Sukses

Bukan Meng-Arab-kan, Pesan Gus Dur soal Relasi Islam dan Budaya Lokal Indonesia

Gus Dur: Islam hadir untuk memperkuat dan menyempurnakan tradisi yang baik

Liputan6.com, Jakarta - Presiden ke-4 Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid yang dikenal sebagai Gus Dur mengungkapkan pandangannya tentang hubungan antara Islam dan budaya lokal.

Ungkapan legendaris Gus Dur ini salah satunya tayang dalam sebuah video yang diposting di kanal YouTube @alqolbumutayyam89.

Dalam video tersebut, Gus Dur menjelaskan bahwa kedatangan Islam tidak dimaksudkan untuk mengubah budaya lokal menjadi budaya Arab.

“Islam itu datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita menjadi budaya Arab. Tujuannya adalah untuk membawa ajaran, bukan untuk mengubah identitas kita,” ungkapnya.

Ia menggarisbawahi bahwa ajaran Islam seharusnya diintegrasikan ke dalam konteks budaya lokal tanpa menghilangkan ciri khas budaya tersebut.

“Kita harus serap ajarannya, bukan budayanya. Islam mengajarkan kita untuk memelihara budaya lokal sambil mengintegrasikan nilai-nilai ajarannya,” tambah Gus Dur.

Menurut Gus Dur, umat Islam di Indonesia harus menjaga dan menghormati budaya lokal yang telah ada sambil mengamalkan ajaran agama.

“Islam tidak meminta kita untuk menjadi orang Arab, tetapi untuk memahami dan mengamalkan ajaran-Nya dalam konteks budaya kita sendiri,” jelasnya.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Bagaimana Kita Mengintegrasikan Islam dan Budaya Lokal

Gus Dur menegaskan pentingnya menjaga identitas budaya lokal. “Kita harus mempertahankan milik kita dan tidak mengabaikan budaya yang telah ada dalam masyarakat,” tegasnya. Beliau percaya bahwa agama harus memperkaya, bukan menggantikan budaya lokal.

Dalam penjelasannya, Gus Dur menyatakan bahwa perubahan budaya harus dilakukan dengan mempertimbangkan konteks lokal dan harus dilakukan dengan cara yang tidak merusak nilai-nilai budaya yang ada.

Kita harus mengintegrasikan ajaran Islam dengan cara yang menghargai keberagaman budaya kita. Ia menekankan bahwa ajaran Islam seharusnya tidak dijadikan alat untuk perubahan budaya secara paksa. “Jangan menggunakan agama sebagai alat untuk mengubah budaya secara paksa. Islam menghargai keragaman budaya dan identitas lokal,” kata Gus Dur.

Gus Dur juga menambahkan bahwa ajaran agama seharusnya dapat diterima dengan cara yang memperkaya budaya lokal.

“Integrasi ajaran Islam harus dilakukan dengan cara yang memperkaya budaya kita, bukan menggantikannya dengan budaya lain,” jelasnya.

Gus Dur mengingatkan pentingnya untuk tidak menghilangkan ciri khas budaya lokal dalam proses integrasi ajaran agama.

“Pertahankan budaya kita sambil menyerap ajaran agama. Itu adalah keseimbangan yang harus dijaga,” ujarnya.

3 dari 3 halaman

Kisah Wali Songo dan Penyebaran Islam

Menukil NU Online, Ahmad Ginanjar Sya’ban, penulis buku "Mahakarya Ulama Nusantara", ddalam suatu kajian rutin Islam Nusantara menegaskan bahwa kedatangan Islam bukan untuk merusak tradisi lokal.

“Islam datang bukan untuk merusak tradisi bangsa lain,” ujarnya dalam diskusi bertema "Manhaj Islamisasi di Nusantara Era Walisongo" di Sekretariat Islam Nusantara Center (INC) Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.

Menurut Ginanjar, Walisongo berhasil menyebarkan Islam secara damai dengan cara menyempurnakan tradisi-tradisi luhur yang sudah ada, bukan menghancurkannya.

Ia mengutip hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, "Innamaa bu’itstu liutammima makarimal akhlaq" (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia).

“Islam datang itu untuk menyempurnakan hal-hal yang sudah sangat baik, tradisi yang luhur. Hal-hal buruk saja yang bersifat prinsip yang perlu diubah,” jelasnya.

Ginanjar menambahkan bahwa perkara furu'iyah (cabang) atau tahsiniyah (penyempurnaan) tidak perlu diperdebatkan lagi. Para wali tidak merusak ekosistem, budaya, tradisi, bahkan agama yang sudah ada.

“Laa ikroha fiddin, tidak ada paksaan dalam agama,” katanya mengutip Al-Quran. Sikap toleransi inilah yang menjadi kunci keberhasilan dakwah Walisongo di Nusantara.

Sebagai contoh, Sunan Kudus, yang bernama asli Ja’far Shodiq, menghormati tradisi umat Hindu dengan memfatwakan untuk tidak menyembelih sapi sebagai kurban karena sapi sangat dihormati oleh umat Hindu.

Min babi ikromi jar, tidak menyembelih sapi,” ujarnya. Sunan Kudus juga membangun masjid dengan arsitektur yang senada dengan model bangunan pura pada masa itu, seperti terlihat pada Masjid Agung Demak.

Selain itu, Ginanjar menyebut bahwa Walisongo juga mencontohkan sikap hormat kepada tetangga dan penganut agama lain, mengutip hadis, “Laa yu’minu ahadukum hatta yukrima jarohu, belum sempurna iman seseorang kalau belum bisa memuliakan tetangganya.”

Sikap ini sangat dihormati oleh para wali dalam berinteraksi dengan masyarakat setempat.

Kesuksesan dakwah Walisongo dalam menyebarkan Islam di Nusantara juga disebabkan oleh pendekatan yang menaklukkan hati masyarakat, bukan sekadar wilayah atau kerajaan.

“Kesuksesan cepatnya Islamisasi masa Walisongo itu karena yang ditaklukkan oleh Walisongo itu bukan wilayah atau kerajaan, tapi hati para penduduknya,” tegas Ginanjar.

Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu juga menekankan bahwa Islam yang dibawa oleh Walisongo sangat menghargai budaya dan tradisi lokal, sehingga masyarakat dengan mudah menerima ajaran Islam tanpa merasa kehilangan identitas budaya mereka.

Ginanjar menegaskan kembali bahwa Islam hadir untuk memperkuat dan menyempurnakan tradisi yang baik, bukan menggantinya dengan budaya Arab. “Kita harus serap ajarannya, bukan budaya Arabnya,” ungkapnya.

Menurutnya, toleransi dan penghormatan terhadap tradisi lokal adalah kunci utama dalam dakwah Walisongo yang patut dijadikan teladan oleh generasi saat ini. “Sikap toleransi ini menjadi dasar dakwah yang damai dan efektif,” katanya.

Dengan pendekatan yang ramah dan menghormati tradisi, Walisongo berhasil menaklukkan hati masyarakat Nusantara. “Mereka menunjukkan bahwa Islam dapat bersanding harmonis dengan tradisi lokal,” tambahnya.

Ginanjar juga mencatat bahwa strategi Walisongo dalam menyebarkan Islam adalah melalui keteladanan dan akhlak yang mulia, yang membuat masyarakat terpikat dan akhirnya menerima Islam dengan sukarela. “Para wali menaklukkan hati, bukan dengan paksaan,” ujarnya.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul