Sukses

Jangan Ditunda! Begini Tata Cara dan Waktu Terbaik Ganti Utang Sholat yang Wajib Dilunasi

Wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk melunasi utang sholat yang ditinggalkan baik disengaja atau pun tidak.Termasuk bagi seseorang yang telah meninggal dunia. Berikut ulasan selengkapnya tentang tata cara dan waktu terbaik mengganti utang sholat.

Liputan6.com, Jakarta - Umat Islam memiliki kewajiban untuk melaksanakan sholat wajib lima waktu. Sebab sholat adalah tiang agama sehingga sholat tidak boleh ditinggalkan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 43,

“Dan laksanakanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk,

Bagi seseorang yang meninggalkan sholat baik disengaja maupun tidak, wajib hukumnya untuk mengganti dengan cara qadha sholat atau melunasi hutang sholat.

Hutang sholat sama halnya dengan hutang kewajiban kepada Allah yang harus dilunasi. Bahwa sholat yang ditinggalkan itu adalah disebabkan kelalaian kita.

Namun, kita tahu bahwa Allah adalah Dzat Maha Pemaaf, maka jangan lalai dalam membayar utang sholat. Melansir dari laman NU Online, berikut adalah tata cara dan waktu terbaik untuk mengganti utang sholat.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

2 dari 3 halaman

Cara Mengganti Utang Sholat yang Tertinggal

Para ulama sepakat bahwa melunasi utang sholat yang ditinggalkan itu wajib hukumnya, baik karena lupa ataupun tertidur. Seperti pernah disampaikan Rasul: Tertidur itu bukan kelengahan karena yang dikatakan lengah itu bila seseorang tidak tidur. Apabila ia lupa atau tertidur dan tidak mengerjakan shalat, shalatlah ketika teringat. (Lihat dalam FIqhus Sunnah, Juz II, hlm. 185)

Kita memang dapat membayar utang sholat di lain waktu yang senggang. Akan tetapi, lebih cepat membayar, lebih baik. Misalnya, kita baru saja utang sholat Subuh karena bangun kesiangan maka waktu yang terbaik dapat dikerjakan jam tujuh atau jam delapan pagi ketika kita bangun dari tidur, atau ketika kita sempat membayamya dan tidak perlu ditunda-tunda.

Meski pada dasarnya utang (qadha) sholat Subuh dapat dikerjakan di waktu sholat Zhuhur, Maghrib, Ashar, atau kapan saja. Demikian juga berlaku pada sholat-sholat lain yang kita tinggalkan. Soal apakah dosa besar ketika kita meninggalkan sholat, tentu saja akan dilihat alasannya.

Kalau beralasan tidur, tidak ada yang membangunkan, tentu Allah Mahatahu. Berbeda bila meninggalkan sholat karena alasan lain seperti bus yang kita tumpangi tidak berhenti, atau di kereta yang katanya tidak ada tempat, di pesawat yang katanya tidak ada air, atau sedang sakit, semua itu Allah Mahatahu.

3 dari 3 halaman

Qadha Sholat bagi Orang yang Telah Meninggal

Sekarang, bagaimana jika utang sholat satu minggu karena sakit belum bisa membayarnya keburu meninggal, siapa yang harus membayar?

Utang sholat tadi bisa dibayar lewat dua cara. Cara pertama, dilunasi keluarganya; dan cara kedua, bisa melunasinya dengan membayar fidyah (denda), yaitu 1 waktu sholat yang ditinggalkan sama dengan 6 ons beras atau makanan pokok lainnya. Berarti, keluarga harus membayarkan 6 ons beras x 5 x 7 dan diberikan kepada tetangga yang miskin.

وَمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَلاَةٌ فَلا قَضَاءَ وَ لاَ فِدْيَةَ. وَ فِيْ قَوْلٍ كَجَمْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ أنَّهَا تَقْضَى عَنْهَا لِخَبَرِ البُخَارِي وَ غَيْرِهِ. وَ مِنْ ثَمَّ اخْتاَرَهُ جَمْعٌ مِنْ أئِمَّتِناَ وَ فَعَلَ بِهِ السُبْكِي عَنْ بَعْضِ أَقاَرِبِهِ ٍ

Siapa meninggal dunia sedang ia punya hutang sholat, baginya tak perlu diqadha. Tetapi menurut sebagian besar ulama Mujtahidin: bagi keluarganya tetap terkena kewajiban membayar karena ada hadits riwayat Imam Bukhari, dll. Rupanya pendapat terakhir ini cenderung diikuti ulama-ulama, Syafi’iyah, antara lain Imam Subki dan sebagian sahabatnya. (Lihat Ahkamul Fuqoha, Juz II, hal 50)

الصَّحِيْحُ هَوَ الإفْتاَءُ الأوَّلُ بِإخْرَاجِ الْفِدْيَةِ أرْبَعِيْنَ مُدًّا لِتَرْكِ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَةِ ثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ فِيْ خَمْسِ مَكْتُوْباَتٍ

... yang benar adalah fatwa pertama yang mengatakan: harus mengeluarkan fidyah (denda) 40 mud (1 mud = 6 ons) bagi yang telah meninggalkan sholat selama 8 hari, yang seharusnya dia mengerjakan shalat 5 kali sehari. (Lihat dalam I’anatut Thalibin, Juz II, hal 229)