Sukses

Jarang Dibahas, Kisah Bung Tomo Sowan Mbah Hasyim Asy'ari sebelum Pertempuran Surabaya Pecah, Diungkap Gus Baha

Gus Baha mengungkap kisah heroik ulama dalam Perang Surabaya. Salah satunya adalah kisah Bung Tomo yang sowan Mbah Hasyim Asy'ari, pendiri NU

Liputan6.com, Jakarta - Kisah Bung Tomo yang menghadap sowan KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama untuk meminta pendapat para ulama sebelum pertempuran 10 November 1945 adalah salah satu peristiwa menarik dan penuh hikmah dalam sejarah.

Dalam situasi yang sangat genting, Bung Tomo, seorang pemimpin revolusi yang berani, merasa perlu untuk mendapatkan pandangan dari ulama besar tentang langkah yang harus diambil.

Menurut cerita ini, Mbah Hasyim Asy'ari menyarankan Bung Tomo untuk bersabar dan menunggu kedatangan sosok tertentu yang memiliki doa khusus, yang dapat digunakan untuk menjatuhkan pesawat musuh.

Saran ini menunjukkan betapa pentingnya spiritualitas dan doa dalam perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, selain strategi militer yang kuat.

Akhirnya, sosok yang dinanti-nanti itu muncul, dan konon ia memang memiliki karomah, atau kekuatan spiritual, yang mampu menghadirkan keajaiban di medan perang.

Hal ini menambah dimensi lain dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945, memperlihatkan bagaimana kombinasi antara kekuatan fisik, strategi, dan kekuatan spiritual menjadi bagian penting dari perjuangan kemerdekaan Indonesia.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Gus Baha Ceritakan di Balik Perang Surabaya

KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang akrab disapa Gus Baha, mengungkap kisah heroik yang melibatkan Bung Tomo dan para kiai dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mengutip ceramah yang diunggah di kanal YouTube @MUHIBIN_AULIYA_WAL_ULAMA, Gus Baha menjelaskan betapa pentingnya peran ulama dalam memenangkan Perang 10 November 1945 di Surabaya.

Gus Baha mengawali kisahnya dengan menceritakan kedatangan Bung Tomo ke kediaman KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, pada awal November 1945. Bung Tomo, yang dikenal sebagai orator ulung, meminta restu dan petunjuk dari Mbah Hasyim terkait rencana perang melawan pasukan Belanda. Namun, Mbah Hasyim meminta Bung Tomo untuk menunda serangan tersebut.

"Mbah Hasyim berkata, 'Jangan dulu, Kiai bagian menjatuhkan pesawat belum datang.' Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran kiai dalam setiap langkah strategis perjuangan," ujar Gus Baha dalam ceramahnya.

Kiai yang dimaksud adalah KH Abas dari Buntet, Cirebon, seorang ulama yang memiliki doa khusus untuk menjatuhkan pesawat musuh.

Menurut Gus Baha, KH Abas Buntet memang dikenal sebagai ulama dengan keistimewaan spiritual. Ia disebut-sebut memiliki doa yang mampu menurunkan pesawat musuh, sebuah kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam perang melawan penjajah yang memiliki kekuatan udara.

Serangan yang seharusnya dilancarkan pada 7 November 1945 pun ditunda hingga 10 November 1945, saat KH Abas tiba di Surabaya. Dengan restu dan doa dari para kiai, perang tersebut akhirnya dimulai dan menjadi salah satu pertempuran paling bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

3 dari 3 halaman

Kekuatan Spiritual dari Para Ulama

Perang ini bahkan mengakibatkan kematian seorang jenderal sekutu, yaitu Brigadir Jenderal Mallaby. Seperti diketahui, ia tewas tertembak saat di dalam mobilnya yang juga hangus karena ledakan granat yang dilempar oleh prajuritnya sendiri, yang sebenarnya ingin membubarkan kerumunan.

Granat itu meledak di dekat mobil Mallaby. Tewasnya Mallaby adalah bencana untuk sekutu.

Gus Baha menekankan bahwa kisah ini menjadi bukti bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya didorong oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh kekuatan spiritual yang dimiliki para ulama.

"Perang 10 November bukan sekadar pertempuran fisik, tetapi juga perang batin yang dipimpin oleh para ulama," jelasnya.

Ia juga menambahkan bahwa bangsa Indonesia seharusnya tidak melupakan peran penting ulama dalam mendirikan negara ini. Gus Baha mengingatkan bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, para ulama seperti Wali Songo telah membentuk komunitas yang kuat untuk menjaga moral dan spiritual bangsa.

"Jangan berpikir bahwa negara ini didirikan hanya oleh umara (pemerintah), tetapi juga oleh ulama yang telah mempersiapkan bangsa ini sejak era Wali Songo," kata Gus Baha.

Para kiai, lanjutnya, tidak hanya berperan sebagai pemimpin agama tetapi juga sebagai penggerak rakyat untuk melawan penjajahan.

Saat KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa jihad yang menyatakan bahwa jihad melawan penjajah adalah fardu ain (wajib bagi setiap individu), seluruh rakyat pun merespons dengan semangat tinggi.

Fatwa ini memberikan legitimasi dan dorongan moral bagi rakyat untuk melawan pasukan penjajah, baik Belanda maupun sekutu lainnya.

Gus Baha menutup ceramahnya dengan mengingatkan bahwa warisan para kiai dan ulama dalam perjuangan kemerdekaan harus selalu dihormati dan dijaga. Ia menegaskan bahwa peran ulama dalam sejarah bangsa Indonesia tidak boleh dilupakan dan harus terus diwariskan kepada generasi selanjutnya.

"Negara ini dibangun di atas fondasi yang kuat, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh ulama yang telah mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan," pungkas Gus Baha.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul