Sukses

Bagaimana Hukum Menikah dengan Mualaf yang Belum Disunat, Apakah Sah?

Bolehkah menikah dengan pria mualaf yang belum sunat? Ini penjelasan ulama.

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena pernikahan antara seorang perempuan dengan pria yang belum sunat, terutama jika pria tersebut adalah seorang mualaf, menimbulkan sejumlah pertanyaan.

Dalam Islam, sunat atau khitan adalah sunnah yang sangat dianjurkan bagi laki-laki karena alasan kebersihan dan kesehatan, serta sebagai tanda kepatuhan terhadap ajaran agama.

Namun, pertanyaan muncul mengenai bagaimana hukum pernikahan dengan pria mualaf yang belum menjalani sunat.

Benarkah pandangan yang menyebutkan menikah dengan pria mualaf yang belum disunat tetap sah? Sunat bukanlah syarat sah pernikahan dalam Islam, melainkan anjuran yang sangat dianjurkan.

Sebagai mualaf, pria tersebut mungkin membutuhkan waktu untuk memahami dan menjalankan semua ajaran dan praktik dalam Islam, termasuk sunat.

Pernikahan dalam Islam didasarkan pada niat yang baik, komitmen, dan cinta antara pasangan. Meskipun sunat adalah praktik yang dianjurkan, hal ini tidak seharusnya menjadi penghalang bagi pernikahan jika ada komitmen kuat dari pria tersebut untuk mematuhi ajaran Islam seiring waktu. Keputusan untuk menikah harus mempertimbangkan aspek-aspek ini serta dukungan dari keluarga dan komunitas.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Penjelasan Mengenai Menikah

Menukil Islampos.com, nikah adalah satu-satunya akad untuk mempersatukan tali ikatan cinta antara adam dan hawa dengan cara yang halal. Dengan akad itu pula akan melahirkan implikasi hukum yang mengikat secara syar’i kepada kedua belah pihak baik laki-laki atau wanita.

Dalam literatur ilmu fiqih, bahwa akad nikah sah dilakukan apabila telah memenuh syarat dan rukun. Syarat nikah yaitu; (1) Islam, (2) baligh, (3) berakal, (4) saling menyukai antara kedau belah pihak (‘an tarâdh[in]. Sedangkan rukun nikah yaitu; (1) calon suami, (2) calon istri, (3) wali, (4) ijab-Qabul, (5) mahar. (Ruwwas Qal’ah jie, al-mawsu’ah al-fiqhiyyah al-muyassarah, juz. 2 hal. 1028-1029. Sayyid sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz. 2 hal. 29 ).

Hukum asal nikah menurut ulama Hanafiah, Malikiyah dan Hanabilah adalah sunnah. Namun dari hukum asal tersebut dapat berubah menjadi hukum yang lain jika ada qarinah (indikasi) yang mengharuskan pernikahah itu menjadi berubah disebabkan alasan-alasan syar’i.

Berbicara pernikahan, syariat Islam tidak hanya membahas masalah aspek fiqhiyyah saja, namun ada hal penting yang harus diperhatikan oleh seorang muslim ketika akan melangsungkan pernikahan, diantaranya yaitu, menikah itu adalah ibadah sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah dan melaksanakan sunnah Rosul.

Menikah upaya memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. Menikah merupakan sarana untuk melangsungkan keturunan.

Menikah harus dilandasi dengan al-hubb fillah wa al-Bughdhu fillah (cinta karena Allah dan benci karena Allah)

Berdasarakan tujuan di atas maka ajaran Islam memberikan panduan khusus dalam memilih pasangan hidup agar tujuan mulia pernikahan dapat dicapai, Rosulullah SAW memberikan panduan kepada kita cara memilih pasangan hidup di antaranya:

“Wanita itu dinikahi karena empat macam, karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Maka menangkanlah kecenderunganmu itu pada wanita yang beragama, engkau akan binasa.”

Panduan hadis di atas tentu berlaku juga bagi seorang muslimah ketika akan memilih calon suami dan yang penting untuk diperhatikan adalah masalah agama yang menjadi inti dari pesan hadits di atas.

 

3 dari 3 halaman

Begini Penjelasan Menikah dengan Mualaf yang Belum Sunat

Soal menikah dengan mualaf yang belum sunat sebenarnya secara fiqhiyyah pernikahan sah hukumnya jika telah memenuhi syarat dan rukunnya.

Namun, permasalahan yang sedang dihadapi dalam hal ini tidak cukup diselesaikan melalui pendekatan hukum fiqih saja, karena secara fiqih tidak ada masalah dengan rencana pernikahan saudari.

Namun ada beberapa hal penting yang bersifat i’tiqady (aqidah) yang harus diperhatikan sebelum melaksanakan pernikahan dengan muallaf.

Sebaiknya agar tidak terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan akan menikah dengan muallaf, mengingat calon suami akan menjadi imam dalam rumah tangga dan seorang imam tidak mudah memimpin rumah tangga kecuali dengan ilmu yang cukup.

Oleh karena itu beri kesempatan kepada calon suami untuk mengkaji dan belajar Islam terlebih dahulu agar calon suami merasa nyaman dan yakin betul dengan ajaran Islam. Allah Swt berfirman dalam QS an-Nisa : 34.

Artinya, “laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian mereka (perempuan)…”

Rasulullah bersabda, “ setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya.’

Dalil-dalil di atas sebenarnya menjadi panduan bagi seorang muslimah dalam memilih calon suami, sebab sehebat apapun wanita jika ia telah menikah maka ia akan menjadi seorang makmun yang mesti taat kepada suaminya.

Jika panduan teologis di atas dijadikan pegangan oleh setiap muslim atau muslimah, semestinya tidak akan terjadi kasus pernikahan –yang belakangan ini ramai diberitakan di media massa—seorang muallaf yang murtad setelah menikahi muslimah bahkan isterinya mengikuti agama suaminya.

Tingkat pemahaman suami atau istri terhadap islam, akan berbanding lurus dengan ketenangan dan kelanggengan rumah tangganya; begitu pun sebaliknya konflik rumah tangga yang berakhir dengan perceraian disebabkan dangkalnya pemahaman mereka tentan hukum-hukum yang berkaitan dengan ahwâl al-syakhshiyyah (hukum keluarga dalam Islam).

Calon suami alangkah baiknya dikhitan terlebih dahulu sebelum menikah sebab konsekwensi dari ikrar dua kalimah syahadah adalah ketaatan dan ketundukan kepada Allah SWT, menurut al-Sya’by, Rabi’ah, Awza’i, Yahya ibnu Said, Malik, Syafi’i dan Ahmad bahwa hukum khitan hukumnya wajib.

Bahkan menurut imam Malik, “Siapa saja yang belum dikhitan maka tidak layak menjadi imam sholat dan tidak diterima persaksiannya (syahadah).

”Rasulullah SAW bersabda, “ada lima perkara al-fithrah (sunnah yang harus diikuti); khitan, istihdad,menggunting kuku, mencukur bulu ketiak, mencukur kumis.” (HR. Bukhari 5889 dan muslim 257). Anjuran dikhitan tidak hanya perintah agama, tetapi secara medis juga sangat dianjurkan.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul