Liputan6.com, Jakarta - Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan salah satu ulama besar Indonesia. Mbah Hasyim diyakini adalah wali yang memiliki karomah luar biasa.
Pertemuannya dengan Nabi Khidir menjadi salah satu cerita yang hingga kini masih diceritakan dengan penuh kekaguman oleh para santri dan masyarakat luas.
Kisah ini bermula pada suatu malam ketika hujan lebat mengguyur pelataran rumah Syaikhona Kholil Bangkalan, ulama besar dari Madura yang dikenal memiliki kedekatan spiritual yang sangat tinggi.
Advertisement
Saat itu, tampak seorang kakek tua yang lumpuh dan berjalan dengan cara ngesot di pelataran rumah Syaikhona. Tanpa ragu, Syaikhona Kholil langsung berkata kepada para santrinya, "Siapa yang bersedia menggendongnya?"
Dalam video yang diunggah di kanal YouTube @Ceritaislami836, diceritakan bahwa salah seorang santri langsung menjawab, "Saya bersedia, wahai guru."
Santri tersebut kemudian dengan penuh keikhlasan menggendong kakek tua yang lumpuh itu dan membawanya ke hadapan Mbah Kholil Bangkalan.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Ternyata Ini yang Terjadi
Setibanya di depan pintu rumah, Syekhona Kholil menyambut tamu sepuh tersebut dengan penuh hormat dan takzim.
Perbincangan antara Syekhona Kholil dan tamunya berlangsung dalam suasana yang penuh hikmah. Setelah berbincang-bincang, Syekhona Kholil kembali meminta santrinya untuk menggendong kakek tua tersebut dan mengantarkannya hingga ke depan pintu.
Santri itu, dengan penuh rasa hormat, kembali menggendong kakek tersebut hingga ke luar rumah.
Setelah santri itu pergi, Syikhona Kholil berkata kepada para santrinya, "Saksikanlah, sesungguhnya ilmu-ilmuku sudah dibawa oleh dia," sambil menunjuk ke arah santri yang menggendong tamunya.
Para santri yang mendengar pernyataan ini terkejut, namun belum sepenuhnya memahami apa yang dimaksud oleh Syekhona Kholil.
Beberapa waktu setelah kejadian tersebut, para santri baru menyadari bahwa tamu sepuh yang lumpuh itu ternyata bukanlah orang biasa.
Tamu tersebut diketahui sebagai Nabi Khidir, seorang nabi yang dipercaya memiliki kemampuan untuk hidup abadi dan sering muncul dalam wujud yang tidak dikenali.
Advertisement
Simbol Spiritual KH Hasyim Asy'ari
Nabi Khidir dikenal sebagai penyampai ilmu-ilmu rahasia kepada mereka yang dipilih oleh Allah.
Santri yang menggendong Nabi Khidir itu kemudian hari dikenal sebagai Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari, sosok ulama yang sangat dihormati dan menjadi pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.
Pengalaman pertemuan dengan Nabi Khidir ini dianggap sebagai salah satu bentuk karomah yang dimiliki oleh KH Hasyim Asy'ari, yang menunjukkan betapa besar kedekatannya dengan Allah dan kekuatan spiritual yang dimilikinya.
Kisah ini juga menjadi simbolisasi dari perjalanan spiritual KH Hasyim Asy'ari dalam menuntut ilmu dan memperjuangkan agama.
Keikhlasannya dalam melayani tamu yang ternyata adalah Nabi Khidir menjadi salah satu titik balik yang penting dalam hidupnya, mengantarkannya menjadi seorang ulama besar yang membawa pencerahan bagi umat Islam di Indonesia.
Para santri dan pengikut KH Hasyim Asy'ari menganggap kisah ini sebagai pelajaran berharga tentang pentingnya keikhlasan dalam melayani dan menghormati sesama.
Kejadian ini juga menegaskan bahwa ilmu yang berkah hanya akan diberikan kepada mereka yang tulus dalam menuntut dan mengamalkan ilmu tersebut.
Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari tidak hanya dikenal sebagai pendiri NU, tetapi juga sebagai figur yang mampu menjembatani ilmu-ilmu syariat dengan ilmu-ilmu hakikat.
Karomah yang dimilikinya menjadi bukti nyata akan kedalaman spiritual dan ketulusan hatinya dalam berjuang untuk agama dan umat.
Hingga kini, kisah pertemuan KH Hasyim Asy'ari dengan Nabi Khidir terus dikenang dan diceritakan, menjadi inspirasi bagi para santri dan ulama untuk terus menuntut ilmu dengan hati yang ikhlas dan penuh ketakwaan.
Perjuangan dan karomah KH Hasyim Asy'ari menjadi teladan yang terus hidup dalam hati umat Islam, khususnya warga Nahdliyin yang menjadikannya sebagai panutan dalam beragama dan bermasyarakat.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul