Sukses

Bung Karno dan Fatmawati, Kisah Cinta Sejoli Aktivis Muhammadiyah-Aisyiyah Pengawal Kemerdekaan

Tak hanya pengorbanannya untuk bangsa dan negara, generasi muda saat ini bisa memetik pelajaran dari kisah cinta Soekarno dan Fatmawati yang keduanya sama-sama aktivitas Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.

Liputan6.com, Jakarta - Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2024 mengingatkan pada Presiden Soekarno dan Ibu Negara Fatmawati

Bung Karno banyak berjasa sampai akhirnya bisa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tentunya kemerdekaan ini diraih berkat perjuangan para tokoh lainnya yang juga sebagai pahlawan bangsa.

Sementara itu, Fatmawati adalah sosok yang menjahit bendera Sang Saka Merah Putih yang pertama kali dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan. Dia menjahit bendera dengan tangan sendiri saat hamil besar.

Jasa Soekarno dan Fatmawati tidak akan pernah dilupakan dalam sejarah. Banyak pelajaran yang dapat diteladani dari dua tokoh itu. 

Tak hanya pengorbanannya untuk bangsa dan negara, generasi muda saat ini bisa memetik pelajaran dari kisah cinta Soekarno dan Fatmawati yang keduanya sama-sama aktivitas Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah.

Berikut kisah cinta Bung Karno dan Fatmawati dari awal pertemuan, menikah, hingga pengorbanannya yang dirangkum dari berbagai literatur.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Fatmawati Lahir dan Dibesarkan oleh Keluarga Muhammadiyah

Fatmawati lahir di Kampong Pasar Malabero Bengkulu pada 5 Februari 1923. Dia dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama. Hasan Din adalah seorang Konsul Muhammadiyah Bengkulu.

Sejak kecil, Fatmawati telah belajar agama Islam antara lain membaca dan menulis Al-Qur'an pada sore hari kepada datuknya dan kepada seorang guru agama Islam. Sejak kecil sudah kelihatan bakat seninya terutama seni membaca Al-Qur'an dan sangat supel dalam bergaul.

Kepintarannya membaca Al-Qur'an pernah ditunjukkan pada pembukaan Kongres Muhammadiyah di Palembang tahun 1936. Di bidang lainnya, Fatmawati tertarik pada filsafat Islam dan gender dalam Islam. Terlebih setelah Fatmawati menjadi aktivis Aisyiyah, sebuah organisasi dalam naungan Muhammadiyah.

Mengutip umy.ac.id, ketika beliau berumur 6 tahun, ia masuk Sekolah Gedang (sekolah rakyat), namun kemudian pindah ke HIS (Hollandsche Inlance School), sekolah berbahasa Belanda (1930).

Ketika duduk di kelas 3, Fatmawati dipindahkan lagi oleh ayahnya ke HIS Muhammadiyah. Fatmawati sejak remaja sudah aktif di Muhammadiyah melalui Nasyi’atul Aisyiah/NA.

3 dari 4 halaman

Pertemuan Soekarno dan Fatmawati

Fatmawati bertemu dengan Bung Karno dimulai tahun 1938. Saat itu, Bung Karno dipindahkan oleh Kolonial Belanda dari Pengasingan di Ende (Flores) ke Bengkulu.

Bersamaan itu, keluarga Hasan Din pindah ke Bengkulu setelah 3 (tiga) tahun tinggal di Curup. Kepindahan ini karena hasrat Hasan Din untuk mengenal lebih dekat pada Bung Karno yang sangat dikaguminya itu.

Bung Karno ketika di Bengkulu aktif di Persyarikatan Muhammadiyah, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Bagian Pengajaran. Dalam melaksanakan kegiatannya di Muhammadiyah inilah maka persahabatan keluarga Hasan Din dan Bung Karno semakin akrab.

Mereka saling berkunjung dan Fatmawati sering diajak ayahnya untuk bersilaturahmi dengan Bung Karno. Pada masa itu, Bung Karno ditemani istrinya bernama Inggit Garnasih, wanita berasal dari Bandung dan anak angkatnya bernama Ratna Juami. 

Seperti disebut, Fatmawati adalah sosok aktivis perempuan yang telah mempelajari hukum, filsafat, hingga gender dalam perspektif Islam. Karena itu, Fatmawati kerap diajak berdiskusi. Dari saling silaturahmi yang semakin akrab inilah, lama kelamaan Bung Karno tertarik pada Fatmawati.

4 dari 4 halaman

Nikah dengan Soekarno dan Dianugerahi 5 Anak

Kemudian Bung Karno ingin memperistri Fatmawati. Namun Fatmawati berkeberatan karena Bung Karno telah beristri Inggit Garnasih. Sedangkan Inggit Garnasih yang telah menikah 18 tahun belum ada tanda-tanda hamil.

Dalam perkembangannya dengan berbagai pertimbangan, Fatmawati menerima lamaran Bung Karno dengan syarat tidak mau dimadu. Maka secara baik-baik, Inggit diceraikan dan diserahkan kepada orang tuanya di Bandung. Akhirnya Fatmawati menikah dengan Bung Karno di Bengkulu tanggal 1 Juni 1943.

Sebagai istri seorang pejuang, Fatmawati mendampingi Bung Karno yang sedang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Fatmawati telah dikaruniai putra pertama yang diberi nama Guntur yang kemudian dikenal dengan Guntur Soekarnoputra.

Para petinggi Jepang saat itu menyambut gembira atas kelahiran putra pertama itu. Bahkan Jenderal Yamamoto menyebut Guntur dengan nama Osamu. Saat itu, Fatmawati menyaksikan bendera Merah Putih berkibar pertama kali di bumi pertiwi. Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati.

Ketika secara resmi Bung Karno diangkat sebagai Presiden RI yang pertama, maka otomatis Fatmawati menjadi Ibu Negara yang harus mendampingi Bung Karno dalam berbagai kegiatan resmi kenegaraan.

Dari pernikahan keduanya, lahirlah lima anak, yakni Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra. Fatmawati meninggal dunia pada 14 Mei 1980.