Liputan6.com, Jakarta - Pembacaan teks proklamasi kemerdekaan oleh Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 tak luput dari kontribusi seorang Fatmawati. Istri Bung Karno itu adalah sosok di balik bendera pusaka merah putih yang berkibar pertama kali secara resmi pada 17 Agustus 1945.
Fatmawati mendapat kain merah putih dari Pimpinan Barisan Propaganda Jepang, Hitoshi Shimizu melalui pemuda bernama Chairul Basri. Kemudian kain merah putih berbahan katun tersebut dijahit oleh Fatmawati setelah Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia.
Istri Soekarno ini menjahit bendera pusaka pada Oktober 1944 saat mengandung putra pertamanya. Meski sedang hamil tua, Fatmawati tetap rela menyisihkan waktunya untuk menjahit bendera kebesaran.Â
Advertisement
Baca Juga
Kisah Bung Karno Sowan ke Mbah Kholil Bangkalan sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Didoakan hingga Kepalanya Diusap
Bung Karno dan Fatmawati, Kisah Cinta Sejoli Aktivis Muhammadiyah-Aisyiyah Pengawal Kemerdekaan
5 Habib Pejuang Kemerdekaan RI, Pencipta Lagu Hari Merdeka hingga Perancang Lambang Garuda
Tak sampai setahun, kain yang disulap jadi bendera oleh Fatmawati dikibarkan pada hari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kapten Latief Hendraningrat memimpin pengibaran bendera pusaka untuk pertama kalinya yang diiringi lagu Indonesia Raya.
Bendera pusaka yang dijahit Fatmawati selalu dikibarkan saat peringatan Hari Kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus di Istana Merdeka, Jakarta. Namun, untuk menjaga bendera pusaka tidak rusak, sejak tahun 1969 bendera yang dinaikkan adalah yang duplikat.Â
Begitu besar jasa Fatmawati yang menjahit bendera pusaka, di samping juga ia selalu menemani perjuangan Bung Karno dalam meraih kemerdekaan. Berikut biografi Fatmawati yang merupakan putri dari tokoh Muhammadiyah Bengkulu.
Â
Saksikan Video Pilihan Ini:
Besar dari Keluarga Muhammadiyah, jadi Aktivis ‘Aisyiyah
Fatmawati lahir di Pesisir Pantai Tapak Paderi, Bengkulu pada 5 Februari 1923. Dia dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama. Ayahnya yang bernama Hasan Din adalah seorang Konsul Muhammadiyah Bengkulu, sedangkan ibunya bernama Siti Chadijah adalah seorangÂ
Sejak kecil, Fatmawati telah belajar agama Islam antara lain membaca dan menulis Al-Qur'an pada sore hari kepada datuknya dan kepada seorang guru agama Islam. Bakat seninya terutama seni membaca Al-Qur'an sudah terlihat sejak ia belum dewasa.
Kepintarannya membaca Al-Qur'an pernah ditunjukkan pada pembukaan Kongres Muhammadiyah di Palembang tahun 1936.Â
Di bidang lainnya, Fatmawati tertarik pada filsafat Islam dan gender dalam Islam. Terlebih setelah Fatmawati menjadi aktivis Aisyiyah, sebuah organisasi dalam naungan Muhammadiyah.
Fatmawati merupakan pelopor penggerak Nasyiatul Aisyiah di Bengkulu, salah satu organisasi di bawah naungan Muhammadiyah. Kesetiaan terhadap Muhammadiyah melalui Nasyiatul Aisyiah merupakan hasil penanaman norma Islam yang mendalam dan norma anti kolonialisme.
Advertisement
Menikah dengan Soekarno
Mengutip laman muhammadiyah.or.id, Fatmawati pertama kali bertemu dengan Soekarno saat pejuang yang kemudian menjadi presiden RI pertama itu diasingkan ke Bengkulu pada 1938.Â
Keakraban Bung Karno dengan ayahnya, Hasan Din, menjadi jalan Bung Karno untuk mengenal lebih dekat dengan Fatmawati. Saat menginjak usia 17 tahun, Fatmawati dilamar oleh Soekarno.
Bung Karno mengungkap alasan ingin menikah lagi, itu lantaran selama 18 tahun pernikahannya bersama Inggit tidak kunjung punya keturunan. Sementara, Ibunda Soekarno yang telah berusia senja di Blitar terus menanyakan kapan bisa memiliki cucu.
Mendengar lamaran Soekarno, Fatmawati menjawab bahwa sebagai perempuan Muhammadiyah, Fatmawati tidak mau dipoligami. Bung Karno kemudian meminta waktu untuk menceraikan Inggit Ganarsih secara baik-baik.Â
Setelah urusan dengan Inggit selesai, Fatmawati menikah dengan Bung Karno pada 1943 melalui wali yang dilaksanakan antara Fatmawati yang berada di Bengkulu dengan Soekarno yang berada di Jakarta.
Saksi Perjuangan Soekarno dan Pahlawan Nasional
Pada 1 Juni 1943, Fatmawati bersama kedua orang tuanya mulai tinggal di Jakarta di kediaman Kiai Mas Mansyur. Dua pekan berikutnya, ia pindah ke rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56.
Di sana, Fatmawati mulai menjalani hidup sebagai istri pejuang revolusi. Ia kemudian berkenalan dengan tokoh-tokoh lain seperti Mohammad Hatta, Radjiman, Ki Hadjar Dewantara, dan lainnya yang dekat dengan Bung Karno.
Fatmawati menjadi saksi perjuangan Soekarno hingga Indonesia merdeka. Namun, perjuangan berat harus dialami Fatmawati setelah proklamasi kemerdekaan, karena Belanda kembali ke Indonesia dan tidak mengakui kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Setelah kelahiran anak kelimanya, Mohammad Guruh Soekarno Putra, Fatmawati berpisah dengan Soekarno seiring berita bahwa Soekarno hendak memperistri Hartini. Fatmawati setia pada janjinya bahwa perempuan Muhammadiyah tidak mau dipoligami.
Setelah berpisah dengan Soekarno, Fatmawati tetap berkiprah bagi pengembangan dakwah Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Dari pernikahan dengan Soekarno, ia dikaruniai lima anak, tiga diantaranya adalah perempuan yakni Megawati Soekarno Putri, Rachmawati Soekarno Putri dan Soekmawati.
Fatmawati meninggal dunia pada 14 Mei 1980. Atas jasanya terhadap revolusi kemerdekaan, 4 November 2000 Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid melalui Keppres Nomor 118/TK/2000 menetapkan Fatmawati sebagai Pahlawan Nasional.Â
Itulah perjalanan Fatmawati, seorang penjahit bendera pusaka, istri presiden pertama, dan aktivis ‘Aisyiyah yang dirangkum dari laman Muhammadiyah.or.id.
Advertisement