Sukses

Kisah Cinta Gus Baha dan Ning Winda, Naik Bus Ekonomi saat Akad Nikah dan Sempat Bujuk Mertua agar Membatalkan

Ada satu cerita menarik tentang kesederhanaan Gus Baha. Itu terjadi ketika ulama kelahiran 29 September 1970 itu akan menikah dengan Ning Winda, wanita yang berasal dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.

Liputan6.com, Rembang - KH Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha dikenal sebagai ulama kharismatik Nahdlatul Ulama (NU) asal Rembang, Jawa Tengah. Ia merupakan salah satu murid kesayangan KH Maimoen Zubair (Mbah Moen).

Gus Baha memiliki penampilan khas yang sederhana dengan mengenakan sarung, koko putih, dan songkok hitam sehari-harinya. Bahkan, ketika bertemu dengan sekelas pejabat pun gaya penampilannya tidak berubah.

Ada satu cerita menarik tentang kesederhanaan Gus Baha. Itu terjadi ketika ulama kelahiran 29 September 1970 itu akan menikah dengan Ning Winda, wanita yang berasal dari keluarga Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.

Dikisahkan, selepas melamar Ning Winda, Gus Baha menemui calon mertuanya. Ia menjelaskan tentang kehidupannya yang sangat sederhana. Ia berusaha meyakinkan calon mertuanya agar berpikir ulang sebelum menikahkan putrinya dengan Gus Baha.

Apa yang dilakukan Gus Baha bertujuan baik. Ia tidak mau kecewa di kemudian hari lantaran putri kesayangan calon mertuanya dibawa dengan kehidupan yang jauh dari kata mewah. 

Mendengar penuturan Gus Baha, orang tua Ning Winda hanya tersenyum dan menyatakan “klop” alias sami mawon kalih kulo. Keluarganya tidak akan mempermasalahkan soal itu jika sang putri menikah dengan Gus Baha.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

2 dari 4 halaman

Berangkat Menikah dengan Bus Umum

Singkat cerita, hari pernikahan pun tiba. Lazimnya calon mempelai pria datang ke tempat mempelai wanita bersama rombongan dan sekaligus bawa barang bawaan sebagai hantaran. Namun Gus Baha tidak seperti itu.

Mengutip laman Ma’had Aly Sa’idusshiddiqiyah Jakarta, Gus Baha berangkat sendiri ke Sidogiri untuk melangsungkan akad nikah. Uniknya, Gus Baha berangkat dengan menumpang bus umum yang kelas ekonomi.

Gus Baha naik bus dua kali. Yakni dari Pandangan menuju Surabaya, kemudian disambung bus menuju Pasuruan. Sampai akhirnya tiba di tempat pernikahan. 

Setelah menikah, Gus Baha mencoba hidup mandiri dengan keluarga barunya dan menetap di Yogyakarta sejak 2003.

Selama di Kota Gudeg, Gus Baha menyewa rumah untuk ditempati keluarga kecilnya, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. 

3 dari 4 halaman

Hijah ke Yogyakarta setelah Menikah, lalu Balik ke Rembang

Semenjak hijrah ke Yogyakarta, banyak santri Gus Baha di Karangmangu yang merasa kehilangan induknya. Mereka pun menyusul ke Jogja dan menyewa rumah dekat Gus Baha agar bisa mengaji.

Ada sekitar lima sampai tujuh santri alumni Al Anwar maupun MGS yang ikut ngaji ke Gus Baha di Jogja saat itu. Seiring bertambahnya orang, banyak masyarakat sekitar yang akhirnya minta ikut mengaji kepada Gus Baha.

Gus Baha harus meninggalkan Jogja pada 2005 karena ayahnya, KH Nursalim sakit. Setelah sang ayah wafat, ia kembali ke Rembang untuk untuk melanjutkan tongkat estafet kepengasuhan di LP3IA Narukan sebagaimana diamanati oleh ayahnya.

Kembalinya Gus Baha ke kampung halaman membuat banyak orang yang sudah lama mengaji kepadanya merasa kehilangan. Pada akhirnya, ia meluangkan waktu sebulan sekali ngaji di Yogyakarta.

Daerah-daerah lain pun kebagian seperti di Bojonegoro setiap minggu kedua tiap bulannya.

4 dari 4 halaman

Di Balik Kesederhanaan Gus Baha

Gus Baha yang sering tampil dengan pakaian biasa saja bukan tanpa alasan. Gaya penampilan yang sederhana ternyata merupakan hasil didikan ayahnya semenjak kecil.

Salah satu wasiat ayahnya adalah agar ia menghindari keinginan untuk menjadi ‘manusia mulia’ dari pandangan kerumunan makhluk atau lingkungannya. Hal inilah yang hingga kini mewarnai kepribadian dan kehidupan sehari-hari.

Gus Baha memilih hidup sederhana bukan karena keluarganya miskin. Bahkan, jika dilihat silsilah dari keluarga ibunya, tiada satu keluarga pun yang miskin. Bahkan, kakek Gus Baha dari jalur ibu merupakan juragan tanah di desanya. 

Ketika ditanya soal kesederhanaannya, Gus Baha menyatakan bahwa hal tersebut merupakan karakter keluarga Qur’an yang dipegang erat sejak zaman leluhurnya. Kesederhanaan ini patut menjadi contoh bagi generasi sekarang.