Sukses

Saking Cintanya, Bolehkah Pajang Foto Orang yang Sudah Meninggal di Rumah?

Apa kata ulama tentang hukum memajang foto orang yang telah meninggal?

Liputan6.com, Jakarta - Memajang foto orang yang dicintai, terutama yang telah meninggal, di dinding rumah merupakan kebiasaan yang umum di kalangan masyarakat Indonesia.

Tindakan ini sering kali dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan kenangan terhadap sosok yang telah tiada. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana pandangan agama Islam terhadap praktik tersebut.

Dalam pandangan agama, terdapat berbagai pendapat ulama mengenai hukum memajang foto orang yang sudah meninggal.

Sebagian ulama berpendapat bahwa memajang foto di rumah diperbolehkan selama tidak dijadikan sebagai objek pemujaan atau berlebihan.

Mereka menekankan pentingnya niat dan tujuan di balik tindakan tersebut, yaitu sebagai kenangan semata, bukan untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Ini Hukum Pajang Foto

Di sisi lain, ada juga ulama yang menyarankan agar lebih berhati-hati dalam memajang foto orang yang telah meninggal. Mereka khawatir tindakan tersebut dapat menimbulkan fitnah atau kekeliruan dalam pemahaman agama, terutama jika foto-foto tersebut diperlakukan dengan cara yang tidak semestinya.

Dinukil dari BincangSyariah.com, Syekh ‘Ali Jum’ah dalam kitab al-Kalimu al-Thayyib, halaman 175, menjelaskan bahwa tidak ada masalah dalam menyebarkan foto manusia dan hewan. Menurutnya, foto merupakan refleksi bayangan yang ditangkap oleh kamera, bukanlah sebuah kreasi yang menyamai ciptaan Allah SWT.

Oleh karena itu, mengedarkan foto hasil jepretan kamera tidak dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum agama, selama foto tersebut tidak menunjukkan ketelanjangan atau mengundang fitnah.

لا بأس بتداول الصورالفوتوغرافية لإنسانية و الحيوان, لأنها عبارة عن حبس للظل وليس فيها المضاهاة لخلق الله ورد فيها الوعيد للمصورين وذلك ما لم تكن الصور عارية أو تدعو للفتنة.

Artinya: Mengedar foto hasil jepretan kamera itu dihukumi tak apa-apa. Karena, makna hakikat dari foto ialah suatu ungkapan terhadap refleksi yang ditangkap oleh kamera. Dan hal itu tidak berarti menyamai ciptaan Allah Swt. yang dikategorikan sebagai drafter yang diancam dengan siksa nan berat.

3 dari 3 halaman

Perhatikan Konten Fotonya

Lebih lanjut, Syekh ‘Ali Jum’ah menerangkan bahwa foto hanya merupakan penahanan bayangan, bukan bentuk dari kreasi baru yang menyerupai ciptaan Allah. Dengan demikian, ancaman siksa yang berat kepada para pembuat gambar tidak berlaku untuk fotografer yang memotret manusia atau hewan.

Namun, penting untuk tetap memperhatikan konten dari foto tersebut, memastikan bahwa foto tersebut tidak melanggar etika dan norma agama, seperti menampilkan ketelanjangan atau memicu hasrat negatif.

وإذا صورت المرأة نفسها من غير حجاب شرعي كامل, فلتحرص على أن لايرى هذه الصورة غير محارمها, لأن أمر النساء مبني على التصون و التستر و العفاف, فإذا اطلع أجنبي بعد ذلك عليها مع حرصها على صونها عن من لا يحل له الاطلاع على عورتها فلا إثم عليه و لاذنب لها, ولا يعتبر ذلك سيئة جارية لها في حياتها ولا بعد وفاتها كمايقال ولكن ينبغي أن لا توضع في مكان يراه كل واحد, بل تصان و تحفظ كما سبق.

Artinya: Jika yang di dalam foto tersebut berupa perempuan yang penampilannya tak sesuai dengan syariat maka hukum melihatnya itu boleh bagi mahramnya saja. Karena segala perkara yang ada dalam diri perempuan itu dibangun atas dasar penjagaan, menutup diri, dan ‘iffah (menjauhkan diri dari hal yang tak baik).

Oleh karena itu, apabila seseorang mengetahui hal itu maka baginya dan perempuan yang ada di dalam foto itu tak mendapatkan dosa. Dan tidak dianggap sebagai kejelekan dari perempuan tersebut.

Baik di masa hidup dan matinya. Akan tetapi, seyogyanya foto yang seperti itu tidak dipajang di tempat yang terlihat orang. Melainkan, disimpan dan dihindari dari mereka yang tak boleh melihatnya.

Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa hukum pajang foto orang yang telah meninggal di dinding rumah itu boleh secara syariat. Namun, dengan catatan aman dari timbulnya rasa syahwat dan adanya fitnah.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul