur. Mereka juga mengatakan: perbedaan daging unta dengan daging yang lain terletak pada lebih menyengatnya bau keringat setelah makan daging unta dan dilarang menyisakan lemak unta di tangan dan di mulut karena khawatir mengundang kalajengking dan sejenisnya. (Al-majmu' Syarh al-Muhaddzab, Hal. 59, J. 2)
Kesimpulan dari tulisan ini perihal “memakan daging unta bisa membatalkan wudhu atau tidak”, ulama masih berbeda pendapat, namun pendapat mayoritas ulama, khususnya madzhab syafi’i, mengatakan bahwa memakan daging unta tidak membatalkan wudhu dengan penjelasan yang telah di paparkan di atas. Membasuh tangan dan berkumur-kumur serta anjuran berwudhu’ kembali (tajdidul wudlu’) setelah makan daging unta menjadi salah satu cara untuk keluar dari perbedaan pendapat para ulama sesuai kaidah fikih:
القاعدة الثانية عشرة الخروج من الخلاف مستحب
Artinya: Qaidah yang ke-12: keluar dari perbedaan pendapat adalah disunnahkan. (al-Asybah wa an-Nadloir li as-Suyuthi, Hal.136)
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement