Sukses

Akar Tradisi Rebo Wekasan Bulan Safar Diungkap Buya Yahya, Benarkah Bid'ah?

Tradisi rabu wekasan, Buya Yahya, boleh dilakukan selama tak bertentangan dengan syariat.

Liputan6.com, Jakarta - Rebo wekasan atau Rabu Wekasan (terakhir) adalah sebuah tradisi yang diperingati oleh sebagian masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia, pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.

Tradisi Rebo Wekasan ini berakar pada keyakinan bahwa hari tersebut dianggap sebagai hari sial atau penuh malapetaka. Oleh karenanya, perlu diadakan berbagai ritual untuk menolak bala dan mendatangkan keselamatan.

Tradisi Rabu Wekasan ini memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang, terutama terkait dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada zaman dahulu.

Dulu, diyakini bahwa pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah SWT menurunkan berbagai macam bencana dan penyakit ke dunia.

Untuk menangkalnya, masyarakat kemudian melaksanakan berbagai amalan khusus, seperti doa-doa, sholawat, atau ritual tertentu yang diyakini bisa menolak bala.

KH Yahya Zainul Ma'arif, yang akrab disapa Buya Yahya, memberikan pandangan komprehensif tentang tradisi Rabu Wekasan yang sering kali dihubungkan dengan bulan Safar.

Dalam ceramahnya, yang dikutip dari kanal Youtube@buyayahyaofficial, Buya Yahya menjelaskan bahwa meskipun tidak ada dalil langsung dari Nabi Muhammad SAW mengenai Rabu Wekasan, tradisi ini tetap memiliki akar dalam praktik-praktik keagamaan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

 

Simak Video Pilihan Ini:

2 dari 3 halaman

Kisah Rabu Wekasan

Menurut cerita yang beredar, seorang Saleh menerima berita bahwa pada hari Rabu di akhir bulan Safar, akan turun berbagai penyakit dan bencana.

Oleh karena itu, umat dianjurkan untuk meminta perlindungan kepada Allah agar dijauhkan dari malapetaka tersebut. Salah satu bentuk permohonan ini adalah dengan melaksanakan sholat hajat atau amalan lainnya yang bertujuan untuk memohon keselamatan dari Allah.

"Cerita tentang Rebo Wekasan ini adalah ada seorang saleh mendapatkan berita bahwasanya di hari itu akan turun penyakit maka mintalah perlindungan dari Allah untuk bisa dijauhkan dari penyakit termasuk sholat hajat atau yang lainnya," ujar Buya Yahya.

Ia menambahkan bahwa meskipun tidak ada tuntunan langsung dari Nabi terkait hal ini, praktik semacam ini tetap bisa dipandang sebagai bentuk ikhtiar dalam beribadah selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Meski begitu, Buya Yahya menegaskan bahwa sebagai Muslim, pedoman utama tetap harus merujuk pada Al-Qur'an dan Hadis Nabi. Ia menekankan bahwa segala bentuk ibadah yang dilakukan, termasuk sholat hajat pada Rabu Wekasan, harus didasarkan pada niat yang baik dan tidak bertentangan dengan syariat.

"Kalau dari Nabi tidak ada, cuman kalau katanya ulama selagi tidak bertentangan dengan ajaran Nabi, tidak bisa kita akan langsung murni bid'ah," kata Buya Yahya.

Lebih lanjut, Buya Yahya menjelaskan bahwa mungkin saja seorang alim atau orang saleh tersebut mendapatkan ilham dari Allah tentang adanya bahaya pada hari tersebut.

Namun, ia juga menegaskan bahwa ilham ini bukanlah sesuatu yang harus diyakini secara mutlak oleh semua orang. Ilham adalah sesuatu yang bersifat personal dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat seperti halnya Al-Qur'an dan Hadis.

3 dari 3 halaman

Mengikuti Ilham Tidak Bertentangan

Buya Yahya juga mengingatkan bahwa kita tidak boleh dengan mudah mencela atau mengingkari praktik-praktik seperti ini jika tidak bertentangan dengan syariat Islam.

"Ilham itu ada, maka mengikuti ilham selagi itu tidak bertentangan dengan syariat, maka itu boleh. Kemudian bagi yang mengingkari, jangan dicaci dong ya, boleh saja wong ilham tidak harus kita percaya kok. Hujah kita hanya sudah jelas, Al-Qur'an, Hadis Nabi," tuturnya.

Ia menambahkan bahwa selama praktik tersebut tidak mengandung unsur-unsur yang haram atau bertentangan dengan ajaran Islam, maka tidak ada salahnya untuk melakukannya.

Ini termasuk melakukan kebaikan seperti salat hajat atau memperbanyak doa, terutama pada hari-hari yang dianggap memiliki potensi bahaya.

Buya Yahya mengajak umat Islam untuk tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni dan tidak terbawa oleh keyakinan-keyakinan yang tidak jelas asal-usulnya.

Buya Yahya juga menjelaskan bahwa dalam sejarah Islam, banyak ulama besar yang mendapatkan ilham atau petunjuk dari Allah tentang berbagai hal, termasuk tentang waktu-waktu tertentu yang perlu diwaspadai.

Namun, ia menegaskan bahwa ilham semacam ini tidak boleh dijadikan dasar hukum yang mengikat bagi umat Islam secara umum. Ilham hanya berlaku bagi individu yang menerimanya dan tidak boleh dijadikan patokan bagi orang lain.

Di sisi lain, Buya Yahya juga mengingatkan bahwa semua hari adalah baik selama diisi dengan perbuatan baik dan ibadah kepada Allah. Tidak ada hari atau bulan yang membawa kesialan secara otomatis.

Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa umat Islam harus selalu berusaha untuk mengisi setiap hari dengan kebaikan dan menjauhi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul